Bully : Buah Pendidikan Sekularisme

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Fitri Hidayahtika S.Pd

Sebagai manusia yang diperintahkan oleh Allah untuk ber-iqra, mengharuskan kita semua selaku muslim sejati untuk mampu mengindera peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar. Banyak permasalahan yang terjadi di masyarakat Indonesia yang tengah menjadi popular, salah satunya pemberitaan tentang perundungan yang semakin marak terlaporkan dan terangkat kasusnya ke hadapan umum. Bahkan berdasarkan pernyataan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak Jasa Putra, sepanjang tahun 2011 hingga 2019, KPAI menambah 37,381 pengaduan tentang anak, 2,473 laporan di antaranya tentang perundungan baik di media sosial maupun di dunia pendidikan (Republika.co.id, 10-02-20).

Perundungan atau proses perbuatan merundung berdasarkan KBBI V berarti menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis, dalam bentuk kekerasan verbal, sosial atau fisik berulang kali dan dari waktu ke waktu, seperti memanggil nama seseorang dengan julukan yang tidak disukai, memukul, mendorong, menyebarkan rumor, mengancam, atau merongrong.

Sungguh di dalam pandangan Islam sendiri, perundungan merupakan perbuatan tercela yang harus dihindari. Namun sayang beribu sayang, Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar di dunia telah menjauh dari ajaran-ajaran Islam yang seharusnya menjadi pedoman sehingga kasus-kasus tercela menjadi marak terjadi.

Kasus bullying (perundungan) yang terangkat ke media sangat menyesakkan dada. Bagaimana tidak, bukan sebatas kesakitan batin saja yang dapat dirasakan oleh korban, bahkan bisa sampai ke fisik juga. Hal tersebut terjadi pada korban bullying di salah satu sekolah di Malang, yang malangnya harus kehilangan satu jarinya karena mesti diamputasi. Bahkan lebih mirisnya lagi, seorang siswi berkebutuhan khusus pun tidak luput dari kasus perundungan di salah satu sekolah di Purworejo. Kasus di atas hanyalah segelintir kasus yang terindera, sisanya masih banyak lagi. Hal tersebut menjadi kekhawatiran dari segala pihak.

Kasus-kasus yang terjadi memang terlihat lebih banyak di lingkungan sekolah. Jelas pula bahwa kasus ini akan tersorot menyalahkan lingkungan yang menjadi sumber masalah tersebut. Komisioner Retno Listiyarti dari KPAI menyatakan, “Sekolah tak punya sistem pengaduan sehingga mereka enggan mengadu dan melapor.” Seolah-olah pernyataan tersebut membuktikan bahwa lembaga pendidikan tidak memiliki sistem perlindungan atau pencegahan akan kasus perundungan. Sedangkan menurut Apri Damai Sagita (Wakil Kepala Prodi PGSD, Universitas Sanata Dharma) kasus bullying di sekolah menjadi bukti hilangnya kemampuan berempati pada anak. Hal tersebut bisa terjadi karena peran orang tua dalam mendidik anak tidak terjalankan dengan baik, atau bahkan metode pendidikan karakter yang digencarkan Kementrian Pendidikan tidak dijalankan dengan tepat?

Sungguh perundungan bukan kasus sepele yang bisa menyalahkan salah satu pihak saja. Kasus ini merupakan kasus yang terkait seluruh pihak. Baik dari bawah yaitu orang tua atau keluarga sebagai basis pembetukkan karakter anak yang seharusnya dijalankan dengan baik. Peran guru di sekolah yang seakan lebih kepada mengajar bukannya mendidik. Peran kepala sekolah yang tidak mampu memberikan lingkungan sekolah sebagai sarana mencetak generasi terdidik. Peran masyarakat sebagai alat kontrol sosial tidak berjalan dengan baik. Bahkan peran Kementrian Pendidikan yang tidak mampu memberikan kurikulum yang mampu menghasilkan generasi berakhlak sesuai dengan tujuan Pendidikan Nasional.

Namun menyalahkan tanpa solusi bukanlah hal bijak yang dapat dilakukan. Jika dilihat, pemerintah tidak berdiam diri dalam menangani kasus perundungan. Seperti imbauan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) agar sekolah membentuk tim pencegahan tindakan kekerasan yang mana sesuai dengan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015. Pemerintah pun telah mengeluarkan aturan untuk mengantisipasi tindakan kekerasan pada anak dengan adanya UURI No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Adapula Perpres tentang Pencegahan Kekerasan di Sekolah dan Inpres Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Anak. Bahkan ada Perpres Antiperundungan yang wacananya akan segera diterbitkan. Sayangnya aturan yang telah berlaku dari tahun ke tahun tersebut masih sebatas aturan tanpa penerapan. Bahkan seakan tidak menjadi solusi dari segala permasalahan yang ada.

Solusi-solusi kasus perundungan masih bersifat pragmatis. Seperti pandangan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang menyerukan adanya kampung ramah anak. Adapula solusi bahwa kasus perundungan dilakukan penyelesaian secara diversi yang merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, yang memang terdapat hukumnya yaitu UU No. 14/2002. Serta solusi lainnya yang mungkin diharapkan dapat menyelesaikan kasus perundungan yang terjadi.

