Oleh Diah (Aktivis Muslimah Subang)
“Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, istilah ini menjadi semboyan ajaib yang disematkan pada tubuh demokrasi. Hal ini hanya untuk menarik perhatian agar mereka merasa sangat diistimewakan dalam sistem demokrasi.
Sejauh ini pemahaman masyarakat mengenai demokrasi ialah kebebasan mutlak yang diberikan kepada rakyat dalam menyelesaikan persoalan – persoalan yang terjadi di negara tersebut. Termasuk kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat.
Namun faktanya, demokrasi yang terbentuk sejauh ini hanya menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Beberapa waktu lalu sempat viral di media sosial terkait mural yang dianggap menyinggung, mural tersebut bergambar wajah yang mirip dengan jokowi yang pada bagian matanya ditutupi dengan tulisan 404 : Not Found. (news.detik.com, 15/08/2021)
Selain mural bertuliskan 404 : not found, mural yang bertuliskan “Dipaksa sehat di Negara yang sakit” juga dianggap menyinggung pemerintah. Mural – mural tersebut menjadikan aparat ketar – ketir menghapus dan memburu orang – orang pembuat mural. Pihak kepolisian menghapus mural tersebut karena menafsirkan gambar jokowi sebagai lambang negara dan pimpinan tertinggi dari institusi korps bhayangkara.
Dikutip dalam laman berita kompas.com, (18/08/2021) Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono menilai mural bernada kritis tersebut tidak akan bermunculan jika tidak ada masalah. “karena ada masalah, dan masalah itu tak terselesaikan dalam waktu yang cukup lama misalnya seperti PPKM dan sebagainya maka kemudian masyarakat itu perlu saluran komunikasi, nah karena saluran komunikasinya berbeda – beda kalau seniman ya lewat karya seni,“ imbuhnya.
Penyikapan pihak berwenang yang jauh dari kesan membuka ruang dialog yang justru terkesan represif seolah bentuk – bentuk ekspresi diruang publik sebagai tindakan kriminal. Mural – mural tersebut dianggap bermasalah karena pesan – pesan yang provokatif juga bermasalah pada legalitas mural di ruang publik. Ironisnya disaat masyarakat menyatakan pendapat diruang publik dengan mural dianggap kriminal, disisi lain para pejabat dan elit politik menyebar baliho diruang publik ketika situasi pandemi covid 19 belum terselesaikan. Walaupun hal tersebut dilegalkan namun sangat tidak etis dimana para pejabat dan elit politik justru sibuk mengamankan kursi kekuasaan di saat sebagian masyarakat menjerit karena terdampak ekonomi dari pandemi yang belum usai.
Demokrasi yang selalu mengkampanyekan kebebasan berpendapat dan berekspresi, fakta yang terjadi justru sebaliknya reaksi rezim yang berkuasa terhadap masyarakat yang bersuara dianggap sebagai orang – orang yang merongrong kinerja pemerintah bahkan merasa terancam dengan keberadaan kritik – kritik tersebut.
Itulah sejatinya sistem buatan manusia, di mana demokrasi selalu melahirkan sistem aturan yang rentan konflik, memenangkan satu pihak, dan tidak mengakomodir keseluruhan aspirasi. Kelemahan tersebut tampak jelas, maka jalan terakhir untuk mempertahankan kursi adalah dengan membungkam pihak manapun yang membuka kekurangan dan kesalahan rezim yang berkuasa. Itu artinya tidak boleh ada kritik dan ketika adu argumentasi tidak bisa lagi mempertahankan eksistensi maka represi adalah sebuah solusi. Sehingga kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dieluh – eluhkan dalam sistem ini khayalan bualan semata.
Maka apa yang terjadi saat ini haruslah menyadarkan kita bahwa sistem demokrasi ini adalah sistem yang cacat bawaannya. Sehingga perlulah kita beralih kepada sistem yang benar – benar memberi solusi yaitu sistem islam. Di dalam islam, nasihat dan kritik merupakan perkara penting yang mutlak harus berjalan bahkan menjadi kewajiban rakyat dan hak penguasa. Karena sejatinya nasehat dan kritik yang disampaikan semata – mata untuk kemaslahatan bersama.
Umar bin Khattab RA sering dijadikan contoh pemimpin yang menyukai kritik, suatu ketika beliau dicegat oleh seorang wanita tua bernama khaulah binti tsa’labah, beliau menasehati sayyidina umar dengan kalimat:
“Wahai umar, engkau dulu dipanggil umair (umar kecil), kemudian berubah menjadi umar, lalu kemudian sekarang engkau dipanggil dengan julukan ‘Amirul Mukminin’ takutlah engkau wahai umar kepada Allah, karena barang siapa yang meyakini adanya kematian, ia pasti khawatir akan hilangnya kesempatan, dan barang siapa yang meyakini adanya hisab, ia pasti takut menghadapi azab”.
Pertemuan di jalan antara khalifah dan perempuan tua itu menjadi tontonan sekaligus membuat orang keheranan, maka diantara mereka terpaksa bertanya “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau rela berhenti di sini hanya untuk mendengarkan perkataan perempuan tua itu?”
Khalifah Umar menjawab, “Seandainya perempuan itu meminta agar saya berhenti di tempat ini dari awal siang sampai akhir siang, pasti saya tidak akan beranjak kecuali untuk salat”.
Begitulah kiranya sosok pemimpin yang dilahirkan dari pada sistem islam, dimana para pemimpin memandang kritik dan nasehat bukanlah sebuah ancaman melainkan sebagai bentuk intropeksi dalam menjalankan kekuasaan, karena sejatinya menjadi seorang pemimpin merupakan amanah yang sangat besar yang kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Hal ini akan berbanding terbalik dengan sistem sekarang yang memandang kritik sebagai sebuah ancaman membahayakan kursi kekuasaan, karena pemimpin – pemimpin yang dilahirkan dari sistem ini menganggap kursi kekuasaan sebagai anugerah yang harus terus dipertahankan entah bagaimanapun caranya.
Maka sudah seharusnya saat ini mencampakan sistem kufur demokrasi dan beralih kepada sistem islam dimana negara sebagai perisai dan pelindung bagi umat.
Wallahualam bishawab.