Cinta Nabi Cinta Syariah

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Mahmudah Intan Rahayu (Alumni Pascasarjana IPB)

Cinta merupakan salah satu kata yang menarik. Kata yang tidaklah pernah habis untuk dibedah. Kata cinta juga tidak pernah lekang oleh waktu yang terus berputar. Cinta juga tidak dapat dijangkau oleh mata, namun keberadaannya sangat nyata.

Tak salah seringlah kiranya manusia mengatakan bahwa cinta merupakan fitrah yang ada pada diri manusia, karena memang begitulah adanya. Kamus Besar Bahasa Indonesia online mengartikan bahwa cinta/cin·ta/ 1 suka sekali; sayang benar; 2 kasih sekali; 3 ingin sekali; berharap sekali; rindu; 4 susah hati (khawatir); risau: tiada terperikan lagi. Sedangkan mencintai /men·cin·tai/: menaruh kasih sayang kepada; menyukai. (https://kbbi.web.id/cinta).

Dengan cinta inilah Allah menciptakan manusia beserta alam seisinya, termasuk Allah mengirimkan Nabi sebagai penyampai Syariat dalam surat cinta-Nya. Cinta hakiki adalah mencinta, mengikuti serta mencintai apa saja yang dicinta. Dengan cinta, segala yang berat terasa ringan, segala yang sulit terasa mudah, dan segala yang gelap terasa terang. Begitulah cinta yang dalam pandangan Islam diurai sangat indah dan khas. Cinta merupakan salah satu ghorizah (naluri) yang dianugerahkan oleh Allah dan hadir melekat pada diri setiap manusia ketika manusia terlahir di dunia. Wujud cinta adalah kerja naluri untuk menjadikan setiap pekerjaannya dengan penuh keridhoan menjadi amal solih.

Gambaran sebongkah cinta sejati telah ditorehkan dengan sangat jelas oleh Rasulullah beserta para sahabatnya, yang telah terukir indah dalam catatan pena sejarah. Cinta ini yang membuat iri bukan hanya penduduk bumi, namun juga penduduk langit. Dan begitulah cinta sejati terurai dalam amal solikh yang nyata.

Tubuh yang penuh luka itu terbaring lemah di sudut kebun kurma. Darah yang segar masih terus menetes akibat lemparan batu dari warga Tha’if. Tubuh itu adalah tubuh manusia mulia, yakni Rasulullah. Semua dilakukannya karena cinta sejati beliau kepada umatnya, agar umatnya dapat merasakan indahnya cahaya Islam yang akan menerangi semua sudut bumi dari timur hingga barat. Dan Rasulullah tidak pernah mengeluh sedikitpun dengan kondisi seperti itu.

Cinta sejati dari manusia agung itu juga terjelma menjelang wafatnya. Rasulullah terlihat gelisah untuk mengetahui kepastian jaminan terbaik yang akan didapatkan oleh umatnya dari Allah. Sehingga Allah memberikan kabar gembira bahwa Allah sudah menjamin umat Rasulullah akan memasuki Surga terlebih dahulu sebelum umat-umat yang lain.

Tidaklah cinta beliau terjelma hanya sampai disitu, cinta yang dalam kepada umatnya juga terjelma ketika saat sakaratul maut menyapa. Karena dirasa begitu sakit ketika sakaratul maut, beliau meminta kepada Allah untuk menimpakan semua sakit sakaratul maut tersebut kepadanya. Dan memohon kepada Allah untuk dapat meringankan sakit tersebut untuk umatnya. Bahkan kalimat terakhir yang terucap dari manusia agung tersebut adalah ummati, ummati, ummati.

Tidaklah berbeda dengan Rasulullah, sahabat Umar bin Khattab telah membuktikan cinta sejati itu dengan menghibahkan seluruh dirinya, keluarga dan hartanya untuk perjuangan tegaknya surat cinta Allah yang dibawa oleh Rasulullah di muka bumi ini. Kalimatnya yang termasyur yaitu “Ya Rasulullah, mulai saat ini engkau lebih kucintai daripada apapun di dunia ini”.

Adalah para Sahabat, mereka sangat mencintai apa yang ada pada diri Rasulullah. Bukan hanya surat cinta (Syariat) yang wajib mereka kerjakan, namun perkara mubah (boleh), jika Rasulullah melakukannya dan bukan kekhususan beliau, maka para sahabatpun akan melakukannnya. Cinta yang dalam para sahabat itu sampai terjelma dengan menyimpan dan menyayangi rambut Rasulullah. Sebagaimana Abidah berkata dalam shahih Bukhari, “Sungguh, satu lembar rambut Nabi saw yang ada padaku lebih aku cintai daripada dunia dan seisinya”.

Dan begitulah seharusnya cinta sejati kita kepada Nabi, bukanlah hanya terlisan dan tersimpan dalam hati. Namun terjelma dengan cinta yang tulus menjalankan semua surat cinta yang dibawa oleh beliau (Syariah), tanpa pilih-pilih, tanpa nanti dan tanpa banyak alasan. Sebagaimana Imam Ibnu Rajab dalam kitabnya menyatakan bahwa “Siapa saja yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan cinta yang benar dari hatinya, maka cinta tersebut mengharuskan dia untuk mencintai dengan hatinya apa saja yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, membenci apa yang dibenci Allah dan Rasul-Nya, ridha dengan apasaja yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, murka dengan apasaja yang dimurkai Allah dan Rasul-Nya, dan anggota tubuhnya akan beraktivitas sesuai dengan apa yang dituntut oleh kecintaan dan kemurkaan ini”.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *