Batalkan Pemberangkatan Jema’ah Haji, Pemerintah Menuai Kontroversi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Sumiyah Ummi Hanifah (Pemerhati Kebijakan Publik dan Member AMK)

 

Menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, merupakan impian setiap umat Islam yang telah terpanggil jiwanya. Baik laki-laki maupun perempuan, ingin menjawab seruan Allah Swt yang teramat penting ini. Tidak heran jika banyak umat muslim yang rela menabung bertahun-tahun lamanya, untuk ongkos naik haji. Sebagaimana yang dilakukan oleh seorang kakek asal Madiun, yang bernama Nur Salim (93 tahun). Menurut penuturan istrinya, Ummu Kulsum, suaminya mengumpulkan uang hasil panen padi selama tujuh tahun, agar dapat menjadi tamu Allah Swt.

Setelah terkumpul dana yang cukup, beliau kemudian mendaftarkan diri sebagai calon jemaah haji. Hampir dua tahun menunggu kabar keberangkatannya, namun beliau belum juga mendapatkan kuota. Hingga akhirnya ia pun jatuh sakit, sehingga untuk beraktivitas sehari-hari Kakek tersebut menggunakan kursi roda. Diusianya yang telah senja, beliau berharap dapat segera menunaikan ibadah haji. Namun, sayangnya harapan dan impian sang kakek, terpaksa harus kembali disimpan. (kompas.com, Kamis, 10/6/2021).

Pemerintah, melalui Menteri Agama Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas, telah resmi mengumumkan pembatalan pemberangkatan jemaah pada haji 2021. Menurut Menag, alasan pembatalan ini disebabkan karena pemerintah mempertimbangkan keselamatan para jemaah haji. Selain itu juga karena aspek teknis persiapan dan kebijakan pemerintah Arab Saudi. Alasan pembatalan keberangkatan jemaah haji tahun ini, masih berkaitan erat dengan masalah pandemi yang belum mampu tertangani. Keputusan pemerintah tersebut tertuang dalam keputusan Menag No 660 Tahun 2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1442 Hijriah/2021 Masehi. (news.com, Sabtu, 5 Juni 2021).

Kakek Nur Salim hanya satu dari ratusan ribu calon jemaah haji asal Indonesia, yang gagal berangkat ke Tanah Suci. Tidak bisa digambarkan bagaimana sedih dan kecewanya mereka. Ketika cita-cita mulia tiba-tiba kandas di tengah jalan. Kekecewaan itu muncul bukan hanya karena faktor biaya yang sudah terlanjur dikeluarkan. Namun juga karena mereka gagal menjadi tamu Allah SWT, sementara usia mereka sudah semakin lanjut.

Melihat fakta ini, masyarakat Indonesia pun gaduh. Bahkan, isu-isu miring bergulir dengan cepat dan mencuat ke permukaan. Menerjang instansi pemerintahan, khususnya di kementerian agama Republik Indonesia. Mulai dari isu tentang keberadaan dana haji yang dinilai kurang transparan. Juga isu mengenai lemahnya lobi pemerintah terhadap Arab Saudi.

Seperti biasa, semua isu yang terlanjur bergoyang tersebut ditepis oleh pemerintah. Bahkan, menurut Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhajirin Effendi, pemerintah menjamin keberadaan dana haji saat ini aman. Juga membeberkan bahwa pembatalan keberangkatan jemaah haji tahun ini tidak ada kaitannya dengan hubungan diplomatik Indonesia dan Arab Saudi. Namun, masyarakat menganggap bahwa alasan yang dikemukakan pemerintah tersebut seolah “mengambang”.

Tidak dapat dipungkiri, keputusan membatalkan keberangkatan jemaah haji ini, telah menciderai kepercayaan umat Islam kepada negara. Mereka mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam memfasilitasi terpenuhinya kewajiban agama rakyatnya. Sebab, seperti yang kita ketahui, ibadah haji merupakan kewajiban umat muslim, yakni bagi yang telah mampu.

