Cabai Murah, Petani Marah. Dimana Pemerintah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Chanifatul Maghfiroh (Aktivis Muslimah)

 

Telah beredar sebuah video yang memperlihatkan seorang petani mengamuk dan merusak kebun cabai miliknya sampai akhirnya video tersebut viral di media sosial. Video tersebut sempat beredar di akun Instagram @andreli48,Rabu (4/8) lalu.
Anjloknya harga cabai di pasaran disinyalir menjadi faktor kemarahan para petani. Kemarahan para petani dilampiaskan dengan menginjak-injak tanaman cabai di kebunnya.

Menanggapi video yang tengah viral tersebut, anggota komisi IV DPR RI, Slamet, mengatakan harga cabai yang anjlok di pasaran menandakan adanya masalah yang seharusnya menjadi perhatian serius dari pemerintah. Pemerintah harus hadir melindungi petani indonesia. Jangan hanya berpikir impor terus, sementara nasib petani kita semakin sengsara. Slamet menyatakan impor cabai di semester I 2021 sebesar 27,851 ton. Naik 54 persen dibanding tahun 2020 sebesar 18.075 ton. (Dikutip:http://www.rctiplus.com,29/8/21)

Harga yang didapat para petani tidak sebanding dengan kesusah payahan dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menanam cabai, mulai dari menyemai, perawatan, hingga cabai siap untuk dipanen.
Ketua Forum Petani Kalasan Janu Riyanto mengeluhkan harga cabai di tingkat petani merosot hingga 50 persen dari harga normal. Janu menjelaskan, selama ini harga normal cabai ada di kisaran Rp11.000 per kilogram, sedangkan sekarang harga cabai anjlok hanya dihargai Rp5.000 per kilogram. (Sumber:Ayoyogya.com, 29/8/21)

Anjloknya harga cabai tersebut akibat dari kebijakan pemerintah yang telah melegalkan impor dan juga sepinya pasar karena Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) masih berjalan untuk menangani pandemi Covid-19. Membuat petani semakin terpuruk ditengah pandemi ini.

Dalih pemerintah mengadakan impor untuk menstabilkan harga seolah menjadi alasan negara lepas tanggung jawab mengurusi petani.
Seharusnya negara mampu melindungi dan bertanggung jawab untuk mengurus petani.

Semua permasalahan ini tidak lain karena negara saat ini mengadopsi sistem demokrasi neoliberal, dimana aturan didalamnya tidak berpihak pada petani lokal, melainkan kebebasan pasar para swata atau pemilik modal dengan menguasai dan mengelola tata kelola disektor pertanian.

Didalam sistem demokrasi pemerintah terikat dengan aturan para pemilik modal sehingga dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya pemerintah hanya bisa berpangku tangan menerima impor dari kran mana saja. Jika model sistem seperti ini terus berjalan, maka khayal negara yang kaya akan sumber daya alam ini akan menjadi negara yang maju dan mandiri. Sehingga nihil untuk kesejahteraan petani.

Untuk mengatasi persoalan tersebut bisa dilakukan dengan cara pengelolaan dan penyaluran yang benar dan tidak terikat dengan siapapun demi kemandirian suatu negara dan tidak tergantung pada pihak lain.
Itu semua bisa dilakukan jika negara mengadopsi sistem Islam yang pernah berjaya selama kurang lebih 13 abad.

Wallahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *