Beredarnya Daging Sapi Abal-Abal Menodai Idul Fitri yang Sakral

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Nurhidayah

Penjual nakal menyulap daging babi menjadi daging sapi dengan menggunakan boraks. Polresta Bandung sudah mengamankan 4 pelaku pengedar daging tersebut. Sejauh ini mereka sudah melakukan aksinya selama kurang lebih 1 tahun. Sebanyak 63 ton daging sudah beredar di masyarakat akibat ulahnya. Polisi telah mengamankan 600 kg daging babi. Awalnya daging itu dijual dari tingkat bandar seharga Rp. 60.000 kemudian ke tingkat pengecer yang kemudian dijual ke pasar seharga Rp. 85.000 – Rp. 90.000. Polisi pun memghimbau agar masyarakat lebih berhati-hati ketika ingin membeli daging dengan harga yang lebih murah. (cnn.com, 12 Mei 2020)

Diduga daging telah beredar kepada masyarakat di 3 kecamatan di Kabupaten Bandung. Masih ada beberapa pelaku lain yang berusaha mengembangkan pemasarannya. Secara fisik, daging babi lebih pucat. Sementara, daging sapi lebih warna merah. Proses boraks inilah yang mengubah daging babi menjadi agak sedikit lebih mirip seperti daging sapi biasa. (kupang.com, 12 Mei 2020)

Atas perbuatannya, pelaku dijerat Pasal 91 A jo Pasal 58 Ayat 6 UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan, serta Pasal 62 Ayat 1 jo Pasal 8 Ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Mereka mendapat ancaman pidana 5 tahun penjara.

Mencari keuntungan dengan cara menjadikan sesuatu yang haram menjadi yang halal pun terasa menjadi biasa saja. Di sistem kapitalisme ini, semua harus ada keuntungannya. Orang berbondong-bondong mencari keuntungan, tanpa memperdulikan resiko yang akan di hadapi di kemudian hari. Lebih-lebih lagi mereka enggan memikirkan nasib orang lain yang akan sangat dirugikan. Yang mereka fikirkan hanyalah keuntungan dirinya sendiri semata.

Padahal sudah sangat jelas bahwa Umat Islam dilarang memakan daging babi bahkan Allah subhanahu wata’ala mengharamkan babi dalam Al-Qur`an pada empat surat, yakni QS. Al-Baqarah ayat 173, QS. Al-Ma’idah ayat 3, QS. Al-An’am ayat 145, QS. An-Nahl ayat 115. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah ayat 173)

Rasulullah telah mengisyaratkan dalam sabdanya:
“Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seorang tidak lagi peduli dengan apa yang dia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram?!” (HR. Bukhari: 2059)

Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitab Al Ath’imah halaman 40 menjelaskan hikmah pengharamannya: “Ada yang diharamkan karena makanannya yang jelek seperti babi, karena ia mewarisi mayoritas akhlak yang rendah lagi buruk, sebab ia adalah hewan terbanyak makan barang-barang kotor dan kotoran tanpa kecuali.”

Rasulullah sendiri bersabda bahwa Allah mengharamkan babi dan harta hasil penjualannya. Babi yang haram bukan hanya dagingnya. Al-Qur`an menyebut “daging babi” saja bukan berarti boleh konsumsi tulangnya, lemaknya, kulitnya, enzim-enzim serta zat-zat yang berasal dari bagian tubuhnya. Al-Qur`an bicara berdasarkan kebiasaan sebagian manusia di daerah tertentu. Biasanya yang diambil dari babi adalah dagingnya.

Akan tetapi di zaman sekarang ini terlebih di sistem kapitalisme, semua orang tidak terlalu mengindahkan hukum – hukum yang berada di syariat Islam yang sudah tertulis di Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka yang melanggar hukum syariat tidak mendapat hukuman setimpal. Oleh sebab itu, sangat diperlukan penerapan Khilafah ala minhajin nubuwah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Sistem pemerintahan khilafah akan menerapkan semua hukum Syariat. Tidak ada lagi penyelewengan seperti yang terjadi saat ini. Kalaupun ada suatu kesalahan akan segera ditangani agar tidak berlanjut lebih dalam dan luas lagi.

Pada kasus penyulapan daging babi menjadi daging sapi ini misalnya. Negara seharusnya melakukan inspeksi pasar agar bahan makanan yang beredar benar-benar halal dan thoyib. Apalagi di musim pandemi, bahan makanan menjadi menunjang imunitas tubuh. Bagi yang melanggar seharusnya ditindak tegas agar memberikan efek jera serta efek pencegah bagi yang lain agar tak berbuat serupa.

Nilai yang ada di balik semu ajaran Islam tersebut berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia ini sekaligus kebahagiannya kelak di akhirat. Dengan demikian, diperlukan kesadaran ummat dan juga pemimpin. Atas dasar hukum Syariat yang telah di tetapkan oleh Allah SWT.
Waallahu a’lam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *