Oleh: Marhamni Aulia (Mahasiswi UIN Alauddin Makassar)
Pendidikan adalah kebutuhan dasar yang sangat penting, bahkan maju mundurnya suatu bangsa tergantung pada kualitas pendidikan. Mengutip ungkapkan populer Nelson Mandela; “Pendidikan adalah senjata paling kuat untuk mengubah dunia”. Maka wajar bila suatu negara memprioritaskan kualitas pendidikannya. Terutama negara-negara maju yang mewajibkan seluruh anak-anak bersekolah dan hampir keseluruhannya mendapatkan subsidi dari pemerintah berupa beasiswa full hingga menyelesaikan studinya.
Namun berbeda dengan pendidikan Indonesia yang jauh ketinggalan. Hasil survei Programme For International Student Assessment (PISA) menyatakan bahwa sepuluh tahun terakhir pendidikan Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara Asia lainnya. Meski pemerintah mengatakan angka partisipasi pendidikan oleh anak usia sekolah di Indonesia meningkat tiap tahunnya. Namun faktanya, total jumlah anak putus sekolah di 34 provinsi negara ini masih berada di kisaran 4,5 juta anak. Alasan yang paling mendasari kondisi putus sekolah anak Indonesia adalah biaya.
Berawal dari pinjaman yang dilakukan ketika krisis ekonomi melanda. Pada tahun 1998, Indonesia meminta bantuan IMF untuk menyelamatkan kondisi perekonomian. International Monetary Fund (IMF) setuju memberikan paket bantuan keuangan multilateral, namun sejumlah syarat harus dipenuhi, salah satu di antaranya yaitu Indonesia harus ikhlas dengan intervensi negara donatur dalam pendidikan.
Sistem yang diberlakukan mengikuti logika organisasi pemegang saham, artinya negara kaya memiliki andil dalam pembuatan dan perubahan aturan. Karena pengambilan keputusan di IMF mewakili setiap posisi ekonomi negara anggota di dunia, negara kaya yang sumbangannya lebih besar memiliki pengaruh lebih besar daripada negara miskin yang sumbangannya sedikit.
Anggota terbesar diantaranya adalah Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Cina, India, dan Rusia. Mereka memberi pinjaman. Sebaliknya, negara berkembang memanfaatkan sumber pendanaan termasuk Indonesia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara-negara donatur itu adalah para pengemban ideologi kapitalis dan sosialis yang mempunyai keinginan besar untuk menghabiskan para generasi pejuang ideologi Islam. Kejahatan dan kebohongan yang mereka lakukan sangat sistematis. Merusak generasi melalui pendidikanpun dilakukan dengan terorganisir.
Ketakutan akan kembangkitan Islam membuat mereka melakukan penguatan dari segala penjuru. Termasuk dari segi pendidikan. Negara-negara ini terkenal dengan sistem pendidikan yang maju serta mencetak generasi yang mampu menjadi penopang negara. Disamping itu merekapun berusaha untuk mengintervensi pendidikan di negeri-negeri Islam dengan tujuan melemahkan.
Sering kali negara-negara ini menawarkan beasiswa luar negeri dan tentu dengan tujuan yang jelas adalah untuk mencari boneka yang bisa diperalat dalam menyebarkan paham rusak mereka. Dengan bermodalkan paham liberal yang dibawa dari negara barat sudah bisa menguasai beberapa generasi umat Islam.
Beasiswa dalam negeri pun tetap saja sama, sama-sama melumpuhkan kemampuan generasi. Mereka para penerima sangat terikat dengan aturan instansi sehingga ruang geraknya sangat terbatas. Sering kali aspirasinya pun hanya sampai di tenggorokan sebab ancamannya adalah pencabutan beasiswa.
Namun umat Islam akhir-akhir ini mulai disadarkan akan pentingnya Islam dalam mengatur kehidupan. Sebagian dari mereka pun bahkan mengaungkan Islam dijadikan sebagai ideologi dalam bernegara. Tentu ini membuat para musuh Islam berfikir keras untuk meredakan semangat umat Islam.
Pada 2019 lalu Bank Dunia menyetujui pinjaman senilai US$250 juta atau setara Rp3,5 triliun untuk mendukung program peningkatan mutu madrasah dasar dan menengah di Indonesia. Pada tahun itu pula umat Islam dikagetkan dengan kebijakan menteri agama tentang penghapusan pelajaran khilafah dan jihad pada pelajaran sejarah dan fiqih dengan alasan sudah tidak cocok lagi untuk konteks negara bangsa Indonesia yang telah memiliki konstitusi (Pancasila dan UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika).
Terlepas dari apakah kedua fakta ini memiliki keterkaitan adalah bahwa musuh-musuh Islam sangat memahami akan penting dan kuatnya pengetahuan khilafah dan jihad dalam menumbangkan ideologi mereka. Sebab khilafah dan jihad adalah metode yang dilakukan umat Islam untuk menghidupkan kembali dan mempertahankan eksistensi ideologi Islam.
Jika ideologi Islam kembali hadir mengatur sebuah negara, tentu dari segi pendidikan pun mereka juga tidak bisa mengintervensi, sebab Islam sangat meperhatikan pendidikan umat. Pendidikan dalam Islam digratiskan untuk seluruh umat baik muslim ataupun non muslim, kaya ataupun miskin. Sehingga para musuh-musuh Islam tidak mendapati jalan untuk ikut campur mengatur pendidikan negara Islam.
Kesadaran kita akan campur tangan negara barat terhadap pendidikan sudah seharusnya menjadikan kita lebih semangat lagi memperjuangkan Islam kaffah. Bukan malah membiarkan pemikiran kita dikuasai oleh para penjajah berkedok ‘Beasiswa’. Karena untuk apa bergelar Prof. kalau urusan umat Islam kita serahkan pada musuh Islam. Itu adalah musibah yang besar. WallahuWallahu a’alam. [IRP]