Tapi tahukah apa yang menjadi landasan paling dasar adanya kasus perundungan?

Saat ini hampir menyeluruh masyarakat memandang bahwa budaya telah berkembang sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, budaya Barat telah menjadi kiblat “kemajuan” budaya harus diraih. Kesanalah musik, mode, makanan, film, bahkan gaya hidup ala Barat orang mengacunya. Dari sana pula munculnya kehidupan yang materialistik-sekuleristik yang membuahkan kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik. Landasan hidup yang telah mendarah daging tersebut seolah menjadi penyakit bagi masyarakat sehingga menganggap bahwa eksistensi baik dalam kehidupan sehari-hari atau bahkan dalam dunia pendidikan pun di dasari dari materi.

Sebuah kewajaran bagi anak-anak (masyarakat secara umum) yang telah terdoktrin oleh pendidikan sekularisme mewujudkan arti kehidupan berdasarkan materi. Pendidikan yang tujuannya untuk melahirkan manusia berakhlak pun tidak ada, karena sekularisme hanya akan mengehendaki eksistensi manusia berdasarkan prestasi duniawi.

Perundungan terlahir dari sebuah naluri yang merupakan qadar, yaitu naluri eksistensi (gharizah baqa). Naluri tersebut merupakan alamiah yang telah Allah beri, namun perundungan diakibatkan dari penyalahgunaan naluri yang seharusnya dipergunakan di dalam keridaan-Nya. Tidak lain akibat dari sekularisme yang memisahkan aturan kehidupan dengan agama. Padahal Allah berfirman:

“Terangkanlah kepadaku, tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al Furqan: 43-44).

Manusia yang pandangan hidupnya dihadapkan seluruhnya pada aturan Sang Pencipta serta tidak mengikuti hawa nafsu, maka ia tidak akan berperilaku selayaknya hewan ternak yang berbuat tanpa landasan akal. Maka solusi apapun yang diberikan tanpa landasan memuliakan manusia untuk turut mengikuti aturan Sang Pencipta akan tetap menghadapi permasalahan-permasalahan yang sama. Karena manusia sekarang terdidik bukan berasal dari aturan Sang Pencipta melainkan aturan manusia yang penuh keserakahan.

Di dalam pendidikan berbasiskan ideologi Islam, tujuan pendidikan berfokuskan pada pembentukkan syakhsiyah islamiyyah (kepribadian berlandaskan aqidah islam), serta menguasai tsaqafah Islam, dan menguasai ilmu kehidupan. Dari hal tersebut, semua bentuk pengajaran akan berdasarkan pada sumber hukum Islam yaitu Al Quran dan As Sunnah yang mana telah Allah turunkan sebagai pentunjuk kehidupan manusia.
Al Quran mengatakan bahwa, “Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS. Al Hujurat: 13).

Ayat tersebut mengajarkan kepada seluruh manusia bahwa tidak ada perbedaan antara manusia kecuali ketakwaannya. Ajaran Islam ini mengajarkan bahwa manusia tidak berhak berlaku superior di antaranya yang lainnya, serta tidak ada manusia yang inferior. Jelas sudah jika ayat ini diimani dan diaplikasikan sebagai dasar dari pendidikan, tidak akan ada yang namanya kasus perundungan, karena eksistensi manusia seluruhnya sama.
Allah berfirman: “Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al ‘Asr: 2-3).

Firman Allah di atas menyerukan bahwa sebagai manusia terkhusus orang yang beriman hendak untuk saling menasihati kebenaran. Maka sudah selayaknya manusia bersikap dan berbicara dalam kebenaran, bukan dalam perkara mengolok-olok, mengejek, atau menghina. Serta menyeru untuk mengingatkan dalam kebaikan. Maka, masyarakat serta seluruh pihak di dalam naungan sistem Islam akan melaksanakan hal ini atas dasar iman. Perkara ini merupakan solusi dasar untuk mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan yang memang diserukan oleh Islam.

Dalam hadits shahih, Nabi Muhammad saw., bersabda, “Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian, kehormatan kalian, haram atas kalian seperti terlarangnya di hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini….” (HR. Bukhari). Menurut hadits ini, kehidupan dan kehormatan seseorang harus dilindungi, dihormati, dan dijaga. Pelanggaran hukum syariah yang dijelaskan hadits di atas yaitu seperti menghilangkan nyawa manusia, melakukan kekerasan fisik dan psikis yang menyebabkan terlukanya seseorang, mengambil harta yang bukan haknya, dan menghilangkan kehormatan seseorang termasuk kasus perundungan pun akan terkena hukum pidana di dalam Islam.

Kasus perundungan yang dapat melukai fisik dan psikis merupakan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip syariah dapat dihukum dengan hukuman had atau ta’zir, baik bagi pelaku dewasa atau masih dalam kategori anak-anak. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarah pun, niscaya ia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarah pun, niscaya ia akan melihat (balasan)-nya pula. (QS. Al Zalzalah: 7-8).

Jelas sudah bahwa Islam menawarkan segala solusi untuk segala permasalahan.
Allahu’alam bis shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *