Oleh : Qonita Fairuz Salsabila
Setiap muslim pasti memahami bahwa tujuan hidupnya adalah menggapai ridho Allah. Dan itu adalah tujuan di atas semua tujuan kehidupan ini. Tujuan tertinggi, yang menjadikannya akan senantiasa menghitung-hitung apakah amalannya telah dicatat sebagai ibadah yang diridhoinya, ataukah hanya sia-sia lantaran niat yang belum lillahi ta’ala atau cara beramal nya tak sesuai apa yang diajarkan Nabi-Nya.
Berbicara cinta, bahagia dan ridho adalah tiga hal yang tak bisa dipisahkan. Karena cinta akan membawa pada kebahagiaan. Kebahagiaan ini yang akan mengantarkan keridhoan baik apa yang diberikan oleh yang dicintainya, atau keridhoan untuk berkorban dengan apapun demi sosok yang dicintainya.
Di dalam Al Quran, Allah banyak menyinggung bagaimana bentuk cinta Allah kepada hamba-Nya, dan bagaimana cara kita membuktikan cinta kita kepada Rabb‐Nya. Bagaimana pentingnya mendapat Ridho Allah dan Rasul-Nya, yang dengannya kita akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki di dunia juga kelak di sisi-Nya.
Pertama, terkait tingginya kedudukan ridho Allah yang harus dikejar diatas semua kenikmatan yang lainnya, Allah berfirman dalam surat at Taubah ayat 72 Allah berfirman :
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا وَمَسَٰكِنَ طَيِّبَةً فِى جَنَّٰتِ عَدْنٍۚ وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ
“Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin, lelaki dan perempuan akan mendapat surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya dan mendapat tempat-tempat yang bagus di surga Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar itu. Itu adalah keberuntungan yang besar”
Ayat ini mengabarkan janji Allah bagi orang-orang yang beriman dengan surga dan tempat tinggal yang indah. Al-Hasan menafsirkan surga ‘adn : Istana yang terbuat dari emas yang tidak dimasuki kecuali para Nabi, ash-shiddiq (orang-orang yang benar), orang yang syahid, dan penguasa yang adil. Namun, yang harus digarisbawahi dalam ayat ini adalah, setelah Allah memberikam janji berupa berbagai kenikmatan itu, Allah menyebutkan kata “wa ridhwanun min Allah akbar” (dan ridho dari Allah lebih besar) dengan kata ‘ridhwan’ dalam bentuk nakirah yang dalam ilmu ma’ani bisa menunjukkan makna ‘sedikit atau kecil’. Jadi, ayat tersebut dapat dimaknai bahwa ‘ridho Allah yang sedikit jauh lebih besar nilainya daripada nikmat-nikmat yang Allah sebutkan seblumnya’. Kemudian ditutup dengan firman-nya: ‘itulah keberuntungan yang besar”
Itulah ridho Allah yang derajatnya sangat tinggi, bahkan lebih besar daripada semua kenikmatan yang juga tak tertandingi, yaitu kekal di dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai, dan tinggal di dalam istana dari emas. Seolah ridho yang sedikit dari Dzat yang Maha Mulia jauh lebih nikmat daripada semua kenikmatan di surga, apalagi hanya sekedar kenikmatan di dunia yang pasti akan fana. Dalam sebuah syair disebutkan, sebuah pujian seseorang kepada sosok kekasihnya :
قليل منك يكفيني ولكن قليلك لا يقال له قليل
“Sesuatu yang sedikit darimu itu cukup bagiku, namun sesuatu yang sedikit darimu itu tak patut jika dikatakan sedikit”
Kembali ke ayat di atas, bagaimana kriteria kaum mukminin yang Allah berikan janji kenikmatan itu?
