Biang Kerok Ibu Menggila

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Shafayasmin Salsabila (Founder MCQ. Sahabat Hijrah Indramayu)

“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”

Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim di atas, nampaknya tak cukup meredamkan emosi seorang ibu berinisial NP (21) yang tinggal di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Kalap, di rumah kontrakannya, selama 20 menit air galon digelonggongkan ke kerongkongan purtinya ZNL (2,5) hingga tewas. NP mengaku menyiksa anaknya lantaran stres diancam akan diceraikan oleh sang suami, jika tubuh anaknya tidak bertambah gemuk (islampos.com, 26/10/2019).

Sudah fitrahnya naluri keibuan dimiliki wanita. Mengandung, melahirkan, merawat dan membesarkan buah hati dengan rasa sayang. Namun jika faktanya muncul tragedi ibu bunuh anak, pasti ada biang keroknya, sesuatu yang menghisap fitrah ibu, sampai kering dan tak bersisa.

Banyak faktor yang menyebabkan berat tubuh balita di bawah standar. Salah satunya adalah kurangnya asupan gizi. Sebagian besar ibu sepakat, kian hari kebutuhan pokok kian mahal, dompet cepat sekali tipisnya. Bagaimana bisa berharap angka timbangan anak segera bergeser ke kanan, jika makanan sehat dan kaya nutrisi tidak terbeli.

Sayur mayur pun sudah menampakkan keangkuhannya, harga seikat bayam, tak seperti dulu lagi. Wortel, tomat, hingga jahe dan kawan rimpang lainnya turut menggali kocek sampai dalam.

Semua memojokkan kaum ibu dari idealismenya untuk menyajikan makanan terbaik dan sehat. Alhasil, kerupuk menjadi pelipur lara. Berpikir untuk membeli susu, seperti mimpi di siang bolong. Tak aneh, jika banyak ibu cepat tersulut emosi sampai depresi, mudah kalut dan menggila.

Namun, kesempitan ekonomi hanyalah dampak dari penerapan sistem buatan akal manusia. Coba buka mata, sebenarnya banyak diantara kita yang dimiskinkan oleh sistem. Bukan semata karena kemalasan dari pencarian sesuap nasi. Semua harus beli, apa-apa mahal, uang menjadi tumpuan. Tanpanya, dapur tidak bisa beroperasi. Sekolah anak, kesehatannya semua berbiaya tinggi.

Mencari uang sedemikian susah payahnya, kadang kala, banjirnya keringat tak sepadan dengan besarnya upah. Tapi mengeluarkannya bak membalik telapak tangan, sebentar saja sudah habis. Musnahlah keadilan. Besar pasak dari pada tiang, defisit tiap bulan, ibu-ibu jarang sekali merasakan surplus anggaran, padahal tak jarang di antara mereka ada yang turut banting tulang, membantu perekonomian keluarga.

Penerapan sistem ekonomi kapitalis, menjadi biang kerok penderitaan lahir dan batin kaum ibu sekaligus palu penghancur rumah tangga. Sistem ini memanjakan para pemodal, dan menginjak-injak rakyat jelata.

Amat sadis, karena mampu membawa krisis pada suatu negeri. Antony Giddens sosiolog dari Inggris mengatakan bahwa sistem kapitalisme ini ibarat jugernath. Di tahap awal, sistem kapitalisme ini memang seperti kuda yang menarik kereta. Jadi bisa mempercepat ekonomi dan memberi keuntungan para pemilik modal. Tapi, semakin lama semakin cepat dan tidak lagi terkendali, sehingga pada akhirnya jugernath itu pun bisa membanting dan menghancurkan kereta yang ditariknya itu.

Demikian juga yang terjadi pada sistem kapitalisme saat ini. Sistem kapitalisme sekarang sudah mendekati tahap penghancuran diri sendiri. Dan yang terimbas paling pertama adalah rakyat biasa, tak terkecuali para ibu. Besok-besok, semua akan diremukkan oleh sistem ini.

Rasanya, seperti mengurai benang kusut. Ibu adalah bagian dari rakyat yang semestinya dijamin kesejahteraan dan keberlangsungan hidupnya. Tidak malah dibiarkan berjalan sempoyongan dan terseok sendirian. Selain suami yang mengusahakan nafkahnya, ada peran negara yang tidak boleh dilupakan.

Sejarah mencatat, satu hari khalifah Umar bin Khattab RA, menemukan seorang ibu yang terlalu terburu-buru menyapihkan bayinya agar segera mendapat tunjangan. Bayinya gelisah dan terus-menerus menangis. Maka sadarlah Umar akan kesalahannya, Umar berkata sepenuh penyesalan: “Betapa buruknya Umar. Berapa banyak anak Muslim yang meninggal dunia!” Tak seberapa lama, Umar membuat kebijakan baru. Umar memerintahkan agar bayi-bayi tidak terburu-buru disapih karena akan diberikan bantuan kepada semua bayi yang lahir dalam keadaan Islam. Permintaannya itu ditulis dan disebarkan ke penjuru negeri bahwa setiap bayi akan mendapatkan bantuan, tanpa harus menunggu selesainya penyapihan.

Betapa indahnya, jika Islam menjadi patokan dari sistem yang diberlakukan oleh sebuah negara. Tak selamanya untung rugi menjadi fokus diskusi. Tapi kemaslahatan rakyat secara umum, sekaligus keridhoan Allah Ta’ala menjadi tujuan utama pemberlakuan penyelenggara negara, termasuk seputar aspek ekonomi. Karena Islam adalah sebuah sistem yang komprehensif. Tidak akan didapati adanya ketimpangan ekonomi. Terjaminkan olehnya sandang, pangan dan papan. Berikut penyediaan fasilitas kesehatan, pendidikan dan keamanan, bagi seluruh warga, terlebih lagi ibu, yang di telapak kakinya ada surga. Wallahu a’lam bish-shawab. []

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *