Berbicaralah dengan Syariat dan Hatimu, Bukan dengan Fulus dan Nafsumu

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: M. Azzam Al Fatih

Di saat umat Islam berkabung Karena tangisan dan kesedihan saudaranya di Uighur. akibat penindasan dan Pembantaian yang dialami umat Islam di sana. Ada seseorang yang dianggap sebagai tokoh negara serta tidak asing di tengah – tengah umat Islam Indonesia. Sebut saja si Ucup, dia mengatakan bahwa kehidupan di Uighur damai dan penuh kasih sayang bahkan terdapat pondok pesantren yang menampung sekitar 1500 santri. Nama pondoknya ya Xing, yang menurutnya dia pernah ke sana.

Namun twitannya dibantah oleh ustadz Azzam izzulhaq. Bahwa dia berbohong, menurutnya, ya Xing adalah nama hotel dan mall dan sama sekali tidak ada pesantren bernama ya xing, yang kemudian ustdaz Azzam meminta Ucup untuk menunjukkan di mana lokasi pesantren tersebut.

Twitan Ucup pun mengundang cibiran dan amarah dari umat Islam, pasalnya di saat umat muslim Uighur disiksa dan ditindas, bukanya berpihak dan membelanya, dia malah menambah rasa sakit saudaranya. Naudzubilla min dzalik. Harusnya jika mengaku muslim dia wajib marah dan membelanya. Sebab kaum muslimin ibarat satu tubuh, jika terdapat bagian tubuh yang lain sakit tentu yang lainya merasakan sakit.

Itulah akibatnya jika berbicara tidak berstandarkan syariat agama dan hati namun berdasarkan pada fulus dan nafsu. Sehingga yang terucap tentu sesuatu yang buruk penuh kebohongan serta menyakiti seseorang.

Berbicara berdasarkan syariat Islam adalah berbicara dengan rambu – rambu aturan agama. Jika syariat melarangnya maka tinggalkan prilaku dan twitan, sebab sesuatu yang dilarang agama tentu mengakibatkan kemungkaran serta dosa dengan azab yang pedih. Namun tatkala taat kepada syari’at pasti mendatangkan kema’ rufan, kebaikan dan pahala yang melimpah serta nikmat di surga.

Lalu, berbicara berdasarkan fulus dan nafsu adalah berbicara atas kepuasan dirinya. Berbicara tergantung pesenan seseorang, yang terpenting mendapatkan fulus untuk kepuasan nafsu dirinya.
Dan sama sekali tidak memirkan keburukan orang lain dan bagi dirinya sendiri.

Maka tidak pantas jika seorang muslim berbicara tidak menstandarkan pada syariat Islam. Bahkan suatu kehinaan jikalau yang berbicara adalah seorang tokoh bahkan dianggapnya seorang ulama.

Wallahu’Alam Bhishowwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *