Belum New Normal, Sudah Ambyar

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Marni

Kebijakan new normal belum diresmikan, tapi masyarakat sudah ambyar. Paling tidak itu yang tejadi lagi. Penumpang KRL (Kereta Rel Listrik) membludak dan harus antre penuh. DKI Jakarta melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi dengan istilah PSBB transisi. Padahal ini baru dilonggarkan sedikit, belum betul-betul new normal. Memulai kebijakan itu, sejumlah sektor yang semula ditutup mulai dibuka kembali.

Sejumlah aktivitas yang semula dilarang juga mulai diperbolehkan. Syaratnya, protokol pencegahan penyebaran Covid-19 tetap harus dijalankan. PSBB saat ini dimaksudkan menjadi masa transisi menuju kenormalan baru (new normal), transisi menuju masyarakat yang sehat,aman dan produktif. PSBB transisi fase 2 yang mulai pada Jum’at (5/6) akan dievaluasi pada akhir Juni 2020.

Pemda menyebut status PDBB di DKI diperpanjang, dan menetapkan bulan Juni sebagai masa transisi. Pemprov DKI memutuskan Jakarta memasuki masa transisi lantaran sebagaian besar wilayah sudah berstatus zona hijau dan kuning, tetapi masih ada zona merah.

Bagi Jakarta, mungkin masa transisi ini memungkinkan. Namun secara nasional, kurva infeksi covid-19 justru naik. Sayangnya, persiden Joko Widodo (Jokowi) seperti tak sabar menghadapi kondisi demikian, terutama dikaitkan dengan kondisi ekonomi nasional. Sejak awal Mei, ia sudah mewacanakan untuk menghidupkan roda ekonomi nasional. Setelah hampir dua bulan berlangsung PSBB di ibu kota dan sejumlah daerah.

Jokowi mengajak rakyat untuk bisa hidup berdamai dengan Corona. Apakah karena pengaruh kondisi sejumlah negara sudah melonggarnya lockdown mereka? Atau karena adanya tekanan kalangan pengusaha yang mulai terseok-seok menghadapi kondisi ekonomi yang ada? Ia terus berusaha mengondisikan negara menuju pelonggaran.

Di awal Mei, ia mengeluarkan titah kepada jajarannya bahwa kurva Covid-19 di bulan Mei harus turun. Bagaimana pun caranya. Juni sedang, dan Juli ringan. Tapi titah itu tak mempan menghalangi serangan Corona.

Jangankan turun, malah naik. Tapi Jokowi tetap saja harus mengondisikan new normal. Padahal, bila menggunakan standar/kriteria Organisasi kesehatan Dunia (WHO) belum ada prasyarat new normal yang dipenuhi. Syarat nomor satu adalah penurunan kurva Covid-19. Ia pun sudah memulai rapat secara tatap muka Senin(8/6) lalu. Banyak yang mengkhawatirkan, tanpa kriteria yang jelas, new normal akan meningkatkan kasus Corona lebih besar lagi.

Berkaca kepada Korea Selatan yang berhasil mengatasi Covid-19 saja, muncul gelombang kedua serangan Covid. Padahal negara itu tergolong sangat baik dalam fasilitas kesehatan mereka dan kesadaran masyarakat.

Seharusnya pemerintah lebih mengutamakan kesehatan dibandingkan ekonomi. Bila korban bertambah besar, laju ekonomi akan terhambat lagi. Karena bisa jadi akan ada PSBB yang lebih ketat lagi. Mengapa tidak sejak awal, pengetatan diambil agar covid-19 segera berakhir? Akhirnya, prinsip bernegara yang menentukan. Kapitalisme mengutamakan ekonomi. Berbeda dengan Islam, nyawa manusialah harus diutamakan.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *