Oleh: Nurul firamdhani as’ary (Aktivis BMI Makassar)
Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah yang sangat luas dan memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah. Tapi anehnya mengapa angka kemiskinan dan angka kelaparan di Indonesia setiap tahun semakin mengkhawatirkan?.
Dinukil dalam kompas.com (2/12/2019) mengungkapkan bahwa lembaga riset kebijakan pangan yang berkantor di Washington DC, Amerika Serikat, merilis Indeks Kelaparan Global 2019. Dari situs resmi Global Hunger Indeks (GHI), diketahui tingkat kelaparan dan kekurangan gizi di dunia terus mengalami penurunan sejak riset ini dilakukan pada tahun 2000.
Dalam laporan tersebut, Indonesia mendapat skor sebesar 20,1 dan termasuk dalam kategori serius. Dari 177 negara yang tercantum dalam laporan itu, Indonesia menempati peringkat ke-70.
Asian Development Bank (ADB) bersama Internasional Food Policy Research Institute (IFPRI) yang didukung kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) berjudul “Police to Support Investment Requirements of Indonesia’s Food and Agrucuiture Developmen During 2020-2045” isi laporan tersebut yaitu dalam periode 2016-2018 sebanyak 22 juta rakyat Indonesia mengalami kelaparan.
Laporan ini juga mengatakan bahwa Indonesia mengalami kelaparan dikarenakan sebagian besar orang Indonesia masih terlibat dalam pertanian tradisional, terperangkat dalam kegiatan yang dibayar rendah dan kurang produktif. Banyak dari mereka tidak mendapat makanan yang cukup dan anak-anak mereka cenderung stunting, membuat mereka dalam lingkaran setan kemiskinan selama beberapa generasi.
Adapun beberapa ahli yang memberikan solusi agar Indonesia tidak lagi menderita kelaparan.
Mark W. Rosegrant, peneliti senior di IFPR dan ketua tim peneliti pada laporan ADB tentang peningkatan investasi untuk ketahuan pangan. Mengemukakan bahwa “menghapus kelaparan di Indonesia memerlukan peningkatan investasi di sektor pertanian dan pedesaan untuk memacu produktivitas, modernisasi sistem pangan dan meningkatkan efisiensi pasar pangan”
Bustanul Arifin, Guru Besar Ilmu Ekonomi pertanian Universitas Lampung. Mengemukakan bahwa “ untuk menghapus kelaparan di Indonesia kita harus menargetkan investasi pada bidang-bidang yang mampu berkontribusi pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, merelokasi anggaran dan subsidi yang sudah terbukti kurang efektif” (CNBC Indonesia News 9/11/2019)
Masalah kelaparan menjadi masalah serius bagi pemerintah, dikarenakan masalah ini tidak pernah menemui titik terang yang menjadi solusi dari permasalahan tersebut.
Kesimpulan penulis dari pendapat para ahli di atas mengenai solusi agar Indonesia tidak lagi menderita kelaparan yaitu meningkatkan dan menargetkan investasi. Solusi yang diberikan bukanlah solusi tepat untuk mengurangi bahkan memberantas masalah kelaparan ini.
Sebagaimana kita tahu investasi adalah aktivitas penanaman modal oleh investor, baik lokal maupun investor asing dalam berbagai jenis bidang usaha yang terbuka untuk investasi.
Sedangkan investor yang banyak terdapat di Indonesia adalah pada investor Asing dan Aseng. Mereka merauk sumber daya alam Indonesia dan rakyat hanya mendapatkan ‘remahannya’ saja.
“yang kaya semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin”
Disamping masalah kelaparan ini pemerintah kembali mengeluarkan statement yang membuat penulis geram. Mengapa tidak, belum selesai menyelesaikan masalah kelaparan, pemerintah malah ingin membuang 20 ribu ton beras senilai Rp. 160 milyar.
Cadangan beras tersebut berasal dari impor 2018 sekitar 900 ribu ton dan sisanya dari stok dalam negeri.
Membusuknya 20 ribu ton beras itu diduga kuat akibat kebijakan impor beras yang dilakukan oleh mantan menteri perdagangan Enggartiasto Lukita.
Menaggapi hal itu, pengamat politik dan ekonomi dari Universitas Airlangga, Ichsanuddin Noorsy menilai dampak impor tersebut merupakan bentuk keegoisan penguasa. “membuktikan buruknya kebijakan dan egoisnya kekuasaan” kata Ichsan saat dihubungi Kantor Berita Politik (RMOL senin, 2/12/2019)
Ini membuktikan bahwa apapun solusi yang dikeluarkan dari aturan yang dibuat oleh manusia yang terbatas, maka masalah ini tidak akan terselesaikan. Pemerintah pun tidak amanah dalam menjalankan jabatannya, mereka menjabat karena ingin melanggengkan kekuasaan bukan untuk mengurusi urusan rakyatnya.
“sudah jatuh tertimpa tangga” beras busuk tersimpan lama digudang. Padahal triliunan uang habis membeli beras impor. Hal ini membuat para petani lokal sengsara, karena beras petani lokal tidak mampu bersaing dengan beras impor yang harganya murah dan berkualitas.
Baiknya beras 20 ton tersebut dibagikan kepada rakyat yang lebih membutuhkan ketimbang dibuang. Sungguh betapa besarnya tanggungjawab pemerintah di akhirat terhadap pengurusannya kepada umat saat ini.
Beda jauh ketika aturan Islam yang diterapkan. Pemenuhan hajat setiap individu dijamin oleh negara. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab, beliau memanggul gandum dan mendistribusikannya sendiri agar kebutuhan pokok warganya terpenuhi dan memastikan tidak ada yang kelaparan. Beliau melakukan hal tersebut semata-mata karena takut mempertanggungjawabkan masa kepemimpinannya kepada Allah Swt.
Pemimpin-pengaturan seperti beliau tidak akan didapatkan selama aturan Islam dicampakkan. Maka menerapkan aturan Allah swt. Sangat wajib, disamping karena perintah juga karena IslamRahmatanLilalamin Wallahu ‘alam.