Oleh: Darni Salamah (Aktivis Muslimah Sukabumi)
Sengkarut pandemi menjadi PR bagi pemerintah yang tak kunjung tuntas diselesaikan. Dikutip dari akun resmi Kemenkes update per tanggal 16 Desember 2020 pukul 12.00 WIB terjadi lonjakan pasien Covid 19 menjadi 636.154 di 34 Provinsi. Hal senada juga disampaikan oleh P2P Kemenkes, Dikutip dari CNN Indonesia, Pelaksanaaan Direktur Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2P) Kemenkes, Budi Hidayat mengakui ada kesalahan dalam pelaporan data Covid 19 harian di Jawa Tengah pada 29 November lalu. Menurutnya, kesalahan tersebut bukan dari pihaknya melainkan berasal dari Dinas Kesehatan tingkat Kabupaten di Jateng yang memasukkan data ganda dan salah data.
Tak hanya itu, adalah Menko Kemaritimn dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan yang diberi tanggung jawab oleh Jokowi untuk menangani Covid-19 oleh Jokowi dengan membawahi 9 Provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Papua dan Bali. Namun penunjukkan itu menuai kritik. Bahkan kinerja Menko Maritim tersebut menuai kriitk karena kasus Covid-19 kian melonjak. (CNNIndonesia.com 23/09/2020)
Dalam hal ini, seharusnya penanganan Covid -19 ditangani penuh oleh Menteri Kesehatan, bukan Menko Kemaritiman. Kesesatan jika Menko Kemaritiman menjalankan tugas yang bukan tanggung jawab dan fungsinya. Terlebih sejauh ini kasus Covid -19 kian melonjak, bukan sebaliknya. Disaat negara lain berfokus pada penanggulangan covid, Indonesia masih menyibukkan diri dengan saling menyalahkan satu sama lain.
Terlepas dari alasan Jokowi memilih Menko Kemaritiman sebagai penanggung jawab penangan Covid, namun hal itu bukan keputusan tepat. Kesalahan pelaporan, hingga data ganda pasien menjadi data yang diragukan oleh masyarakat.
Hal ini karena pemerintah kurang serius dalam membentuk tim khusus penanggulangan Covid yang hingga kini jumlahnya kian bertambah. Pemerintah pusat dan daerah saat ini saling melempar bola panas dengan menyalahkan satu sama lain terkait data pasien corona.
Slogan NKRI harga mati seharusnya tidak dijadikan reputasi, namun seharusnya menjadi prinsip bagi pemerintah dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Di mana seharusnya memberikan pelayanan kepada masyarakat termasuk bidang kesehatan. Selama ini pemerintah hanya berorientasi materi dengan pertimbangan untung rugi dalam mengayomi rakyatnya. Karena sesungguhnya masyarakatlah pemilik kedaulatan sesungguhnya. Tanpa ada dukungan rakyat penguasa tidak memiliki kekuatan apa-apa. Namun sayangnya di sistem demokrasi penguasa saat ini justru memperlakukan rakyat seperti sapi perah. Segala aspirasi rakyat tidak digubris. Bahkan ironisnya,di tengah lonjakkan pasien covid-19 pemerintah justru melaksanakan pesta rakyat tanpa mempedulikan nyawa warga negaranya.
Inilah bobroknya kapitalisme menjadi bukti bahwa sistem ini bukan solusi yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Berbeda dengan sistem Islam yang melindungi nyawa warga negara.
Hal ini bisa kita lihat semasa Islam jaya (Khilafah Islam).
Dikutip dari buku Nidhamul Islam karya Syeikh Taqiyudin Annabhani, bahwa kapitalisme dibangun atas dasar pemisahan agama dalam kehidupan. Jadi jelas tujuannya merupakan materi. Tentu materi yang dimaksud adalah materi yang sifatnya untuk menyejahterakan personal bukan masyarakat.
Jadi, masihkah kita harus bergantung pada sistem yang tidak memberikan keadilan merata bagi masyarakat, atau mendekat pada sistem yang bersumber pada Al Qur’an dan Assunah yang begitu jelas memberikan ketenangan dan kesejahteraan dalam kehidupan bernegara.
Wallahu a’lam bishshawab.