BPJS Naik Di Saat Pandemi, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Yani Ummu Farras Abiyyu, S.Pd.I

Belum usai pandemi Covid-19 yang meresahkan rakyat Indonesia, muncul pula keresahan baru yang datang dari pemerintah. Pasalnya pada bulan Juli Pemerintah putuskan menaikkan iuran BPJS untuk kelas 1 dan 2, sementara kelas 3 naik pada tahun 2021 mendatang. Tak hanya meresahkan, kabar ini juga membuat rakyat Indonesia kecewa. Rakyat ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto mengungkapkan alasan kenaikan iuran ini adalah untuk menjaga keberlangsungan dari program Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) BPJS Kesehatan. (Kompas.com, 13 Mei 2020)
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, seharusnya iuran BPJS Kesehatan tak perlu dinaikkan apalagi di masa pandemi Virus Corona saat ini.

Menurutnya, BPJS seharusnya bisa menutup beban tahun ini dengan iuran lama bahkan bisa memperoleh surplus. Terlebih Timboel menilai kualitas layana BPJS Kesehatan justru menurun di tengah pandemi Covid-19. Hal ini terlihat dari banyaknya keluhan masyarakat. (Merdeka.com, 14 Mei 2020)

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh meminta agar Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang menaikkan iuran BPJS dikaji ulang. Terlebih saat ini masyarakat sedang kesusahan akibat dari sebaran virus corona. Nihayatul juga berpendapat kebijakan pemerintah ini tidak konsisten,membingungkan, bikin resah masyarakat. Dia bahkan menganggap Presiden mempermainkan hati rakyat. (Fajar.co.id, 14 Mei 2020)

Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono/AHY turut menayangkan langkah Presiden yang bersikukuh tetap menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Pasalnya, kenaika ini terjadi di tengah masyarakat sedang menghadapi pandemi Covid-19, yang turut berdampak terhadap perekonomian mereka. Menurut AHY, masyarakat sedang membutuhkan fasilitas jaminan kesehatan, sementara pademi juga menciptakan peningkatan pengangguran dan angka kemiskinan. Masyarakat ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. (TribunMataram.com, 15 Mei 2020)

Keputusan pemerintah ini menuai banyak kritikan, sekaligus penolakan oleh masyarakat luas. Keputusan menaikkan Iuran BPJS Kesehatan di tengah wabah tak hanya melanggar putusan Mahkamah Agung (MA), yang membatalkan kenaikan Iuran BPJS Kesehatan dalam Judicial Review Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019, tapi juga menunjukkan ketidakpedulian pemerintah terhadap kondisi rakyat.

Di tengah pandemi Covid-19 yang kian hari bertambah jumlah kasusnya seharusnya pemerintah menyediakan layanan kesehatan terbaik bagi rakyat. Selain layanan yang berkualitas, pemerintah juga wajib memberikan layanan kesehatan itu secara gratis mengingat pandemi ini berdampak makin melemahnya pendapatan masyarakat serta makin sulitnya perekonomian rakyat. Pengangguran meningkat, kemimskina bertambah, bahkan telah muncul kasus kelaparan hingga menelan korban nyawa akibat tak kuat menghadapi kondisi sulit selama pandemi ini.

Pemerintah seharusnya hadir untuk memberi solusi dan meringankan beban rakyat. Da di tengah wabah penyakit ini layanan kesehatan adalah aspek pertama dan utama yang harus menjadi perhatian pemerintah. Bukan sebaliknya, makin memperburuk keadaan rakyat dengan menetapakn kebijakan dzalim, yang menunjukkan bahwa pemerintah tak punya hati. Tak terbayangkan betapa berat beban ini harus dipikul oleh rakyat. Jangankan untuk membayar iuran BPJS Kesehatan dengan tarif normal, untuk makan saja masyarakat kesulitan, bahkan banyak yang akhirnya melanggar arahan tetap di rumah demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dengan alasan harus keluar untuk mencari nafkah. Lalu dari mana rakyat akan mendapat uang untuk membayar iuran BPJS yang dinaikkan? Terlebih pemerintah juga akan menetapkan sanksi berupa denda layanan sebesar 2,5% dari biaya pelayanan rumah sakit yang telah digunakan. Sungguh rezim benar-benar mendzalimi rakyat!

Kebijakan dzalim pemerintah ini tak lepas dari pengaruh ideologi yang diterapkan oleh negeri ini. Kapitalsime menjadikan orintasi segala urusan kehidupan adalah keuntungan materi, tak terkecuali layanan kesehatan.