Pada ayat sebelumnya, Allah menjelaskan ciri-ciri orang-orang beriman, yang berhak memperoleh apa yang Allah janjikan berupa kenikmatan di surga, yaitu tersebut :
وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Qs. At-Taubah 9:71)
Kata ‘ba’dhuhum auliyau ba’dh’, mengisyaratkan bahwa mukmin itu dengan mukmin yang lainnya hatinya menyatu agar saling mencintai dan mengasihi satu sama lain. Lalu, jika mereka telah menjalankan segala yang Allah perintahkan, mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka akan mendapatkan rahmat dari-Nya, yaitu dengan masuknya mereka dalam golongan yang Allah berikan janji kenikmatan pada ayat berikutnya, juga yang lebih penting adalah meraih ridho-Nya yang jauh lebih besar derajatnya.
Kedua, ayat yang menunjukkan besarnya cinta dan ridho Allah kepada hamba-Nya, dalam surat Al Maidah ayat 54, Allah berfirman :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِۦ فَسَوْفَ يَأْتِى ٱللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلْكَٰفِرِينَ يُجَٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَآئِمٍۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ ٱللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman! Siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai oleh Allah dan mereka pun mencintai-Nya bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut akan celaan orang yang suka mencela. Demikian itu adalah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui”
Dengan turunnya ayat ini Rasulullah mengabarkan berita ghaib yang sudah Allah ketahui terlebih dahulu bahwa kelak ada suatu kaum yang murtad, walau itu belum terjadi di masa Rasulullah. Kabar itu pun terjadi ketika Rasulullah wafat, ketika di masa kepemimpinan Abu Bakar, banyak diantara kaum Muslimin yang murtad atau tidak mau menjalankan beberapa kewajiban yang sudah Allah tetapkan, yaitu membayar zakat. Mereka pun diperangi oleh Abu Bakar dengan dikomandoi oleh Khalid bin Walid.
Maka kaum yang murtad itu pun akan Allah gantikan dengan kaum yang lebih baik. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan al-Hakim dalam kaitabnya al-Mustadrak. Ketika ayat ini turun, Nabi saw bersabda : “Mereka itu ialah kaum orang ini,” sambil menunjuk kepada Abu Musa Al-Asyari”. Karena mereka adalah kaum yang mendapatkan ujian sangat besar dalam mempertahankan Islam pada masa Rasulullah. Maka pantaslah mereka dan siapapun yang mengikuti mereka akan mendapatkan cinta Allah karena amalannya yang disebutkan dalam ayat tersebut.
Kata “yuhibbuhum”, dhamir fa’il (subjek) yang kembali kepada Allah sebagai sosok yang mencintai dan dhamir maful (objek) sebagai yang dicintai disebutkan lebih dahulu. Kemudian “wa yuhibbunah”, dhamir nun yang menunjukkan mereka sebagai fail (subjek) yang mencintai dan dhamir maful “hu” yaitu kembali kepada Allah disebutkan lebih akhir. Ini menunjukkan bahwa cinta Allah kepada kaum beriman yang memiliki kriteria dalam ayat tersebut adalah lebih dahulu dibandingkan cinta mereka sendiri terhadap Rabb-Nya. Seolah jika bukan karena karunia berupa cinta-Nya, tak mungkin mereka dapat mencintai Rabb-Nya. Dan pada hakikatnya manusia itu taat kepada-Nya tak lain tuk meraih cinta dari-Nya.
Dalam ayat lain, Allah berfirman :
قَالَ ٱللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنفَعُ ٱلصَّٰدِقِينَ صِدْقُهُمْۚ لَهُمْ جَنَّٰتٌ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًاۚ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ
Allah berfirman, “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat orang-orang yang benar kebenaran mereka bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya; Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang besar.” (Al-Ma’idah 5:119)
Dalam ayat tersebut Allah menyebutkan “radhiallu ‘anhum wa radhu ‘anhu”. Jika kita melihat fail (subjek) dan maful (objek) dari dua fiil (kata kerja) diatas, maka dhamir fail yang kembali kepada Allah (huruf ya’) didahulukan dari dhamir fail yang kembali kepada mereka (huruf waw). Itu menunjukkan bahwa ridho Allah lebih dahulu kepada mereka (orang-orang yang benar) atas perbuatan mereka di dunia. Dengan keridhoan-Nya itu, mereka pun ridha dengan pahala yang Allah berikan.
