Oleh: Siti Farihatin, S.sos ( Guru Kober dan Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Wabah covid-19 menjadi naik daun dan tidak bosan untuk diperbincangkan dari segi aspek dampak wabah. Dampak ekonomi menjadi perhatian khusus karena merupakan kebutuhan utama dan mendesak.
Beberapa kebijakan penguasa untuk rakyat terkait dengan masalah ekonomi salah satunya dengan memberikan BLT (Bantuan langsung tunai) untuk rakyat yang dirasa miskin dan tidak bisa memenuhi kebutuhan selama pandemi.
Sontak kebijakan ini diterima positif oleh masyarakat dan mereka sungguh berharap akan benar-benar terealisir dengan baik. Tapi harapan tinggal harapan semakin rakyat berharap mendapatkan BLT, bantuan tersebut tidak kunjung turun dengan mudah.
Administrasi yang berbelit dan tidak mudah menjadikan rakyat kecewa. Menurut surat No 1261 Kemendes-PDT, pemberian BLT dari dana desa, prosedurnya cukup panjang dan berbelit yakni tertib administrasi dan punya rekening bank. Syarat utama, penerima BLT bukan penerima bansos dari kementerian lain.
Menurut sehan Ladjar ( Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara) mekanisme untuk mendapatkan BLT ini sangat sulit dan rakyat tidak bisa menunggu untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“Kalau sistem pembagian BLT tanya saja di Kemensos dan Kemendes, itu program kedua kementerian itu. Kalau program saya menelangi kesulitan rakyat yang sangat mendesak, mereka butuh makan hari ini, bukan disuruh menunggu besok, atau sampai administrasi tentang BLT selesai. Kebutuhan untuk isi perut rakyat tidak bisa menunggu onggokan kertas yang diminta oleh para menteri, sebagai syarat untuk mendapatkan uang Rp 600 ribu, rakyat saya bahkan memohon biar tidak dapat duit BLT,” Jelas Sehan saat dikonfirmasi, Minggu (26/4/2020). Dilansir dalam detik.news.
BLT diberikan melalui dana desa yang dana ini kerap dimanfaatkan untuk insfrastruktur seperti jalan dan jembatan. Per keluarga akan mendapatkan 600.000 selama 3 bulan berturut turut dengan total yang diterima adalah 1.8 juta per keluarga.
BLT ini diberikan untuk keluarga yang tidak mempunyai penghasilan di tengah pandemi. Dan yang masuk pendataan RT/RW di desa. Syarat lain, calon penerima tidak terdaftar sebagai penerima bantuan sosial (bansos) lain dari pemerintah pusat. Artinya, calon penerima BLT dari Dana Desa merupakan mereka yang tidak menerima Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Paket Sembako, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) lain, hingga Kartu Prakerja.
Tapi kenyataan yang terjadi, BLT ini kurang tepat sasaran. Adanya anggota DPRD DKI yang menjadi daftar penerimaan bansos adalah salah satu bukti nyata, warga yang keluyuran di tengah pandemi mendapat bantuan ganda dan fenomena warga yang kelaparan di tengah pandemi menjadi bukti kurang tepatnya sasaran kebijakan ini.
Hal ini berbanding terbalik dengan kebijakan yang pernah diterapkan sistem Islam. Hak setiap rakyat menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Pemenuhan dan kesejahteraan menjadi hal yang utama untuk dilaksanakan penguasa.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR Muslim dan Ahmad).
Memaksimalkan perekonomian Islam menjadi hal yang harus dilakukan. Sumber pendapatan dan pendistribusian untuk kesejahteraan rakyat harus tepat sasaran. Diantaranya, kepemilikan dalam Islam diatur dengan rinci. Kepemilikan individu yang menjadi hak individu dan tidak boleh negara mengusiknya, kepemilikan negara menjadi hak negara untuk memanfaatkannya dan kewajiban untuk dimanfaatkan mensejahterakan rakyat, serta kepemilikan umum yang menjadi hak rakyat secara umum dan haram untuk diswastanisasi.
Dengan gambaran sistem Islam ini, menjadikan apa yang menjadi hak ranyat bisa terpenuhi bahkan di tengah pandemi seperti sekarang ini. Negara menjadi pionir untuk kesejahteraan rakyat secara sempurna dan terdepan, karena hal itu sudah menjadi kewajiban yang hakiki bagi negara.