Layanan kesehatan harusnya menjadi hak tiap rakyat yang dijamin oleh negara, namun negara dalam sistem Demokrasi menjadikan layanan kesehatan justru sebagai sektor komoditi yang diperjualbelikan. Bahkan keterlibatan rumah sakit, alat kesehatan, hingga lembaga asuransi kesehatan swasta menjadikan layanan kesehatan sebagai sarana para koorporasi meraih keuntungan. Alhasil layanan kesehatan tak lagi berbicara hak rakyat, tapi berbicara layanan yang bisa didapat bila rakyat mampu membayar!

Wajar saja bila pemerintah akhirnya menyerahkan pembiayaan kesehatan kepada rakyat sendiri, sebab pemerintah ingin berlepas tangan dari perannya menyediakan layanan kesehatan.

Sungguh kondisi sistem inilah yang semakin membuat rakyat sengsara dan terpuruk. Parahnya lagi dalam sistem Demokrasi tak hanya orang yang sakit yang harus baar, bahkan yang sehat pun harus bayar iuran kesehatan!
Kondisi buruk yang diciptakan oleh kapitalisme Demokrasi seperti saat ini tak akan ditemukan dalam sistem pemeintahan Islam. Khilafah sebagai negara berbasis akidah Islam akan menjalankan fungsinya sesuai ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Islam memandang bahwa layanan kesehatan adalah termasuk kebutuhan dasar rakyat, sebagaimana pendidikan dan keamanan, yang menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya. Khilafah Islamiyah sebagai sebuah negara mandiri akan memberikan layanan kesehatan demikian pula pendidikan dan keamanan dengan kualitas terbaik untuk seluruh rakyat Khilafah, baik muslim ataupun nom muslim.

Nabi Saw sebagai kepala Negara menyediakan dokter gratis untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi SAW mendapat hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi masyarakat. (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah Saw sebagai kepala negara kemudian meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola oleh Baitul Maal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan meminum air susunya secara gratis sampai sembuh. (HR. Bukhari dan Muslim)

Saat menajdi Khalifah, Umar bin al-Khaththab ra., juga menyediakan dokter gratis untuk mrngobati Aslam. Demikian pula di masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, di masa itu kaum muslimin meraih kegemilangan di bidang ilmu pengetahuan, sehingga di masa itu kaum muslimin banyak memiliki dokter yang mereka bekerja untuk memberikan layanan kesehatan terbaik bagi rakyat. Pembiayaan kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh negara.

Khalifah bahkan mendorong kaum muslimin untuk belajar dan melakukan penelitian-penelitian dibidang penyakit dan pengobatan, agar masyarakat benar-benar mendapatkan layanan kesehatan terbaik dan bisa segera sembuh. Terlebih lagi layanan ini akan rakyat dapatkan dengan sangat mudah bahkan gratis.

Rakyat tak akan dibebani apalagi didzalimi dengan iuran kesehatan yang nominalnya mencekik. Di masa Daulah Abbasiyah, Khalifah bahkan akan mengganti penghasilan yang tidak didapatkan oleh seorang kepala keluarga selama ia sakit, agar anggota keluarganya bisa tetap mendapatkan nafkah meski kepala keluarganya tengah sakit.

MasyaAllah, sungguh luar biasa sistem Khilafah dalam melayani kebutuhan rakyatnya. Semua ini dilakukan oleh para pemimpin dalam sistem Khilafah karena mereka menjalankan roda pemerintahan dengan dorongan ketaatan kepada Allah dan penerapan Islam secara menyeluruh, alhasil persoalan apapun yang mendera Khilafah akan mampu diselesaikan dan lolos dari masalah dengan hasil yang gemilang.

Sistem Khilafah inilah yang dibutuhkan masyarakat dunia saat ini, di tengah pandemi wabah penyakit, rakyat butuh sosok pemimpin yang peduli, serta bersungguh-sungguh bekerja untuk menyelesaikan pandemi ini. Termasuk menjamin kebutuhan akan layanan kesehatan terbaik serta terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat selama masa pandemi. Hal ini lagi-lagi mampu dilakukan oleh sistem Khilafah sebab Khilafah memiliki mekanisme pengelolaan keuangan terbaik, tak seperti dalam sistem Demokrasi saat ini yang tak pernah siap menghadapi krisis apapun, disebabkan rusaknya tata kelola sistem ini dalam segala aspek.

Wallahu A’lam bish Shawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *