Oleh : Rita Yusnita (Pengasuh Forum Bunda Sholehah)
Meski tahun telah berganti, namun tak ada perubahan yang berarti. Indonesia masih terjerat utang, dari sebelum pandemi melanda hingga sekarang. Utang luar negeri yang semakin membengkak sejak krisis ekonomi 1998 dan era reformasi bergulir. Utang luar negeri yang tadinya berada pada level di bawah seribu triliun rupiah, kini sudah nyaris menyentuh Rp 6.000 triliun per Oktober 2020. Tak heran jika Bank Dunia memasukan Indonesia sebagai 10 besar negara berpendapatan rendah dan menengah yang memiliki utang terbesar bersama dengan negara Brasil, India, Meksiko, Rusia dan Turki (Republika.com, 27/10/2020).
Ketika pandemi melanda, pemerintah harus menggelontorkan belanja negara yang lebih besar dari pendapatannya. Sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit di atas 3 persen, sesuai dengan undang-undang Nomor 2 Tahun 2020. Kementerian Keuangan memperkirakan defisit APBN 2020 akan melebar dari target yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 sebesar Rp 1.039,2 triliun atau 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dikutip VIVA.com, (Kamis,24/12/2020).
Dengan adanya defisit yang besar, pemerintah harus mencari alternatif pembiayaan APBN lainnya termasuk melalui utang. Maka, menurut data Bank Indonesia (BI), utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir Oktober 2020 tercatat 413,4 miliar dolar AS atau setara Rp 5.877 triliun. Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono menjelaskan, struktur utang luar negeri Indonesia terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 202,6 miliar dolar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) 210.8 miliar dolar AS. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ULN Indonesia pada akhir Oktober 2020 tercatat sebesar 3,3 persen.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, pemasukan kas negara hanya ada dua yaitu pajak dan utang. Maka jangan heran, jika beban pajak yang ditimpakan kepada rakyat kian mencekik. Pajak menyasar semua aspek ekonomi hingga tak menyisakan celah keuntungan bagi rakyat. Utang pun jadi pilihan ketika APBN mengalami defisit, penguasa tak segan mengajukan nominal yang tidak sedikit kepada negara lain dengan alasan menutup masalah keuangan dalam negeri. Padahal jika sistem keuangan negara terjerat utang, akan ada konsekuensi politik yang harus ditanggung.
Terlepasnya aset negara kepada negara atau lembaga pemberi utang adalah salah satu akibat jika negara tidak mampu membayar utangnya. Dampaknya negara pengutang akan kehilangan kedaulatan di negerinya sendiri, mereka akan dengan mudah dikendalikan oleh negara pemberi utang tersebut. Sehingga kondisi keuangan Negara bukannya membaik, malah semakin kacau tak terkendali. Demokrasi menghalalkan segala cara untuk menutupi kebokbrokannya. Alih-alih menutupi defisit, uang hasil pinjaman terkadang jadi rebutan para pemimpin korup untuk melanggengkan kekuasaannya. Berbagai kebijakan dan aturan pun dibuat guna memuluskan hal tersebut.
Berbanding jauh dengan sistem pemerintahan dalam Islam. Negara dengan sistem kekhilafahan adalah negara yang mandiri. Baitul maal adalah lembaga khusus yang dimiliki oleh sistem Khilafah untuk menangani harta yang diterima, dikelola dan mendistribusikannya sesuai dengan alokasi yang telah ditetapkan oleh syariat. Sistem keuangan Negara dalam pengaturan islam telah terbukti berhasil mewujudkan kesejateraan dan keadilan bagi muslim maupun non muslim. Termasuk kecermatan pemimpin dalam menangani berbagai bencana, seperti halnya penanganan wabah. Khalifah Umar bin khattab sukses menangani wabah serta memenuhi berbagai kebutuhan rakyat selama karantina atau lock down tanpa meminta bantuan dari negara asing.
Dalam sistem Islam, sumber pemasukan baitul maal dari tiga pos utama yaitu :
Pertama adalah fai dan kharaj. Fai adalah harta yang diperoleh dari rampasan perang, sedangkan kharaj adalah retribusi atas tanah atau hasil produksi tanah wilayah yang telah ditaklukan oleh kaum muslim.
Kedua adalah bagian kepemilikan umum, yaitu segala sesuatu menjadi kepemilikan vital bagi masyarakat secara alami tidak bisa dimiliki dan dimanfaatkan oleh individu. Seperti barang tambang yang defositnya tidak terbatas dan sumber daya alam lainnya.
Ketiga adalah bagian sadaqah yaitu pemasukan dari berbagai pos zakat yang telah disyariatkan. Baik zakat maal dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan serta berbagai zakat ternak.
Maka, dari sumber-sumber di atas lah negara mampu mencukupi berbagai kebutuhan, termasuk kebutuhan publik bagi rakyat. Di antaranya adalah infrastruktur, pendidikan, keamanan termasuk kesehatan. Pemimpin dalam sistem Islam akan menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya dalam hal pengelolaan harta, semata-mata hanya untuk kemaslahatan umat bukan untuk yang lainnya. Rasa takut kepada Allah akan selalu mereka ingat karena amanah kepemimpinan kelak akan diminta pertanggung jawabannya.
Jadi, sekalipun negara ada dalam keterbatasan cadangan pendanaan baitul maal, tetap tidak akan mengambil langkah pinjaman berupa utang luar negeri. Karena pinjaman dari negara asing dan lembaga-lembaga internasional tidak diperbolehkan oleh syariat. Sebab, selain berbasis pinjaman ribawi juga terikat dengan syarat-syarat tertentu.” Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja.” (HR. Bukhari)
Utang luar negeri adalah bencana berbahaya bagi kaum muslim, karena menjadi penyebab orang-orang kafir menguasai kaum muslim. Kedaulatan Negara tergadaikan hingga rakyat yang menderita sebab berbagai kebijakan aturan yang menguntungkan negara pemberi utang.
Saatnya kembali kepada tatanan pengaturan sistem ekonomi islam. Dimana akan terealisasi jika syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu’alam Bishowab.