Oleh : Tita Rahayu Sulaeman
Pengemban Dakwah, Komunitas Menulis Revowriter
Omnibus Law atau RUU cipta kerja akhirnya disahkan DPR pada 5 Oktober lalu. Meski DPR telah ketok palu, aksi protes terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja makin nyaring terdengar di sejumlah daerah. Misalnya di Bandung, Lampung, Surabaya, Bekasi, hingga Banten. Massa kebanyakan dari pihak serikat buruh, mahasiswa dan pelajar. Mereka mendesak agar pemerintah membatalkan UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan pihak buruh (CNN Indonesia 8/10/2020).
Tak hanya buruh dan mahasiswa, penolakan terhadap disahkannya Omnibus Law disampaikan berbagai kalangan. Mulai dari pemuka agama hingga para guru besar dan dosen universitas ternama di Indonesia. Guru Besar Hukum Unpad, Susi Dwi Harijanti mengatakan para guru besar menyatakan penolakan karena melihat banyak penyimpangan dalam proses pembahasan hingga isi undang-undang yang disahkan dalam rapat paripurna DPR (viva.co.id 7/10/2020). Sedangkan Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi, mengatakan MUI menolak pengesahan UU Cipta Kerja jika isinya melanggar kedaulatan negara, melanggar Undang-Undang, menafikan keputusan MK, melanggar HAM dan menyengsarakan rakyat (smol.id 6/10/2020).
Jika melihat ke belakang, pengesahan Omnibus Law ini merupakan cita-cita Presiden Jokowi. Presiden Jokowi menilai, telah terjadi tumpang tindih regulasi yang menghambat investasi serta pertumbuhan lapangan kerja. Untuk itu Presiden Jokowi mengajak DPR untuk membuat sebuah UU sapu jagat yang bisa merevisi banyak undang-undang.
Undang-undang ini diharapkan mampu menjadi solusi bagi banyak pihak. Namun pada kenyataannya rakyat justru merasa Omnibus Law tidak berpihak kepada mereka. Beberapa pasal masih jadi sorotan karena dikhawatirkan justru akan membawa dampak buruk pada negeri ini. Omnibus Law tidak hanya membahas undang-undang ketenagakerjaan. Terdapat pula pasal-pasal yang mengatur pengelolaan aset negara yang jika salah pengelolaan maka dampaknya akan sampai pada masyarakat luas.
Sebuah hal yang wajar ketika dalam menjalankan roda pemerintahan kemudian pemerintah mendapat kritikan maupun penolakan dari rakyatnya. Dalam demokrasi, undang-undang menjamin kebebasan rakyatnya untuk menyampaikan aspirasi. Sayangnya, pemerintah seolah bungkam atas aspirasi nyaring yang disuarakan rakyatnya. Gelombang penolakan yang kuat dari rakyat tak mempengaruhi keputusan pemerintah.
Sangat jauh berbeda dengan para pemimpin Islam pada masa kekhalifahan merespon aspirasi dari rakyatnya. Pada masa kekhalifahan Umar RA, kritik pernah disampaikan oleh seorang wanita. Kala itu, Umar RA membatasi jumlah mahar bagi perempuan agar tidak memberatkan kaum laki-laki yang ingin menikah. Maksud baik ini ternyata mendapatkan penentangan dari rakyatnya. Hanya satu orang wanita kala itu, yang menyampaikan kritikannya terhadap Umar RA. Keputusan khalifah Umar RA tidak sesuai dengan ayat Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Annisa ayat 20. Menyadari keputusannya menyalahi syariat, maka Umar RA membatalkan keputusannya.
Kritikan juga pernah disampaikan pada Khalifah Utsman bin affan ketika akan menghukum rajam seorang wanita atas tuduhan zina. Namun wanita tersebut tengah mengandung usia kandungan 6 bulan. Ali bin Abi Thalib menyampaikan nasehatnya untuk menunda sanksi sampai selesai masa penyusuan dan pengasuhan anaknya hingga usia anak 30 bulan sesuai surat Al-Ahqaf ayat 15 dan Al-Baqarah ayat 233. Rencana pelaksanaan sanksi pun digagalkan. Sebagai seorang khalifah, Utsman RA tidak segan mengambil pendapat rakyatnya.
Mengkritik pemerintah adalah bagian dari ajaran Islam. Koridornya pun, jelas syariat Islam. Jika pemerintahan melanggar batas-batas syariat, maka rakyat wajib menyampaikan kritik. Umat islam memiliki wadah aspirasi yaitu Majelis Umat. Di sini umat bisa menyampaikan aspirasi maupun kritik (muhasabah) terhadap penguasa. Sementara penguasa wajib mendengarkan dan mengubah keputusannya jika tidak sejalan dengan syariat. Demikianlah Syaikh Taqiyyudin An Nabhani menggambarkan pemerintahan islam dalam kitab Nidzomul Islam.
Dalam islam, roda pemerintahan dijalankan semata-mata untuk menegakan syariat dan mengurusi rakyatnya. Maka kritik (muhasabah) dari rakyat sangatlah penting untuk didengar. Demi keselamatan dunia dan akhirat rakyat serta pemimpinnya.
Sayangnya kini kita hidup di atas roda pemerintahan demokrasi. Di mana setiap keputusan pemerintah sangat dipengaruhi para kapital. Di mana politik balas budi di antara mereka sudah menjadi rahasia umum. Kekuasaan dibagi dan diperebutkan. Bukan dijalankan semata-mata untuk kepentingan rakyat. Sementara aspirasi rakyat sebatas ditampung tanpa memiliki keberpengaruhan. Miris sekali, karena konon dalam sistem demokrasi suara rakyat adalah kedaulatan tertinggi.
Kedzaliman tiada henti yang dipertontonkan para pemangku jabatan negeri ini semestinya menyadarkan umat. Bahwa sudah saatnya umat berhenti mengharapkan kebaikan dari sistem demokrasi. Sudah selayaknya umat kembali pada sistem pemerintahan yang bersumber dari Allah SWT saja, Sang Maha Pengatur Kehidupan. Yang tidak hanya membawa kebaikan di dunia tapi juga menyelamatkan di akhirat.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’rof: 96)
Wallahu’alam bishawab