Oleh: Nazarudin S.P (Aktifis Dakwah Balikpapan)
Menolak penerapan Islam secara kaffah itu sama artinya menjadikan agama sebagai candu. Agama hanya dicari, dan dipaksa bertanggungjawab saat terjadi kerusakan moral, saat banyak yang stres, gila, dan saat terjadi kehancuran generasi penerus.
Menolak Islam secara kaffah itu wujudnya adalah menolak peran politik Islam, menolak formalisasi syariah, dan menolak sistem khilafah. Pendek kata, Islam dipinggirkan dari kehidupan publik bernegara, bermasyarakat dan kehidupan ekonomi. Islam hanya dijadikan tukang doa dan “cleaning service” sampah sisa pesta akibat penerapan sekulerisme. Saat pesta tengah berlangsung, Islam disuruh standby di masjid dan mushalla. Mereka sangat takut dan nyinyir terhadap Islam politik. Politik dianggap hak previllage mereka. Islam dijadikan candu penghilang rasa sakit akibat kejamnya sekulerisme, kapitalisme, liberalisme, dan hedonisme. Tapi mereka terus menyembunyikan fakta bahwa rasa sakit itu sejatinya akibat sekulerisme, kapitalisme. Korban-korbannya digiring ke masjid, atau dengan kesadarannya sendiri, karena ketidakpahamannya, menuju masjid. Sementara sekulerisme beserta seluruh turunannya terus bebas secara sistemik merusak masyarakat: menelanjang moralitas dengan hedonisme, merusak akal sehat dengan liberalisme pemikiran, menghisap darah rakyat dengan neo-imperialisme, menggiring masyarakat untuk mabuk politik masal dengan mantra-mantra demokrasi, memecahbelah dan melemahkan umat dengan nasionalisme.
Mereka yang menjadikan Islam sebagai candu, seolah menerima Islam dan tidak memusuhinya. Namun Islam hanya diambil sebagian “zat aktifnya” untuk diubah menjadi candu dan analgesik, penghilang rasa sakit akibat penerapan sistem sekulerisme itu. Sabar, tawakkal, takdir, istiqamah, taqwa, syukur, jihad, tobat, adil, wirid dan wirid adalah beberapa “zat aktif” mereka ekstrak dan pisahkan dari apa yang mereka sebut “ampas” yaitu syariah. “Islam itu diambil esensinya saja” kata mereka, tidak perlu formalisasi syariah.
Mereka tidak memusuhi ulama atau ustadz, asalkan ceramah dan ajarannya hanya sebatas Islam sebagai candu. Ceramahnya sejuk, damai, toleran, ramah, dan menentramkan hati, tidak masalah kalau itu berarti mengorbankan obyektivitas dan akal sehat. Tokoh agama seperti itu bahkan mereka jadikan teman dekat, penasehat spiritual, dan diikat kontrak untuk rutin berceramah. Tentu ada fulus yang deras mengalir untuknya. Atau setidaknya mendapat sanjungan, kedudukan, atau namanya akan berkilau terlihat dari seluruh penjuru dunia.
Bagaimana mereka menjadikan Islam sebagai candu? Saat jutaan rakyat mengalami kesulitan ekonomi akibat penerapan kapitalisme, rakyat dielus-elus agar bersabar, memperbanyak ibadah. Tapi jangan tanya kalau ada yang mengkritik kebijakan yang sangat liberal dan mencekik, mereka akan marah besar. Kritikusnya bisa dikriminalisasi, ormasnya dibubarkan dengan persekusi.
Saat akhlak dan moralitas generasi muda, dan umumnya masyarakat, semakin hancur akibat pendidikan sekuler dan budaya permisif, mereka menasehati agar para orangtua memberi pendidikan agama yang baik. Mereka juga sudah merasa bertanggung jawab dengan sekedar memperbanyak ceramah agama di TV, masjid, kantor, dsb. Sementara kurikulum pendidikan justeru semakin liberal dan sekuler. Film dan produk budaya liberal nan permisif pun mereka biarkan leluasa mencemari melalui TV, internet dan sarana lain.
Saat format politik sekuler memicu banyak konflik horisontal dan sosial, mediasi pun tidak jarang melibatkan tokoh agama. Tapi marahnya sampai ke ubun-ubun bila politik Islam ditawarkan sebagai alternatif. “Jangan mempolitisir agama!” katanya, manis dan sok suci, “Jangan kotori agama dengan politik.”
Begitulah, apapun urusan publik, masyarakat dan negara, agama tidak boleh nimbrung, selain sebatas pesan moral. Petunjuk operasional syariah jangan dekat-dekat, apalagi masuk ke politik!
Semua pesan moral Islam itu dipisahkan dari aspek syariah dan dari konteksnya sebagai bagian dari sistem Islam secara keseluruhan. Zat aktif itu kemudian mereka tambahkan pada hukum sekuler (yang sebenarnya adalah racun) agar diterima di “pasar” umat Islam. Sebagian mereka menerima sepenuhnya dan memandangnya sebagai jalan yang ideal dan realistis. Sebagian lagi menerima dengan berat karena menyadari ada yang salah, namun mereka tak menemukan secara tepat apa yang salah dan apa alternatifnya. Dan sangat sedikit yang sepenuhnya menolak karena menyadari racunnya. Pesan moral agama yang dioplos dengan hukum sekuler benar-benar memberikan efek candu, analgesik, dan psikotropika lain.
Siapa yang memperlakukan Islam sebagai candu? Mereka adalah sebagian penguasa, politisi, aktivis, tokoh agama, tokoh ormas dsb. Mereka bisa siapa saja, termasuk rakyat biasa. Nama mereka tidak perlu disebut. Kita bisa mengenali dari sikap dan cara berfikir. Kita hanya perlu ngobrol dengan mereka tentang agama dan politik, dan terbukalah jati diri mereka.