Firman Allah Swt,
“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh. [T.Q.S.Al-Hajj (22), ayat 27].

Seorang pemimpin negara seharusnya bertanggung jawab penuh mengurus dan melayani segala urusan rakyatnya. Baik dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok, seperti pangan, papan, sandang, kesehatan, keamanan, hingga urusan pelaksanaan ibadah. Baik itu ibadah ma’dhah maupun ghairu ma’dhah, ibadah wajib maupun yang sunnah. Pemimpin negara melakukan semua tugasnya berdasarkan syariat Islam. Sebab, tanpa adanya campur tangan Allah Swt, semua permasalahan yang ada tidak mungkin dapat teratasi.
Seharusnya setiap urusan peribadatan merupakan wewenang dan tanggung jawab pemimpin negara. Sebab, seorang pemimpin negara berperan sebagai ra’in (pengurus) atas seluruh urusan rakyat (umat)nya.

Sabda Rasulullah Saw,
“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyatnya dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (H.R.Al-Bukhari).

Sejarah dunia telah mencatat, bagaimana seorang pemimpin negara (Khalifah) mengambil kebijakan terkait masalah pengelolaan ibadah haji. Tepatnya pada masa Kekhilafah Ustmani, yakni saat itu pemerintahan Islam dipimpin oleh Khalifah Sultan Abdul Hamid II. Beliau bahkan sampai membangun sarana transportasi masal dari Istanbul, Damaskus, hingga ke Madinah, untuk mengangkut jemaah haji. Tujuannya agar umat Islam yang berada di daerah, mudah menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Demikian pula dengan masalah pengaturan kuota haji, semua sudah ada dalam aturan Islam. Al-Qur’an telah menjelaskan dengan gamblang bahwa perintah melaksanakan ibadah haji dan umrah sejatinya hanya diwajibkan satu kali saja. Sehingga Khalifah akan mendahulukan mereka yang belum pernah menunaikan ibadah haji. Tentu saja bagi mereka yang telah mampu. Mampu disini adalah mampu secara badaniyah, maliyah, maupun amaniyah.

Dalam sistem pemerintahan Islam, Sang Khalifah akan melakukan upaya maksimal untuk memastikan terlaksananya kewajiban haji oleh rakyatnya. Pemimpin negara mengatur dan melayani para tamu Allah ini, karena dorongan keimanan dan kepatuhannya kepada syara’. Bukan semata-mata karena ingin mencari keuntungan materi dari para calon jemaah haji.

Hal semacam itu berbeda sekali dengan apa yang terjadi di negara yang menerapkan sistem kapitalisme-sekularisme. Saat ini setiap negara mengurus sendiri pelayanan ibadah haji bagi warga negaranya. Parahnya lagi pemerintah justru memilih bekerja sama dengan pihak swasta. Maka tidak heran jika pengelolaan ibadah haji ini, dijadikan ajang bisnis oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya tentu akan menimbulkan kesemrawutan dalam pengelolaan pemberangkatan jemaah haji di Tanah Air.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita kembali kepada aturan Allah Swt. Dengan cara meneladani dan mencontoh apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Yakni, menerapkan sistem (aturan) Islam secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan. Agar semua permasalahan yang ada dapat diselesaikan dengan baik. Hanya sistem yang berasal dari Allah SWT saja yang dapat menjamin semua itu, bukan yang lain.

Sebab, kita tidak bisa berharap lebih dari sistem rusak seperti demokrasi yang berbasis sekularisme-kapitalisme, yang jelas-jelas tidak mampu mengatasi segala problematika umat dan negara. Dengan penerapan syari’at Islam, problematika yang dihadapi oleh umat Islam akan mudah diatasi. Termasuk masalah pengelolaan ibadah haji ke Tanah Suci.
Wallahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *