Oleh : Dedah Kuslinah, ST (Muslimah Ideologis Khatulistiwa)
Dua pekan terakhir ini harga gula di pasar-pasar tradisional kota Pontianak mengalami kenaikan. Sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Sebab, setiap menjelang ramadhan dan lebaran bisa dipastikan harga gula naik. Apalagi kebutuhan akan gula di bulan ramadhan meningkat. Lagi pula, kebiasaan umum masyarakat Pontianak saat berbuka didahului dengan menyantap tambol (istilah masyarakat untuk aneka macam kue yang legit- legit disajikan waktu berbuka puasa).
Kenaikan harga yang signifikan ini tidak hanya dirasakan masyarakat Pontianak saja. Beberapa wilayah juga merasakan hal yang sama, seperti Sanggau dan Sambas. Di Sambas biasa ada stok gula dari Malaysia. Karena Malaysia telah melakukan lockdown, jangankan stok gula, orangnya saja tak bisa kesana.
Kepala Diskumindag Kota Pontianak Haryadi T Wibowo membenarkan bahwa harga gula di pasaran di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yakni Rp 12.500,00 per kilogram. Adapun terpantau harga gula dipasaran berkisar Rp 19.500,00 hingga Rp 20 ribuan perkilo (tribunnews.com/2020/04/06).
Gubernur Kalbar Sutarmidji mengakui tingginya harga gula lantaran stok gula di gudang Bulog Kalbar. Tidak adanya stok di Bulog menjadi pemicu kenaikan,” ujarnya saat diwawancarai Tribun, Senin (6/4/2020).
Kenaikan harga gula itu dipicu karena semakin menipisnya stok. Pasalnya produsen gula di Jawa, Sumatera dan Sulawesi, yang biasanya rutin menyuplai kebutuhan gula di Kalbar, sudah putus alias tidak lagi memasok stok.
Menurut Direktur Jendral Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Suhanto, berkurangnya stok karena pasokan gula dunia bermasalah, disebabkan virus corona atau covid-19. “Covid membuat pusat-pusat produksi gula dunia mengalami pelemahan “ ujarnya (economy.okezone.com, 25/3/2020)
Maka bergaunglah di masyarakat bahwa lantaran corona lah, sehingga akhirnya pusat-pusat produksi gula jadi terdampak.
Padahal, jika kita mau membuka mata, sebelum corona pun harga sudah naik dan kalbar sudah kehabisan stok. Pas corona, dampaknya makin nyata.
Kita mafhum, bahwasanya kapitalisme sedang mencari kambing hitam. Kausa keberadaannya telah diujung tanduk menuju kehancuran. Kata para pakar ekonomi, kapitalis bobrok dari awalnya dan ekonomi kita nyaris tumbang karena menerapkannya.
Lebih-lebih lagi, kapitaslis yang sudah loyo sejak beberapa tahun kebelakang, dengan adanya wabah ini semakin lunglai. Agar pamornya tidak menjadi lebih buruk akhirnya mencari dalih.
Watak ekonomi kapitalisme akan membuat kericuhan dimana-mana, termasuk dalam kurangnya stok bahan pangan yang berakhir kepada hukum ekonomi kapitalis. Penawaran turun, permintaan naik mengakibatkan harga naik.
Corona, wabah, panceklik secara sunnatullah memang akan berdampak terhadap stok pangan misalnya. Tapi, kapitalisme mah mau panceklik atau corono, sama wae. Semua gara-gara Corona, padahal memang tabi’at kapitalis yang tak pernah berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Ada rasa purbasangka, terkait gula yang dibalut dengan corona sebagai kambing hitam nya. Stok menipis karena produksi dalam negeri berkurang. Kemudian normalnya Indonesia mengambil kebijakan impor, dan impor terkendala oleh corona.
Kalau dilihat dari jumlah gula impor, itu sedikit sekali dibanding produksi dalam negeri. Menurut Erlangga pemerintah telah berupaya menekan volume impor. Pada tahun 2019, izin kuota gula industri sekitar 2,8 juta ton. Turun dibanding pada tahun lalu sebanyak 3,6 juta ton (WE online). Konon, segala upaya ini dalam rangka karena pemerintah katanya ingin menekan impor gula, Bagaimana caranya? Maka mentan akan membuat pabrik gula baru dengan mendatangkan investor.
