Oleh: Nusaibah Al Khanza ( Pemerhati Masalah Publik dari Malang )
Konflik Indonesia dengan China tentang perebutan wilayah perairan Natuna belum juga usai. Kisruh tersebut terjadi setelah puluhan kapal ikan Tiongkok dengan dikawal kapal perang fregat memasuki wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia selama beberapa waktu terakhir. Kemunculan kapal-kapal Tiongkok itu terdeteksi Badan Keamanan Laut RI (Bakamla) sejak 10 Desember lalu. Indonesia telah melayangkan nota protes terhadap China dan memanggil duta besarnya di Jakarta. Jakarta bahkan mendesak Beijing untuk mematuhi UNCLOS dan putusan arbitrase. (04/01/2020)
Langkah koordinasi pun disiapkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto demi menjaga kedaulatan teritori Tanah Air. Namun sangat disayangkan, Prabowo mengatakan bahwa China tetaplah negara sahabat. Hal ini disampaikan di hadapan awak media usai Prabowo bertemu Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Sejauh ini, Prabowo mengamati Indonesia dan China sudah menyampaikan sikapnya. Adanya perbedaan klaim atas Natuna ini, lanjut Prabowo, perlu dicarikan solusi. Ditanya mengenai dampak memanasnya hubungan ini terhadap investasi China di Indonesia, Prabowo punya pendapat tersendiri.
“Kita cool saja, kita santai ya,” tutupnya. (CNBC Indonesia 03/01/2020)
Pernyataan tersebut menimbulkan reaksi dari Persatuan Alumni 212 (PA 212). Ketua Divisi Hukum PA 212, Damai Hari Lubis meminta Presiden Joko Widodo mencopot Prabowo Subianto dari jabatan Menteri Pertahanan.
Permintaan ini, kata Lubis, sebagai Menhan Prabowo tidak mempuyai sikap tegas untuk mendukung NKRI dari klaim China terhadap Natuna.
“Sebaiknya Jokowi copot segera Prabowo Subianto sebagai Menhan, gantikan dengan yang sejalan dengan kebijakan beliau sebagai Presiden dan Panglima Tertinggi,” kata Damai, mengutip CNNIndonesia.com Rabu (8/1/2020).
Lalu, apakah dengan mencopot Prabowo dan menggantinya dengan orang lain sebagai Menhan, bisa efektif akan berhasil mempertahankan Natuna tetap menjadi wilayah kedaulatan Republik Indonesia?
Telah diketahui bahwa secara teoritis politik luar negeri Indonesia dilakukan dengan prinsip bebas aktif dan turut serta menciptakan perdamaian dunia. Namun, selama beberapa dekade terakhir ini politik luar negeri Indonesia lebih tunduk kepada kepentingan asing. Tak dapat disangkal, investasilah penyebabnya.
Jika mengamati konflik Natuna ini, hal paling krusial ada pada kebijakan militer Indonesia yang ditetapkan berdasarkan prinsip pertahanan defensif. Dari situ berkembanglah wacana tentang politik “minimun detterance”, yaitu kebijakan pengurangan kekuatan militer sampai pada tingkatan yang sekadar cukup untuk pertahanan. Politik “minimum detterance” merupakan salah satu produk ideologi Kapitalis yang tidak bisa dipisahkan dari ide negara bangsa. Ide tersebut memandang, bahwa tiap bangsa hendaknya mempertahankan kedudukan mereka di dalam batas-batas teritorialnya, dan tidak berusaha memperluas wilayahnya dengan mencaplok wilayah negara lain.
Negara-negara barat mengatakan, bahwa konsep tersebut harus dijunjung tinggi untuk menjamin terwujudnya kerjasama dan keadilan antar bangsa-bangsa di dunia. Tetapi, fakta menunjukkan bahwa Barat memanfaatkan ide tersebut untuk mempertahankan kedudukannya sebagai negara terkemuka. Juga untuk melanggengkan hegemoninya atas negara-negara lain dalam pentas politik internasional. Maka secara praktis, mereka bisa terus mempertahankan pengaruhnya di dunia melalui superioritas kekuatan militernya.
Jadi, konsep “minimum deterrence” hanya diperuntukkan bagi negara-negara lain, bukan negara penjajah seperti Cina, Amerika, maupun Israel. Mereka menipu dunia dengan menamakan kantor urusan militer dengan sebutan “Departemen Pertahanan” atau “Kementerian Pertahanan”, meski realitasnya adalah “Departemen Perang” atau “Kementerian perang”. Mereka mengembangkan kekuatan militer secara maksimal untuk terus menyerang, menindas, dan menjajah negara lain. Apa yang terjadi di Irak dan Afghanistan adalah bukti nyata.
Hal tersebut tentu tidak akan terjadi jika Islam yang diterapkan sebagai sistem negara, bukan sistem Kapitalis seperti saat ini. Karena negara Islam tidak akan mengadopsi politik “minimum detterance”. Sebab bertentangan dengan firman Allah SWT:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)” (Qs. al-Anfaal 8:60)
Ayat di atas memerintahkan kepada umat Islam untuk mewujudkan kekuatan militer yang tangguh dan menggunakannya secara penuh dalam berbagai kesempatan. Tidak hanya membuat umat Islam mampu menghadapi negara-negara adidaya tetapi juga mampu menjadi negara adidaya, dengan tujuan dakwah yakni menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia.
Negara Islam tidak akan melakukan perjanjian militer yang membatasi dan melemahkan kekuatan militer negara, apalagi yang dapat dimanfaatkan oleh asing untuk menguasai negara. Negara Islam mampu mengakhiri politik luar negeri yang penuh nuansa kelemahan dan ketertundukan ini, diganti dengan pola baru dengan pondasi dasar Islam.
Maka tidaklah efektif hanya mengganti sosok pejabatnya saja, jika aturan yang diterapkan sama. Selama masih berada di bawah aturan kapitalis sekuler, negara ini akan tetap berada dalam kemudi negara lain. Oleh karena itu, bukan hanya mengganti pemimpinnya, namun juga ganti sistem aturannya dengan sistem aturan Islam agar menjadi bangsa yang besar dan disegani sehingga kedaulatan negara pun dapat tetap terjaga dengan baik tanpa terusik. Wallahua’lam!