Berharap Keadilan di Negeri Ini?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Suaibatul Aslamiah (Muslimah Ideologis Banyuasin)

Bagai menegakkan benang basah itulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan betapa sulitnya mendapat keadilan di negeri ini.

Kasus penyiraman air keras yang menimpa Novel Baswedan tak mendapat keadilan yang sewajarnya. Dua orang pelaku yaitu Rahmat dan Rony sebagai terdakwa penyiraman air keras ini hanya dituntuk oleh Jaksa Penuntut Umum selama 1 tahun penjara. Padahal, cacat pada mata Novel baswedan jelas tak sebanding dengan tuntutan jaksa. Ironis.

Alasan yang mendasari Jaksa Penuntut Umum bahwa pelaku tak sengaja menyiramkan air keras hinggga mengenai mata novel, dan pelaku juga sudah meminta maaf kepada Novel Baswedan dan keluarga.

Inilah yang terjadi pada persidangan kasus Novel Baswedan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (11/06), saat Jaksa Penuntut Umum (JPU), Fedrik Adhar Syaripuddin, menyebutkan
Kedua terdakwa memenuhi dakwaan yaitu melanggar Pasal 353 ayat (2) KUHP junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penganiayaan berat berencana.

Selanjutnya Jaksa menilai tindakan Rony dan Rahmat tak memenuhi unsur-unsur dakwaan primer terkait penganiayaan berat dari Pasal 355 ayat (1) KUHP junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(BBCNewsIndonesia 22/6)

Apa yang dialami Novel Baswedan adalah potret buruk peradilan di negeri ini. Proses hukum atas kasus ini terkesan lamban dan seolah-olah jalan ditempat. Novel Baswedan disiram air keras pada Selasa 11 April 2017, Aksi kejahatan ini mengakibatkan mata kiri Novel tidak berfungsi hingga cacat permanen. Polisi baru berhasil menangkap pelaku penyiraman air keras dua tahun lebih atau Desember 2019. 3 tahun pelaku buron dan hanya dituntut 1 tahun penjara. Padahal kalau dibanding dengan kasus yang sama hukumannya lebih lama.

Apalagi kasus ini menimpa penyidik KPK yang menangani korupsi. Siapakah yang merasa terancam dengan Novel Baswedan?. Inilah hukum yang terjadi pada sistem Demokrasi-Kapitalisme, hukum buatan manusia sering jadi alat untuk menghabisi lawan yang menghalangi kepentingan segelintir orang. Tajam kebawah tumpul keatas.

Dalam Kapitalisme hanya yang punya modallah yang berkuasa dan bisa menentukan aturan. Keadilan bisa dibeli. Badan yudikatif negara tak mampu memberi rasa keadilan ketika kasus-kasus yang terjadi di masyarakat menyinggung kepentingan para kapital. Keadilan barang mahal dan hanya khayalan untuk bisa dirasakan.

Berbeda dengan Sistem Islam. Islam sebagai agama yang sempurna memiliki seperangkat aturan yang mengatur segala sendi kehidupan termasuk dalam hal peradilan. Setiap orang akan merasakan keadilan yang luar biasa di dalam Sistem Islam. Karena setiap jiwa itu berharga.

Setiap muslim haram melakukan tindakan yang mencederai saudaranya dalam hal kehormatan, jiwa dan hartanya. Bagi yang melanggar akan dikenai sanksi oleh negara. Pelanggaran jinayat terjadi pada kasus Novel Baswedan. Jinayat bermakna penganiayaan terhadap badan, harta, atau jiwa.

Rasulullah SAW merinci ‘uqubat(sanksi) bagi yang merusak satu organ tubuh manusia dikenai diyat. Jika merusak dua organ tubuh, maka setiap organnya dikenai 1/2 diyat. Rasulullah SAW bersabda:
“Pada dua biji mata dikenakan diyat.”

Pada kasus Novel Baswedan dia mengalami kebutaan sebelah mata, maka dikenakan 1/2 diyat. Maka para terdakwa harus membayar 1/2 diyat dan bila dikonversikan ke emas sebanyak 500 dinar emas. Jika 1 dinar emas dirupiahkan menjadi Rp. 3.300.000, maka yang harus dibayar pelaku sejumlah Rp. 1.650.000.000.

Demikian keadilan didalam Islam. Hukum sanksi dalam Islam bisa menjadi jawazir dan jawabir. Yaitu sebagai pencegah orang-orang berbuat maksiat dan sebagai penebus dosa bagi yang melanggarnya.

Di dalam Sistem Islam yang menerapkan Islam Kaffah keadilan bukan khayalan semu tapi fakta yang tak terbantahkan.
Pada masa khalifah Umar bin Al-Khattab memerintah, satu waktu, ada seorang Yahudi yang datang kepadanya. Yahudi ini mengadukan tanahnya terkena penggusuran oleh Gubernur Mesir, Amr bin ‘Ash, yang bermaksud memperluas bangunan sebuah masjid. Meski mendapatkan ganti rugi yang pantas, sang Yahudi menolak penggusuran tersebut. Ia datang ke Madinah untuk mengadukan permasalahan ini.

Setelah mendengar ceritanya, khalifah Umar mengambil sebuah tulang unta dan menorehkan dua garis yang berpotongan: satu garis horizontal dan satu garis lainnya vertikal. Umar lalu menyerahkan tulang itu pada sang Yahudi dan memintanya untuk memberikannya pada Amr bin ‘Ash. “Bawalah tulang ini dan berikan kepada gubernurmu. Katakan bahwa aku yang mengirim ini untuknya.”

Meski tidak memahami maksud Umar, sang Yahudi menyampaikan tulang tersebut kepada Amr bin ‘Ash sesuai pesan Umar. Wajah Amr pucat pasi saat menerima kiriman yang tak diduganya itu. Saat itu pula, ia me ngembalikan rumah Yahudi yang digusurnya.

Yahudi ini terheran-heran apa yang dilakukan Amr bin ‘Ash yang begitu mudah mengembalikan rumahnya setelah menerima tulang yang dikirim oleh Umar. Amr menjawab keheranan itu, “Ini adalah peringatan dari Umar bin Khattab agar aku selalu berlaku lurus (adil) seperti garis vertikal pada tulang ini. Jika aku tidak bertindak lurus maka Umar akan memenggal leherku sebagaimana garis horizontal di tulang ini.”

Demikianlah keadilan dalam Islam yang bisa didapati oleh siapa pun tanpa memandang warna kulit, ras, suku bangsa, agama dan latar belakang. Keadilan itu hanya bisa terwujud saat Islam diterapkan dalam bingkai Khilafah Islamiyah.

Wallahu’alam bishowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *