Oleh: Neneng Sriwidianti (Pengasuh Majelis Taklim dan Member AMK)
Masyarakat dibuat geleng-geleng kepala dengan kebijakan pemerintah, yang akan memberikan BLT untuk pekerja swasta dengan gaji di bawah lima juta dan terdaftar sebagai peserta BPJS. BLT itu bernilai Rp 600 ribu. Pro kontra pun merebak di tengah-tengah masyarakat. Padahal, masih banyak masyarakat miskin dengan penghasilan rendah, ditambah korban PHK yang terus terjadi akibat pandemi yang tak kunjung berakhir. Apakah kondisi seperti ini tidak diperhitungkan oleh pemerintah? Terlihat jelas perlakuan pemerintah yang tebang pilih. Ironis!
Ada 13,8 juta pekerja yang bakal mendapatkan bantuan ini. Datanya diambil dari BPJS Ketenagakerjaan. Kriterianya mereka bukan PNS dan memiliki iuran di bawah Rp150.000/bulan. Total anggaran yang dipersiapkan pemerintah mencapai Rp 31,2 triliun, kata Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Erick Thohir.
“Untuk mendorong konsumsi masyarakat.” Katanya lewat keterangan tertulisnya kepada Tirto.id (6/8/2020).
Hal ini berbeda dengan pendapat Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menurutnya BLT untuk pekerja berupah di bawah Rp 5 juta ini akan sia-sia. Alih-alih untuk konsumsi, BLT malah akan disimpan untuk keperluan mendesak di masa depan. Pada dasarnya kemampuan finansial mereka masih memadai.
“Kalau jadi simpanan menghadapi resesi tentu saja ekonomi akan mandek atau stagnan,” ucap Tauhid dalam konferensi pers virtual, Tirto.id (6/8/2020).
Begitulah, solusi yang diambil pemerintah selalu saja salah sasaran dan abal-abal. Dari data BPJS ketenagakerjaan per Januari 2019 mencatat hanya ada 2,4 juta pekerja informal yang terdaftar padahal potensinya 60 juta. Belum lagi mereka yang kesulitan ekonomi tapi tak terdaftar di BPJS ketenagakerjaan akibat terkena PHK, dirumahkan, habis kontrak dan tidak terdata oleh kementerian ketenagakerjaan. Aroma ketidakadilan terlihat jelas.
Inilah, bukti gagalnya sistem Kapitalisme dalam menyelesaikan masalah negara ini. Pemerintah tidak cerdas dalam menangani masalah pandemi. Seharusnya, masyarakat tidak lagi percaya terhadap sistem ini, yang hanya memunculkan krisis yang terus-menerus.
Islam satu-satunya solusi untuk bisa keluar dari permasalahan saat ini. Negara sebagai raa’in, akan berusaha dengan maksimal untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini.
Seorang pemimpin dalam Islam, mereka selalu hadir memberikan pertolongan kepada rakyat saat dilanda musibah. Seorang Imam dalam Islam, dia adalah tempat mengadu di dunia saat hak mereka sebagai warga negara belum diterima. Mereka juga akan berlaku adil terhadap semua orang yang menjadi warga negara daulah. Adil inilah yang menjadi syarat terpilihnya mereka menjadi pemimpin.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Ahmad dan Bukhari)
Sosok pemimpin seperti ini hanya akan terwujud ketika Islam diterapkan secara sempurna dalam bingkai khilafah Islam. 13 abad adalah bukti yang nyata, Islam dengan peradabannya yang agung telah melahirkan para pemimpin yang luar biasa. Mereka memiliki kepribadian Islam yang sangat tinggi, disertai rasa takutnya kepada Allah Swt. senantiasa dihadirkan karena mereka yakin suatu saat nanti akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Oleh karena itu, tugas kita hari ini adalah mendekatkan kembali gambaran peradaban Islam ke tengah-tengah masyarakat. Agar mereka memahami bahwa umat Islam pernah berjaya selama 13 abad dan kekuasaannya meliputi 2/3 dunia.
Semoga penayangan perdana Film Jejak Khilafah di Nusantara, serentak pada tanggal 1 Muharram 1442 H/20 Agustus 2020, semakin membangkitkan ghirah kaum muslimin untuk secepatnya berjuang menegakkan kembali khilafah yang terakhir. Mewujudkan janji Allah Swt. dan menyambut bisyarahnya Rasulullah saw. Allahu Akbar.
Wallaahu a’lam bishshawaab.