Berharap dari Duta Pajak, Bisakah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Berharap dari Duta Pajak, Bisakah?

 

Irma Faryanti

Member Akademi Menulis Kreatif

 

Viralnya kasus yang menyeret Dirjen pajak di negeri ini, membuat masyarakat geram. Bahkan tidak sedikit yang menyerukan untuk menolak membayar pajak. Sebuah reaksi wajar saat rakyat merasa kecewa dan menjadi tidak percaya akibat ulah oknum pejabat negara.

Menyikapi hal tersebut, banyak pihak di berbagai daerah berbondong-bondong menyusun strategi untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap bidang perpajakan. Seperti yang dilakukan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Bandung yang akan menggelar pemilihan duta pajak tahun 2023. (Bandung.Kompas.TV 9 Maret 2023)

Pemilihan ini berlaku untuk umum khususnya bagi warga Kabupaten Bandung, dengan menunjukkan tanda pengenal berupa KTP/SIM/Paspor. Adapun batasan usia yang ditetapkan adalah 17-24 tahun, belum menikah, memiliki kemampuan berbahasa Indonesia, daerah dan Inggris. Mereka juga dituntut berpenampilan menarik, berkelakuan baik dan memiliki wawasan yang luas. Hal itu diungkap Erwan Kusuma Hermawan selaku Kepala Bapenda, menurutnya calon pendaftar juga harus sehat secara jasmani dan rohani.

Para duta pajak terpilih, nantinya akan berperan penting dalam mensosialisasikan berbagai informasi tentang perpajakan kepada para wajib pajak, termasuk hal-hal yang dibutuhkan dalam proses pembayaran. Melalui pemilihan ini, diharapkan dapat memulihkan kembali kepercayaan publik. Kegiatan tersebut juga mendapat apresiasi dari Bupati Bandung Dadang Supriatna, yang berharap ke depannya para milenial tergerak untuk bisa ikut membayar sejak dini. Mereka nantinya akan ditempatkan di tempat umum seperti mall ataupun tempat wisata yang banyak didatangi pengunjung.

Demikianlah ketika pajak dijadikan sebagai sumber pendapatan negara. Cengkeraman kapitalisme telah begitu tertancap kuat, negeri yang dikenal kaya raya seolah tidak berarti apa-apa karena potensi yang berpeluang menghasilkan keuangan justru dibiarkan dikuasai asing. Sementara sang tuan rumah hanya sibuk mengejar pemasukan yang tidak seberapa, dengan memunguti harta rakyatnya yang tengah terhimpit dalam kesulitan hidup.

Mirisnya, walau 80% pendapatan negara diperoleh dari pungutan pajak, nyatanya hanya objek pajak yang terus dikembangkan dan ditekan. Rakyat kecil tidak diberi kelonggaran, sementara pembayar kelas kakap justru mendapat tax amnesti dengan royalti 0%.

Di sisi lain, beratnya pemungutan yang dirasakan masyarakat, dinodai oleh perilaku para pegawainya yang sangat rakus hingga korupsi tumbuh dengan subur. Tidak tanggung-tanggung, pelakunya pun berstatus sebagai pejabat tinggi. Adanya kesempatan, lingkungan yang mendukung serta ketidaktegasan sanksi, membuat perilaku curang semakin berkembang.

Hal inilah yang terjadi ketika aturan hidup berpijak pada sistem kapitalisme. Hubungan yang terjalin antara penguasa dan rakyat tidak lagi berada pada koridor mengayomi. Negara hanya akan mendahulukan kepentingan para pemilik modal dibanding fokus memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya. Alih-alih merasakan kesejahteraan, masyarakat semakin terhimpit oleh biaya tuntutan hidup yang semakin berat untuk dijalani. Maka tidak heran jika ada sebagian orang yang memandang pemungutan ini tak ubahnya seperti memalak. Karena dari sekian banyak potensi alam yang dimiliki, saat mengalami defisit, langkah yang dilakukan adalah menetapkan regulasi pajak. Tanpa peduli akan derita yang tengah dialami rakyatnya.

Sangat jauh berbeda dengan sudut pandang Islam, yang tidak menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama negara. Melainkan hanya sebagai pungutan yang hanya akan dikenakan pada orang-orang kaya saja. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

“Sedekah yang paling utama adalah yang dari orang kaya.” (Muttafaq ‘alaih)

Itu pun hanya berlaku sementara, yaitu saat negara didera krisis dan kondisi kas tengah kosong. Ketika dirasa sudah normal kembali, pungutan pun dihentikan.

Namun kosongnya kas negara dalam sebuah pemerintahan Islam sangat jarang terjadi, karena sumber pemasukan sangat lah berlimpah, yaitu dari harta fa’i, kharaj, kepemilikan umum dan sedekah. Sehingga pemungutan pajak pun tidak harus dilakukan secara terus menerus hingga menimbulkan kesengsaraan masyarakat.

Maka dari itu, solusi yang dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat tidak cukup dengan menunjuk seorang duta saja, justru masyarakat harus dipahamkan tentang batilnya pemungutan pajak itu dalam pandangan Islam. Hal ini tentu baru bisa dilakukan jika umat telah memiliki kesadaran penuh untuk menjadikan Islam sebagai solusi. Bahwa Islam mampu menyelesaikan segala permasalahan yang tengah terjadi.

Juga memahamkan mereka bahwa seluruh solusi yang ditawarkan Islam hanya akan terlaksana sempurna jika hukum Allah diterapkan secara menyeluruh di setiap aspek kehidupan. Karena keberkahan kehidupan hanya akan dapat diraih saat menempatkan syariat di atas segalanya.

Wallahu a’lam Bishawwab

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *