Calon Jamaah Haji Terancam Tidak Diberangkatkan Karena Kendala Administrasi dan Tak Ada Antisipasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Faiha Hasna (Pena Muslimah Cilacap)

 

Penyelenggaraan ibadah haji 2022 kembali dibuka. Saat ini Indonesia mendapatkan kuota dari pemerintah Arab Saudi sebanyak 100.051 jamaah atau setara dengan 46 persen dari kuota normal.(indonesiatoday.co.id).

Namun ada persyaratan administrasi tambahan yang ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi yang berbeda dari tahun – tahun haji sebelumnya. Pada tahun ini, syarat perjalanan Haji tersebut ada 3 yaitu syarat vaksinasi COVID -19 minimal vaksin lengkap, PCR 72 Jam sebelum keberangkatan dan syarat minimal umur 18 tahun dan maksimal umur 65 tahun. Dengan persyaratan tersebut tentunya pemerintah harus mengebut semua persiapan haji dalam waktu singkat. Sebab, kloter pertama akan diberangkatkan pada 4 Juni 2022 dari tanah air. Sebagaimana diketahui, dua tahun belakangan pembatalan Haji dilakukan akibat wabah virus corona yang menjangkiti dunia. Meski hari ini jumlah kasus COVID -19 di beberapa negara mulai berkurang, namun wabah virus belum bisa dikatakan telah usai. Sebab, beberapa negara kembali melakukan lockdown  karena kasus COVID-19 yang meningkat seperti di Cina. Persyaratan administratif yang ditentukan pemerintah Arab Saudi tidak lepas dari fakta tersebut. Namun, ketentuan dari pemerintah Arab Saudi nyatanya tidak bisa diantisipasi oleh pemerintah Indonesia sejak awal. Akibatnya, ribuan calon Jamaah Haji akan menjadi korban ketidaksiapan pemerintah Indonesia yang seharusnya bisa menyiapkan sejak awal ataupun melakukan negosiasi dengan Arab Saudi. Hingga tanggal 19 Mei lalu saja baru sekitar 76 persen Calon Jamaah Haji atau sekitar 17 ribu jamaah yang sudah mendapatkan  vaksinasi COVID -19 dosis lengkap. Padahal,ini adalah syarat administratif , sehingga Calon Jamaah Haji yang belum divaksinasi dosis lengkap terancam tidak diberangkatkan.(dikutip cnnindonesia.com)

Inilah realita kepemimpinan sistem kapitalisme. Pemimpin tidak bertindak sebagai pelayan umat yang senantiasa memudahkan urusan -urusan umat. Penguasa dalam sistem kapitalisme hanya akan melahirkan kebijakan bervisi kapitalistik. Sehingga dipastikan gagal mengurusi setiap masalah yang receh sekalipun. Padahal, dengan berkembangnya teknologi seharusnya pemerintah mampu menaklukkan berbagai hal terkait kendala teknis Administratif Penyelenggaraan Haji. Demikian juga pemerintah seharusnya ada upaya negosiasi ke pemerintah Arab Saudi terkait batasan umur Calon Jamaah Haji. Namun, semua ini tidak dilakukan. Padahal Ibadah Haji ini adalah pokok ajaran Islam bukan perkara remeh.

Ibadah Haji merupakan kewajiban bagi Muslim yang mampu. Maka, pemerintah wajib memberikan dukungan terlaksananya ibadah ini dengan mudah melalui pendanaan maupun kebijakan sebagaimana yang pernah terjadi di masa kekhilafahan Islam . Apa yang telah dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid II bisa menjadi contoh bagaimana penguasa *bervisi pelayanan* khususnya dalam memperlancar infrastruktur Ibadah Haji tahun 1900, jalur kereta api Hejaz dibangun untuk memudahkan bagi Jamaah Haji saat menuju Mekkah. Kehadiran jalur kereta api Hejaz itu dapat memperpendek perjalanan dari 40 hari menjadi 5 hari saja. Setelah jalur Damaskus – Madinah selesai, rencana selanjutnya adalah memperpanjang jalur utara menuju Konstantinopel, Ibu kota Khilafah Utsmaniyah dan jalur selatan ke kota Mekkah itu sendiri. Sebuah proyek transportasi massal yang dibiayai sepenuhnya oleh umat dan tanpa investasi asing. Sultan Abdul Hamid memulai pendapatan para penyumbang dengan dimulai dari dirinya sendiri. Sultan memberikan sumbangan sebanyak 50.000 keping uang emas Utsmani lalu sebanyak 100.000 keping uang emas Utsmani dari kas negara. Bahkan ,  kaum Muslimin dari berbagai penjuru berlomba -lomba untuk membantu pembangunannya baik dengan harta atau jiwa. Para pejabat penting dalam Khilafah Utsmani memberikan sumbangan untuk lancarnya proyek ini. Pemilik perusahaan -perusahaan perseorangan tak mau tertinggal dalam berkontribusi. Juga berbagai surat kabar ternama, Surat Kabar al- Liwa telah menyumbang untuk proyek ini pada tahun 1904 sebesar 3.000 Lira Utsmani. Surat   kabar al Manar  juga ikut andil dalam kampanye proyek ini. Demikian pula dengan surat kabar Al -Raid Al -Mishri. Panitia untuk proyek ini dibentuk di Kairo Iskandaria dan kota -kota lain di Mesir. Ini adalah keberhasilan seorang pemimpin dalam menjalankan fungsi pelayanan serta komunikasi publik yang sangat baik. Pemimpin yang mampu menyatukan pemikiran dan jiwa rakyatnya dalam naungan politik Islam. Tentu saja kebijakan -kebijakan ini yang senantiasa memudahkan  urusan umat dalam melakukan kebaikan ini dilandasi oleh akidah Islam. Khalifah sebagai pemimpin yang diserahi urusan kemaslahatan rakyat sangat meyakini bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wata’ala kelak pada hari kiamat apakah mereka telah mengurusnya dengan baik ataukah tidak.

Jadi, tampaklah, bahwa masalah sulitnya memenuhi administrasi pemberangkatan Jamaah Haji di masa pandemi COVID -19 berawal dari paradigmatisme penguasa kaum Muslim akibat tidak menerapkan Syariat Islam kaffah dalam naungan Khilafah

Wallahua’lam bishawab.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *