Bukan Surplus, APBN Malah Minus, Bagaimana Menyiasatinya?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Henyk Widaryanti (Pegiat Literasi)

 

“Besar pasak dari pada tiang”. Lebih banyak pengeluaran dibandingkan pendapatan. Begitulah peribahasa yang cocok untuk keuangan negeri ini. Bertahun-tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) negeri +62 minus. Berbagai usaha sudah dilakukan, namun tak juga membuahkan hasil. Besaran pajak dan pendapatan lain tak jua mencukupi segala kebutuhan. Hingga akhir tahun ini, defisit anggaran masih menjadi bayang-bayang. Melihat sulitnya mengatasi masalah ini, adakah solusi yang belum dilakukan untuk menyelamatkan keuangan?

Defisit Bertubi-tubi

Sebagaimana dilansir oleh detikfinance, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa APBN 2021 mengalami defisit Rp7837,7 triliun atau 4,65% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menambahkan jika kondisi tersebut lebih baik dari tahun sebelumnya. Diketahui defisit tahun lalu 6,14% dari PDB.

Pada tahun-tahun sebelumnya, keuangan negara mengalami minus. Sepertinya, APBN surplus ibarat pungguk merindukan bulan. Hanya sebatas mimpi yang tak akan menjadi kenyataan. Agar masalah ini tidak berlarut-larut, perlu melakukan penanganan yang serius. Sebelum itu, kita harus mengetahui akar masalah sebenarnya.

Sistem Keuangan Kapitalisme

Defisit anggaran yang terus-menerus terjadi karena penerapan sistem ekonomi kapitalis. Dalam sistem ini, APBN menggunakan prinsip neraca seimbang. Dimana pendapatan harus setara dengan pengeluaran. Sumber pemasukan kas negara sebagian besar berasal dari pajak. Sebenarnya, ada pos lain seperti hasil sumber daya alam (SDA). Sayangnya jumlahnya hanya sedikit. Jadi jumlah pendapatan tak dapat memenuhi seluruh kebutuhan.

Jalan yang selama ini dipakai untuk menutupi seluruh kebutuhan adalah utang dan investasi. Seperti menggali masalah baru, dua solusi ini justru semakin menenggelamkan keuangan negara. Bagaimana tidak? Utang yang digadang-gadang sebagai penyelesaian masalah, justru melahirkan problem baru. Seperti yang kita ketahui, utang yang dilakukan mengambil prinsip riba. Dimana pinjaman akan terus naik karena ada tambahan bunga. Sampai Oktober 2021, jumlah utang negara +62 adalah sebesar Rp 6.687,28 triliun (cnbcindonesia.com, 29/11/2021)

Hati Rakyat Semakin Tersayat

Besaran utang yang semakin tinggi ini tentu malah memberatkan APBN. Hal ini dikarenakan setiap tahun negara harus mengalokasikan anggaran untuk membayar utang beserta bunganya. Bagaimana dengan kebutuhan lain? Pos seperti pendidikan, kesehatan, keamanan dll akan dikurangi atau kalau tidak demikian akan dicarikan utang lagi. Bisa dibayangkan, betapa ruwetnya keuangan negara saat ini.

Selain itu, investasi juga menambah daftar problem negara. Dengan investasi, pemerintah memang dapat membangun infrastruktur yang megah. Namun, pada kenyataannya tidak semua rakyat dapat menikmati fasilitas wah. Sebut saja jalan tol yang mengular di seluruh wilayah negeri ini, biaya untuk melewatinya cukup mahal. Akibatnya, hanya masyarakat berdompet tebal yang dapat memanfaatkannya.

Di sisi lain, pengelolaan bangunan hasil investasi kebanyakan dikelola oleh swasta. Hal ini dikarenakan pemerintah telah menjual infrastruktur tersebut untuk membangun infrastruktur lainnya. Lagi-lagi yang diuntungkan bukan rakyat, tapi para konglomerat.

Islam Memperhatikan Rakyat

Prinsip keuangan kapitalisme ternyata hanya melahirkan masalah baru. Hal ini berbeda dengan Islam. Agama yang dibawa oleh Nabi saw. ini akan menyelesaikan segala masalah dengan detail. Bahkan membuat negara untuk memperhatikan seluruh kebutuhan rakyat. Hal ini karena Islam mengajarkan pemimpin adalah pengayom rakyat.

“Imam adalah raa’in (penggembala) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari)

”Sesungguhnya Al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud)

Tawaran Islam tentang Pengelolaan APBN

Islam adalah agama yang komprehensif. Islam memiliki konsep yang sempurna untuk mengelola keuangan. Mulai dari memilih pengelola yang handal, hingga menggunakan sistem pengelolaan Baitumal yang mumpuni. Beberapa konsep tersebut adalah,

Pertama, Islam menyerahkan pengelolaan APBN pada khalifah (pemimpin muslim). Oleh karena itu Islam juga memiliki metode pengangkatan khalifah. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan pemimpin yang handal. Syarat menjadi pemimpin yang wajib dipenuhi adalah muslim, baligh, berakal, merdeka, mampu, dan adil. Dengan demikian ia akan amanah dengan tugasnya dan selalu berhati-hati mengatur keuangan negara.

Seperti yang pernah dilakukan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau mematikan lampu ruang kerja saat anaknya datang untuk membicarakan masalah keluarga. Sang Khalifah menjelaskan bahwa minyak yang digunakan lampu tadi dibeli dari uang negara. Sehingga tidak tepat menggunakan lampu itu untuk keperluan pribadi.

Kedua, APBN dalam sistem keuangan Islam mempunyai pemasukan yang tetap dan jumlahnya pun banyak. Seluruh pendapatan tadi dibagi dalam tiga pos. Di antaranya pos zakat, kas negara dan kepemilikan umum. Pos zakat berasal dari para muzaki. Pos negara mendapat masukan dari jizyah, ghanimah, fa’i, kharaj, harta yang tak memiliki ahli waris, harta yang dikembalikan oleh orang-orang yang berlaku curang. Sedangkan pos kepemilikan umum diperoleh dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).

Ketiga, negara memiliki sistem pengeluaran yang presisi dan teliti. Seluruh pembiayaan akan diawasi dan dipastikan tepat sasaran. Semua pengeluaran harus sesuai dan tidak boleh melanggar syarak. Dengan demikian kas negara akan aman dan tidak mudah dimanipulasi.

Keempat, penggunaan APBN akan diawasi oleh beberapa pihak, seperti rakyat, majelis umat, majelis wilayah hingga partai politik. Dengan begitu, tidak ada peluang berlaku curang dan memanfaatkan kas APBN. Para pengawas keuangan tersebut akan selalu mengingatkan. Semua ini akan berjalan dengan dorongan iman, saling nasihat menasehati daq kasih sayang.

Empat hal itulah yang ditawarkan Islam untuk memperbaiki keuangan negara. Hanya saja, keempat hal itu tidak dapat berjalan kecuali dengan penerapan Islam di segala bidang. Kapitalisme dengan demokrasinya tidak akan bisa menerapkan sistem Islam. Hanya Islam dengan sistem pemerintahan (khilafah) yang dapat mewujudkannya. Jadi, tunggu apa lagi? Mau mengambil siasat yang ditawarkan Islam atau tetap bertahan dalam kubangan kapitalisme?

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *