Bukan Lumbung Pangan Nasional, Islamlah Solusi Hakiki Atas Krisis Pangan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Dyah Astiti (aktivis dakwah)

Ancaman krisis pangan yang terjadi akibat dampak covid -19 telah menghantui banyak negara. Tak terkecuali Indonesia. Bahkan pada April lalu, Presiden Joko Widodo telah memperingatkan para menteri Kabinet Indonesia Maju atas ancaman krisis pangan tersebut.

Sontak hal tersebut berhasil direspon oleh para menteri, mulai dari Menteri Pertanian (Mentan), Menteri PUPR, Menteri BUMN, dan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dengan merencanakan pembangunan lumbung pangan nasional (food estate) pertama yang berlokasi di Kalimantan Tengah.

Lumbung pangan ini diyakini bisa meningkatkan pendapatan petani dan mengentaskan masalah negeri ini dari krisis pangan. Dalam kunjungannya ke Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Kamis (8/10), Jokowi menjelaskan bahwa program lumbung pangan ini tidak hanya fokus pada satu komoditas saja. Di atas 30.000 hektare lahan di Kalimantan Tengah, nanti akan dikombinasikan sawah untuk padi, serta tanaman lain seperti jeruk, bawang merah, hingga kelapa. Dengan memanfaatkan saluran irigasi, Limbung pangan juga akan mencakup budidaya ikan. Sistem tanamnya pun akan didukung oleh teknologi pertanian terkini, seperti traktor apung untuk mempercepat proses tanam. Selain itu lumbung pangan ini diharapkan akan menjadi solusi bagi krisis pangan yang tengah mengancam dunia hari ini termasuk Indonesia (republika.co.id)

Mampukah lumbung pangan menjadi solusi atas krisis pangan ?

Tak bisa dipungkiri hadirnya lumbung pangan nasional menjadi langkah optimalisasi produksi pangan nasional. Namun ada banyak hal yang perlu diperhatikan terkait dengan krisis pangan yang harusnya juga turut dikaji dan dibenahi.

Ketahanan pangan merupakan sesuatu yang perlu terus dibangun. Apalagi di tengah kondisi krisis yang menimpa negeri ini. Bahkan untuk negeri yang notabene negara agraris. Ternyata ketahanan pangan Indonesia masih lemah. Lemahnya ketahanan pangan jelas tak bisa dipisahkan dari manajemen ketahanan pangan itu sendiri yang sangat erat kaitannya dengan sistem yang diterapkan. Bukan hanya sekedar optimalisasi produksi.

Optimalisasi produksi, seolah akan menjadi sesuatu yang sia-sia jika tidak dibarengi dengan berbenahnya manajemen distribusi dan penyelesaian masalah kemiskinan. Karena Ketahanan pangan adalah kemampuan sebuah negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya akan pangan. Meskipun ketersediaan pangan berlimpah, namun jika daya beli masyarakat rendah akibat kemiskinan. Tetap saja distribusi tidak akan merata dan kesulitan akan kembali dirasakan masyarakat.

Namun untuk membenahi sistem distribusi dan keluarnya negara dari masalah kemiskinan jelas tidak mungkin diwujudkan dalam sistem kapitalisme. Sistem dengan orientasi keuntungan ini berhasil menjadikan kekayaan hanya berputar diantara pemilik modal. “Yang kaya makin kaya, yang mikin makin sengsara”. Agaknya slogan itu sangat tepat untuk menggambarkan kondisi hari ini.

Belum lagi liberalisasi yang tidak pernah bisa dipisahkan dari sistem kapitalisme. Liberalisasi berdampak pada terbukanya kran investasi dalam segala bidang. Kondisi ini telah menjadikan mengalirnya keuntungan pada para pemilik modal. Bukan hanya tentang krisis pangan. Disadari atau tidak, banyak permasalahan yang hari ini menimpa negeri adalah dampak sistem kapitalisme.