Mereka itulah yang memperlakukan Islam sebagai candu. Sayangnya, masih banyak umat Islam yang tidak menyadarinya, bahkan tidak sedikit yang berbaju ulama, kyai, atau ustadz. Sayang sekali. Bahkan golongan berilmu inilah yang mempersulit penyadaran kalangan awam. Bagaimanapun, mereka selalu becermin kepada ulama. Apa kata ulama, itulah yang dianggap benar. Inilah ulama suu, ulama yang buruk dan jahat.
Namun mendung tidak akan selamanya. Malampun pasti berakhir dengan datangnya pagi. Ada saatnya bagi sistem sekulerisme untuk berakhir. Udara segar pasti datang menggantikan asap yang menyesakkan hidup.
“Rusaknya rakyat karena rusaknya pemimpin. Rusaknya pemimpin karena rusaknya ulama.” adalah peringatan Rasulullah yang pasti berlaku. Hari ini kebenaran pernyataan Nabi itu semakin jelas terlihat. Di dalam pesan itu juga menyiratkan pesan bahwa saat ulama-ulama jahat telah terungkap kejahatannya, maka saat itu adalah waktu datangnya fajar islam, fajar segala kebaikan. Kini umat sudah bisa melihat yang mana ulama jahat dan buruk itu. Mereka adalah pengejar dunia dengan mengorbankan agama dan akhirat. Dunia itu adalah harta, jabatan, pujian, perlindungan penguasa dzalim, panggung nan gemerlap, dan kamera polularitas. Ulama jahat itu seperti para penyihir jahat yang berupaya merapat ke Firaun demi mendapatkan “makan” dan “maqam”. Bersama itu terlihat pula bagaimana mereka menjual ayat, mengorbankan martabat keulamaan, memutarbalik kebenaran, melindungi dan membungkus kedzaliman, mengkhianati dai dan ulama yang mukhlis. Mereka bungkus khianatnya penguasa akan amanah rakyat dengan pujian setinggi imajinasi.
Ya, mereka yang menjual agama seperti menjual narkoba sudah banyak yang tertangkap basah, oleh umat. Namun rasa malu telah mencerai mereka, mungkin karena merasa di atas angin, berlindung di bawah ketiak penguasa yang mereka sangka akan kokoh selama-lamanya. Padahal sangat rapuh.
” Padahal milik Allahlah kemuliaan, dan milik RasulNya. Akan tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.” QS.
Jika sandaran mereka itu seakan-akan kokoh dan belum roboh maka itu lebih disebabkan oleh sistem pengganti yang belum utuh dipahami dan diterima oleh umat. Ibarat bedeng yang masih berdiri karena proses pembangunan istana sedang berlangsung. Namun para dai terus bekerja keras membangun istana itu di tengah-tengah dan bersama umat. Penerimaan umat kini tengah berlangsung. Prosesnya semakin cepat seiring dengan kembalinya bendera tauhid ke tangan umat. AsaKetakutan penguasa (beserta seluruh kroninya, termasuk kalangan ulama jahat) akan kembalinya bendera tauhid menjadikan umat semakin yakin bahwa urusan mereka hanya layak ditata dengan Islam secara kaffah. Islam tidak cukup hanya diambil “bahan aktifnya” saja. Tetapi Islam wajib diambil secara keseluruhan: ruhnya, moralitasnya, syariahnya dan sistemnya. Islam itu adalah ruh dan syariah. Syariah dan khilafah pun tidak bisa dipisahkan, karena khilafah adalah bagian dari syariah.
Umat sudah mendapat pelajaran penting dari sekulerisme yang diterapkan di berbagai negeri Islam selama in. Mereka tidak mudah lagi untuk ditipu oleh penguasa sekuler bersama ulama jahat. Umat sudah mengenali wajah-wajah penipu itu.
Sebaliknya, umatpun telah mengenali siapa yang sungguh-sungguh tulus membimbing mereka dengan Islam, yang menginginkan dan berjuang untuk menerapkan Islam. Mereka adalah yang berdakwah tanpa menunggu upah, yang lisannya tetap nyaring dan lurus di bawah ancaman persekusi penguasa, yang tidak membalas caci-maki dengan cacian serupa, yang puas hidup dengan jaminan Yang Mahahidup, yang sedikitnya jumlah mereka tak mengurangi kegagahan mereka di depan kedzaliman, yang terbatasnya ilmu mereka tetap mampu menjernihkan akal sehatnya.
Sebentar lagi umat akan sepenuhnya mentaati Tuhannya. Syariah diterapkan sepenuhnya. Akal sehat akan kembali memimpin negeri ini dan umat ini. Inilah pesan sayyidina Muhammad, shallallahu alaihi wa sallam:
“Hai anak Adam, taatilah Tuhanmu, niscaya engkau disebut orang yang berakal (sehat). Janganlah engkau membangkang Tuhanmu, niscaya engkau disebut orang dungu.” HR. Abu Naim dari Abu Hurairah.
Maka tugas dakwah adalah mengembalikan akal sehat para “pencandu agama” ini. Mereka tidak perlu dimusuhi, meskipun racun yang mereka tebarkan harus diwaspadai dan dinetralisir. Akal sehat itu adalah taat kepada Allah dengan seluruh syariahnya tanpa memilah dan memilih. Memahaminya adalah pangkal kesehatan akal. Para dai dan aktivis Islamlah yang menjadi dokter jiwa yang mengobati akal.