Ketiga, ini yang terpenting. Dalam sebuah ayat Allah menjelaskan kedudukan pentingnya meraih ridho-Nya sama seperti pentingnya meraih ridho Rasul-Nya. Dalam surat al Taubah ayat 62 Allah berfirman :
يَحْلِفُونَ بِٱللَّهِ لَكُمْ لِيُرْضُوكُمْ وَٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَحَقُّ أَن يُرْضُوهُ إِن كَانُوا۟ مُؤْمِنِينَ
“Mereka bersumpah dengan nama Allah kepada kalian untuk mencari keridaan kalian, padahal Allah dan Rasul-Nya itu yang lebih patut mereka cari keridhoannya jika mereka adalah orang-orang yang mukmin”
Dalam ayat tersebut, Allah menegur orang-orang munafik yang menghina Rasulullah, namun mereka malah bersumpah atas nama Allah jika mereka tidak mengejek Rasul demi mendapatkan keridhoan orang-orang mukmin, padahal ridho Allah dan Rasul-Nya itu yang seharusnya mereka utamakan dan mereka kejar.
Sibawaih mengatakan:
أن التقدير : وَٱللَّهُ أحق أن يرضوه وَرَسُولُهُۥٓ أَحَقُّ أَن يُرْضُوهُ
“Susunannya seharusnya : Allah itu lebih lebih patut mereka cari keridhoannya, dan Rasul-Nya lebih patut mereka cari keridhoannya”
Dalam tafsir jalalain disebutkan disatukannya dhamir (hu) padahal yang dimaksud adalah Allah dan Rasulullah, mengisyaratkan bahwa keridhoan keduanya (Allah dan Rasulullah) saling berkaitan.
Khabar untuk mubtada’ Rasulullah dalam ayat ini dihapus untuk mengisyaratkan tinggi dan mulianya kedudukan Rasulullah, sehingga ridho Allah dan Rasul-Nya dalam derajat yang sama, karena tidak ada keridhaan dari Allah melainkan dengan keridhoan Rasul-Nya. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menjadikan keridhoan-Nya terhadap hambanya berada dalam keridhoan Rasul-nya. Tidakkah kita ingat dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 80?
مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah menaati Allah, dan siapa yang berpaling Kami tidaklah mengutusmu sebagai pemelihara”
Allah pun juga telah berfirman :
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah (kepada mereka hai Muhammad!) Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Ibnu al-Qayyim menggunakan ayat ini sebagai dalil ‘bahwa Rasul itu memiliki kewenangan atau hak tasyri’ (menetapkan hukum) dan hak untuk dipatuhi yang independen, karena Rasul memiliki kedudukan yang sama dengan Allah’
Ini tentunya berbeda dengan manusia sekalipun dia pemimpin. Ia tak memiliki hak tasyri’ (menetapkan hukum) dan hak untuk dipatuhi secara independen, kecuali apabila ia taat kepada Allah dan Rasul-nya dengan menjalankan syariat Islam.
Jelaslah bagi kita, bahwa untuk meraih kebahagiaan yang hakiki yaitu mendapat ridho yang tertinggi dari Allah dan Rasul-Nya tak ada cara lain melainkan taat pada apa yang Nabi ajarkan berupa semua syariat Islam dan menjauhi segala apa yang beliau larang dan benci berupa berbagai bentuk kedurhakaan serta kemaksiatan.
Karena cinta kepada Allah mengharuskan cinta kepada Nabi, maka syair yang dibuat oleh Imam Syafi’i ini tepat untuk menutup tulisan ini :
تعصي الإله و أنت تظهر حبه
Engkau bermaksiat pada Allah, namun kamu menampakkan kecintaan kepada-Nya
هذا محال في القياس بديع
Ini jelas sesuatu yang mustahil yang menyalahi kaedah
لو كان حبك صادقا لأطعته
Jika cinta mu benar, tentu kau akan menaati-Nya
إن المحب لمن يحب مطيع
(Sebab) sang pencinta itu pasti tunduk terhadap yang dicintai.
Wallahu a’lam bi ash-showab
Cairo, 7 November 2019/ 10 Rabiul Awwal 1441 H