Butuh Perubahan Hakiki

Kondisi pengelolaan masalah krisis pangan hari ini sangat berbeda dengan Islam. Dalam Alquran dicontohkan bagaimana Nabi Yusuf membangun ketahanan pangan.

“Yusuf, wahai orang yang sangat dipercaya! Terangkanlah kepada kami (takwil mimpi) tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk yang dimakan oleh tujuh (ekor sapi betina) yang kurus, tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahui.” (QS. Yusuf : 46)

Menurut penulis tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, Ibn ‘Asyur, manajemen katahanan pangan ala Nabi Yusuf As tersebut perlu diwujudkan dengan memahami simbol-simbol ketahanan pangan.

“Sapi yang gemuk merupakan simbol orientasi produksi pangan dengan mengoptimalkan produksi lahan pertanian. Tangkai gandum yang hijau adalah simbol tata pembenihan, penyuburan dan produksi pangan untuk mencukupi kebutuhan pokok setiap masa tanam. Sapi yang kurus melambangkan pentingnya mengantisipasi masa paceklik dan krisis pangan di masa mendatang.”

Setidaknya ada lima prinsip pokok tentang ketahanan pangan yang digagas dan diterapkan oleh Nabi Yusuf AS yang pernah dijalankan di masa yang panjang dari peradaban Islam, yang tetap relevan hingga masa-masa mendatang.

Pertama, optimalisasi produksi, yaitu mengoptimalkan seluruh potensi lahan untuk melakukan usaha pertanian berkelanjutan yang dapat menghasilkan bahan pangan pokok. Di sinilah peran berbagai aplikasi sains dan teknologi, mulai dari mencari lahan yang optimal untuk benih tanaman tertentu, teknik irigasi, pemupukan, penanganan hama hingga pemanenan dan pengolahan pasca panen.

Kedua, adaptasi gaya hidup, agar masyarakat tidak berlebih-lebihan dalam konsumsi pangan. Konsumsi berlebihan justru berpotensi merusak kesehatan (wabah obesitas) dan juga meningkatan persoalan limbah. Nabi juga mengajarkan agar seorang mukmin baru “makan tatkala lapar, dan berhenti sebelum kekenyangan”.

Ketiga, manajemen logistik, dimana masalah pangan beserta yang menyertainya (irigasi, pupuk, anti hama) sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah yaitu dengan memperbanyak cadangan saat produksi berlimpah dan mendistribusikannya secara selektif pada saat ketersediaan mulai berkurang. Di sini teknologi pasca panen menjadi penting.

Keempat, prediksi iklim, yaitu analisis kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrim dengan mempelajari fenomena alam seperti curah hujan, kelembaban udara, penguapan air permukaan serta intesitas sinar matahari yang diterima bumi.

Kelima, mitigasi bencana kerawanan pangan, yaitu antisipasi terhadap kemungkinan kondisi rawan pangan yang disebabkan oleh perubahan drastis kondisi alam dan lingkungan. Mitigasi ini berikut tuntunan saling berbagi di masyarakat dalam kondisi sulit seperti itu.

Bukan hanya itu, Daulah Islam telah berhasil mencetak banyak ilmuwan pertanian. Misalnya, Abu Zakaria Yahya bin Muhammad Ibn Al-Awwan, tinggal di Sevilla. Ia menulis buku Kitab al-Filahah yang menjelaskan rincian tentang hampir 600 jenis tanaman dan budidaya 50 jenis buah-buahan, hama dan penyakit serta penanggulanganya, teknik mengolah tanah, sifat-sifat tanah, karakteristik dan tanaman yang cocok, juga tentang kompos.

Sungguh begitu sempurnanya aturan Islam. Mampu menjadi penyelesai dalam setiap permasalahan karena datang dari Zat yang paling tahu tentang manusia, alam semesta dan kehidupan. Satu-satunya solusi hakiki atas setiap permasalahan manusia.

Wallahu’alam Bissawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *