Bukan Uji Materi, Islamlah Solusi Hapuskan UU yang Menyengsarakan Rakyat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : F.Dasti (aktivis dakwah)

 

Bulan oktober lalu gejolak masyarakat muncul akibat disahkannya UU Cipta kerja. Dimana UU ini telah disahkan lebih awal dari waktu yang direncanakan. Berbagai protes muncul dimana-mana, mulai dunia nyata sampai dunia maya. Bahkan puncaknya 8 Oktober lalu terjadi demonstrasi besar yang menuntut dibatalkannya UU ini. Meski presiden tidak menemui demonstran ketika itu, namun akhirnya orang nomor satu ini mengeluarkan pernyataannya. Hal itu disampaikan melalui siaran langsung Youtube Sekretariat Presiden, Jumat (9/10).

Presiden RI memberi solusi dengan sebuah pernyataan, bagi yang menolak UU yang dinilai pihak pemerintah justru akan memudahkan masuknya investasi bagi negeri ini adalah dengan mempersilakan untuk mengajukan gugatan uji materi UU Cipta kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK) (cnnindonesia.com).

Setelah omnibus law UU Cipta Kerja resmi berlaku sejak tanggal 2 November 2020.  Aliansi buruh yang terdiri dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Andi Gani (KSPSI AGN) resmi mendaftarkan gugatan judicial review atau uji materi terhadap UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana solusi yang pernah diberikan oleh Pemimpin Negeri ini.

Namun agaknya, Uji materi ini harus disikapi dengan benar oleh masyarakat. Bahkan Dosen Fakultas Hukum Monash University yang juga pengurus PBNU Nadirsyah Hosen menyebut pernyataan Presiden terkait uji materi Omnibus Law Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi harus disikapi hati-hati (10/10). Menurutnya, pernyataan itu bisa mengundang kesalahpahaman.

Disatu sisi memang benar secara mekanisme, bahwa jika ingin membatalkan UU butuh uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Namun disi lain Nadirsyah menyampaikan jika ada gugatan ke MK, harus dilakukan dengan kejelasan pasal yang dipermasalahkan. Jika dikabulkan, maka yang akan dibatalkan MK hanya pasal yang digugat saja. UU ini memiliki peluang untuk dibatalkan secara keseluruhan, asalkan pasal yang digugat adalah pasal krusial dalam UU ini. Namun mengingat UU Cipta Kerja membahas tentang banyak hal, maka tidak akan ada satu pasal pun yang sangat krusial yang dapat membatalkan UU Cipta Kerja (news.detik.com). Dengan kondisi ini, harapan UU ciptaker dibatalkan MK memang sangat sulit. Ditambah butuhnya pengawalan yang begitu panjang.

Hadirnya UU Cipta Kerja telah membuka lebar kran investasi. Meski pemerintah menyampaikan bahwa UU ini adalah untuk kepentingan rakyat. Bukankah faktanya, hadirnya UU ini akan jauh lebih memudahkan para pengusaha berinvestasi di berbagai sektor? Lantas siapa yang akan diuntungkan? Bukankah para korporasi? Pemerintah dan Korporasi seolah menjadi dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Negara menjadi kehilangan perannya, bukan lagi menjadi pengurus urusan masyarakat tapi menjadi regulator bagi pemilik modal. Kondisi serba sulit yang dihadapi masyarakat hari ini tidak bisa dipisahkan dari sistem demokrasi yang telah sukses memunculkan ikatan yang kuat antara penguasa dan pengusaha. Biaya politik yang begitu mahal dalam demokrasi berpeluang besar memunculkan pemerintahan oligarki. Keanggotaan wakil rakyat di parlemen yang diharapkan mampu mewakili rakyat. Nyatanya tidak bisa terealisasi. Demokrasi telah berhasil memposisikan kepentingan partai dan pihak-pihak yang membiayai kampanye adalah yang utama. Sungguh ironi, kekecewaan masyarakat akan terus terulang.  Bahkan UU serupa omnibus law ciptaker akan terus bermunculan.

Kondisi ini bertolak belakang dengan Islam.

Dalam Islam ada kewajiban untuk mengoreksi penguasa yang menyimpang karena ia adalah manusia biasa. Islam mengingatkan pentingnya mengoreksi kezaliman penguasa meskipun taruhannya adalah kematian.

Rasulullah saw. bersabda: Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri menentang penguasa zalim dan ia terbunuh karenanya (HR Abu Dawud).

Dalam negara yang menerapkan islam secara kaffah yaitu khilafah. Ada struktur yang berposisi sebagai pengimbang atas setiap kebijakan Khalifah di dalam negara Khilafah, yaitu majelis umat dan mahkamah mazhalim. Rakyat yang merasa dizalimi oleh penguasa boleh mengadukan perkaranya kepada mahkamah madzalim. Qadhi (hakim) ini juga secara berkala mengawasi seluruh pejabat negara dan hukum perundang-undangan yang dilaksanakan untuk memastikan semuanya berjalan sesuai dengan syariah tanpa ada penindasan pada rakyat.

Selain itu mengoreksi kepada penguasa hukumnya wajib. Hal ini juga akan dilakukan oleh, individu warga negara maupun partai politik. Di tambah hadirnya Majelis umat yang merupakan majelis yang dipilih dari rakyat dan anggotanya terdiri atas perwakilan umat Islam dan non mslim, baik laki-laki maupun perempuan. Para anggota majelis ini mewakili konstituen mereka di dalam negara khilafah. Majelis ini tidak memiliki kekuasaan legislasi sebagaimana  lembaga perwakilan dalam sistem demokrasi. Namun demikian, anggota majelis dapat menyuarakan aspirasi politik mereka secara bebas tanpa dibayangi ketakutan terhadap sikap represif penguasa. Majelis umat melakukan fungsi utamanya dalam menjaga akuntabilitas pemerintahan di berbagai level dengan aktivitas musyawarah dan muhasabah.

Wallahu A’lam Bishawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *