Oleh : Ayla Ghania (Pemerhati Sosial, IRT)
Terhitung sejak pengumuman kasus pertama covid-19 oleh Presiden Jokowi pada hari Senin, 2 Maret 2020, maka sudah memasuki bulan ke-3 kita disibukkan dengan covid-19. Waktu yang cukup lama ini menjadikan masyarakat semakin bingung untuk bersikap, haruskah kita tetap waspada terhadap covid -19 ataukah kita abaikan saja? Dua sikap yang saling bertentangan tapi serasa sulit untuk memutuskan, tentu bukan tanpa alasan. Pemerintah merupakan pihak yang paling bertanggung jawab, dengan seluruh sumberdaya seharusnya bisa menjadi rujukan masyarakat untuk bersikap dengan benar dan tepat. Tapi nyatanya sejak awal pemerintah kurang menunjukan upaya prefentif. Bahkan para pejabat membuat pernyataan dan kebijakan yang nampak tidak konsisten.
Sejak munculnya corona di Wuhan, para pejabat mengeluarkan pernyataan yang terkesan meremehkan. Mulai dari pernyataan “Iklim tropis Indonesia akan menghambat penyebaran corona”, “Orang Indonesia kebal virus corona”, “Virus corona bisa sembuh dengan sendirinya”, “pasien corona bisa sembuh dengan minum jamu”, “goyang ala tik-tok menangkal corona” hingga pernyataan “berkat doa kyai dan qunut, corona menyingkir dari Indonesia”.
Namun akhirnya corona mampu menerobos pertahanan Indonesia. Kasus covid-19 di Indonesia berdasar data dari www.covid19.go.id pada 28 Mei 2020, tembus pada angka 25.216 kasus. Pasien yang dirawat sejumlah 17.204 orang, pasien yang sembuh sejumlah 6.492 orang, sementara pasien yang meninggal mencapai 1.520 orang. Pejuang covid-19 garda terdepan pun tak sedikit yang gugur. Tercatat tak kurang dari 38 dokter dan 17 perawat meninggal dunia akibat covid-19 (Kompas.com, 6/5/2020). Pun sampai sekarang, vaksin covid-19 masih terus ditunggu dan iklan jamu tak lagi laku.
Jurus Lawan Corona yang dilakukan Pemerintah dengan “Diskon Tiket Pesawat, bebaskan pajak hotel dan restoran” justru menjadi sambutan terhangat masuknya covid-19 ke Indonesia. Alih alih melakukan kebijakan Lockdown (solusi Islam), karantina wilayah-pun nampak enggan dilakukan meski memiliki dasar hukum UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pemerintah mencukupkan diri dengan mengajak kepada masyarakat untuk melakukan social distancing, physical distancing, kemudian Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Pun demikian sebagian besar masyarakat tetap patuh terhadap pemberlakuan PSBB demi memutus mata rantai covid-19. Tentunya, kepatuhan masyarakat terhadap PSBB ini bukan tanpa pengorbanan. Meskipun School From Home dan Work From Home memiliki banyak hikmah, tapi juga menimbulkan segudang masalah. Energi dan fikiran kita cukup terkuras mengatasi bermacam dampak negatif PSBB. Terlebih lagi, umat Islam khususnya, harus mengikhlaskan sejumlah masjid ditutup untuk sholat jamaah. Alhasil Ramadhan kali ini umat Islam lebih banyak beribadah di rumah, tarawih, tadarus bahkan Sholat Idul Fitri di rumah bagi yang tinggal di Zona Merah.
Tak terhitung pengorbanan masyarakat demi patuh PSBB, namun apa balasan dari pemerintah? BPIP bersama MPR melakukan konser virtual – di minggu terakhir Ramadhan – yang ternyata ada pelanggaran PSBB didalamnya.
Penutupan Sebagian Masjid dan Larangan Mudik sangat kontras dengan padatnya pusat perbelanjaan dan bandara. Upaya keras pencegahan Arus Balik, dibarengi dengan pembukaan Mall Summarecon Bekasi dan Resinda Park Mall Karawang. Dan direncanakan 60 mall di Jakarta dibuka kembali pada tanggal 5 Juni 2020 untuk persiapan New Normal Life. Viralnya tagar “Indonesia, terserah” menjadi isyarat jika masyarakat telah lelah dengan sikap ambivalen Pemerintah. Sampai sekarang korban terus bertambah tapi pemerintah justru mempersiapkan New Normal Life. Masyarakat kembali dibuat bingung, pemerintah kita ini serius tidak dalam upaya memutus mata rantai covid-19 ini?
Rasanya telinga ini masih hangat mendengar ajakan “Perang Melawan Corona”, tetiba panas dengar “Berdamailah dengan corona”. Yang lebih menyayat hati para wanita, ada pejabat negara yang tega membuat meme “corona like your wife”. Bagaimana bisa virus mematikan ini disamakan dengan istri, si teman sejati? Haruskah kita berdamai dengan corona seumur hidup kita? Bukankah kita ini seperti “anak ayam yang kehilangan induk”? Saat seperti ini, rindu rasanya dengan keberadaan Pemimpin yang mampu melindungi, mengayomi yang mampu menjadi penunjuk arah, pemecah solusi atas segala permasalahan kita.
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR Bukhari)
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah Pemimpin yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan mereka”. (HR. Shohih Muslim)
“Sesungguhnya seorang pemimpin itu adalah perisai, rakyat akan berperang di belakangnya serta berlindung dengannya. Apabila ia memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla serta bertindak adil, maka ia akan mendapat pahala.Tetapi jika ia memerintahkan dengan selain itu, maka ia akan mendapat akibat buruk hasil perbuatannya.” [Hadis Riwayat Muslim, 9/376, no. 3428].
Kita membutuhkan pemimpin akan lebih mengutamakan nyawa rakyat dibanding pertumbuhan ekonomi. Pemimpin yang dalam ucapannya selaras dengan tindakannya. Pemimpin yang pernyataannya konsisten dengan kebijakannya, karena pemimpin ini akan senantiasa merujuk pada syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Pemimpin yang tidak akan membuat “bingungisasi nasional”. Dia adalah seorang Khalifah. Khalifah sesungguhnya, bukan sekedar orang yang dimiripkan dengan Khalifah. Wallahu a’lam bish showab.