Jakarta – Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan saat ini sudah ada 17 investor yang tertarik ikut membangun pabrik gula tersebut dengan nilai investasi mencapai Rp 41,44 triliun. Adapun, pabrik gula tersebut akan dibangun di enam lokasi dengan target produktivitas mencapai 140 ton per hektar. “Kita akan bangun di enam lokasi terletak di Bombana, Lamongan, Sumba Timur, Sumbawa, Lampung dan Ogan Komelir Ilir. Ini bisa memproduksi 140 ton per hektar,” kata dia kepada detikFinance, Rabu (12/9/2018).
Aneh juga, kalau kata mentan dari tahun 2019 pabrik gula sudah ditambah, bahkan sudah ada yang beroperasi. Kemudian masih saja ada masalah kurangnya stok gula. Dengan demikian, naiknya harga gula di beberapa tempat, karena kurangnya stok?
Apakah karena produksi nya kurang?
Bermasalah di distribusi nya karena faktor wabah?
Atau penimbun? atau apa? Hal ini layak untuk diulik.
Dan solusi pasti dari kapitalis, kalau tidak impor ….ya pasti, investor.
Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kalbar, Samuel menyebutkan sebagai solusi kelangkaan gula di tanah air, Kementerian Perdagangan telah membuka keran impor. Ia menerangkan dalam kurun waktu sepuluh hari ke depan, gula pasir impor diinformasikan akan tiba di Pontianak. Maka dipastikan bahwa harga gula akan kembali turun hingga HET Rp 12.500,00.
Sungguh miris, sumberdaya alam pertanian sangat berlimpah di negeri ini. Didukung pula jumlah sumber daya manusia yang banyak serta lahan subur yang terhampar luas. Dan musim yang juga sangat mendukung. Semestinya dengan beragam potensi ini, Indonesia mampu memproduksi kebutuhan pangannya sendiri tanpa tergantung pada impor.
Bila dicermati, akar kekisruhan pengelolaan gula adalah karena diadopsinya paradigma Neoliberal Reinventing Government (Regom). Sehingga pemerintah hadir hanya sebagai regulator dan fasilitator. Yakni pembuat aturan bagi kelancaran bisnis korporasi dalam pemenuhan hajat pangan masyarakat.
Akibatnya, hajat pangan masyarakat dan pertanian dari produksi, distribusi hingga konsumsi, berada dalam kekuasaan korporasi. Hal ini menjadikan negara begitu lemah di hadapan mafia korporasi penguasa stok gula.
Inilah buah pahit akibat rezim hadir sebagai pelaksana sistem kehidupan sekuler. Khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis.
Sehingga peran penting pemerintah untuk mengurusi urusan masyarakat, terabaikan.
Semestinya penguasa memperhatikan kebutuhan masyarakatnya, bagaimana agar keperluan hidup selalu tersedia.
Para pedagang juga jangan memanfaatkan kesempatan untuk menimbun barang. Dan masyarakat jangan ikut-ikutan bermental kapitalis dengan mengambil kesempatan untuk menyetok keperluan hingga menimbun barang.
Kebutuhan pokok masyarakat seharusnya terjangkau. Kini? langka dan mahal pula.
Maka wajar saja ini terjadi. Usaha yang dilakukan penguasa untuk melakukan pencegahan dan menindak lanjuti para kapitalis yang berusaha untuk mengambil kesempatan melakukan penimbunan atau lain sebagainya sangat tidak maksimal.
Bahkan tidak berdaya. Karena kebijakan-kebijakan seperti ini walaupun tidak ada wabah, di sistem kapitalis jika ada “kesempatan” untuk memperkaya diri maka peluang tersebut tidak akan disia-siakan. Walaupun ada pihak yg dirugikan yaitu masyarakat. Beda halnya dengan Islam.
Islam akan menindaklanjuti sampai kepada akar-akarnya, siapa yang bermain curang terhadap kebutuhan pokok ummatnya.
Walhasil, satu-satunya jalan kesembuhan dari penyakit kronis impor pangan, hanyalah dengan perubahan mendasar dalam tata kelola pangan dan pertanian hari ini. Yakni, dengan hadirnya rezim pelaksana Syariah dalam bingkai Khilafah.