Bara LCS: Potret Hilangnya Visi Maritim Pemimpin Muslim

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Vie Dihardjo (Alumni Hubungan Internasional)

Laut China Selatan (LCS) adalah wilayah geopolitik yang sangat strategis. Menggiurkannya wilayah ini dikarenakan kandungan sumberdaya alam yang luar biasa besar juga posisi strategisnya dalam lalu lintas perdagangan internasional melalui laut. Disinyalir tidak kurang dari
5, 3 trilliun dollar AS aktivitas perdagangan setiap tahunnya. Belum lagi sumberdaya alamnya. Menurut data Badan Informasi Energi AS, di kawasan ini tersimpan cadangan minyak bumi sebesar 11 miliar barel serta gas alam hingga 190 triliun kaki kubik.
Tak hanya itu, 90 persen lalu lintas pengangkutan minyak bumi dari Timur Tengah menuju Asia pada 2035 akan melintasi perairan tersebut (kompas.com).

Wajar jika negara-negara yang berdekatan dengan Laut China Selatan (LCS) memperebutkannya, yaitu 6 negara di Asia (Malaysia, Brunai Darussalam, Filipina, Vietnam, China) ternyata Amerika Serikat juga terlibat dalam sengketa LCS ini meski tidak ada kedekatan wilayah. Bukan tanpa alasan Amerika Serikat melibatkan diri dalam konflik LCS. Terdapat sejumlah kepentingan Amerika Serikat di Asia yang dapat digunakan sebagai alasan. Diantaranya perjanjian pertahanan antara Manila dengan AS. Agresivitas China dalam mengklaim LCS mengusik AS bahkan setelah trauma peperangan dengan Vietnam belasan tahun kini AS terlihat mesra dengan Hanoi terkait LCS.

Klaim-klaim histroris China terhadap Laut China Selatan (LCS)sebagai wilayah penangkapan ikan tradisionalnya sangat menganggu AS. Amerika menginginkan LCS sebagai jalur perdagangan yang “gemuk”,lalu lintas bagi distribusi minyak dan gas alam yang sangat sibuk tetap sebagai perairan netral dan terbuka.

//ASEAN DALAM PUSARAN SENGKETA LCS

Provokasi terus terjadi diantara negara-negara kawasan. Provokasi dilakukan pemerintah AS sejak Januari.
Pada Maret lalu, AS kembali mengirimkan kapal induk USS John Stennis, dua kapal perusak, dan dua kapal pengawal ke Laut Cina Selatan. “Kami menilai langkah AS mengirim kapal perang dan pesawat tempur di dekat kepulauan Spratly dan sejumlah karang sebagai bentuk unjuk kekuatan bukan hal yang baik,” kata juru bicara Kongres Nasional Cina Fu Ying, seperti dikutip The Straits Times Maret lalu. Hingga Mei, AS masih mengerahkan kapal perang Angkatan Laut AS ke pulau karang Fiery Cross Reef yang disengketakan. (Tirto.id)

Langkah AS dibalas dengan rencana China untuk membangun sebuah pos, 230 kilometer (140 mil) di lepas pantai Filipina, di Laut Cina Selatan (South China Mining Post). China juga terus meningkatkan militerisasi di LCS
Langkah-langkah provokasi ini menimbulkan kemungkinan yang cukup besar terjadinya perang terbuka dan menyeret negara-negara baik Asia secara keseluruhan maupun Asia Tenggara (ASEAN). Jika China terus-menerus meningkatkan armada militer di wilayah LCS maka tidak ada pilihan bagi negara-negara di sekitar LCS meminta bantuan ke pada AS karena postur anggaran pertahanan mereka yang tak akan bisa menandingi China.

Dimanakah ASEAN?

Sebagai organisasi regional yang dibentuk oleh negara-negara Asia Tenggara semestinya ASEAN mampu memberikan kontribusi pada penyelesaian sengketa LCS bukan sekedar seruan yang faktanya diabaikan oleh kedua negara super power yakni Amerika Serikat dan China.
Sengketa LCS memerlukan sebuah kekuatan besar yang bisa mengontrol Laut China Selatan (LCS) sekaligus memberikan perlindungan bagi negara-negara kawasan untuk beraktivitas secara bebas dan netral tanpa rasa cemas terjadinya perang terbuka antara dua negara super power. Dimanakah kekuatan itu?

VISI MARITIM DALAM ISLAM

Sebuah entitas yang sangat powerfull pernah dimiliki umat islam. Dia menguasai dan mengontrol 2/3 dunia ini. Entitas superpower ini bernama Khilafah. Pada masa Khalifah Mu’awiyah Bin Abu Sofyan, beliaulah yang menaklukkan pulau Rhodes yang merupakan pulau terbesar dan pulau utama di wilayah timur Yunani saat ini di laut Aegean.
Strategisnya LCS kurang lebih sama dengan Laut Mediterania pada saat masa itu. Sebagai arena kontestasi kekuatan-kekuatan besar pada masa itu yakni islam, Bizantium dan Latin.

Para pemimpin muslim mampu menunjukkan kekuatan maritim yang sangat disegani dan menggentarkan para musuh islam. Hal ini bisa diwujudkan karena politik luar negerinya punya visi yang jelas. Bersandar pada prinsip dakwah dan jihad. Prinsip polugri ini menjadikan dakwah tersebar efektif ke seluruh dunia hingga Khilafah mampu mengatur 2/3 dunia meliputi wilayah daratan dan laut.

Apakah prinsip politik luar negeri negara-negara muslim yang dekat wilayah LCS hari ini? Mereka justru “terkesan” menggantungkan pertahanan dan keamanannya pada salah satu negara superpower dalam sengketa LCS. Mereka menjadi penonton terbukti seruannya tak didengar baik oleh AS mau China sekalipun telah ada UNCLOS.

Sudah saatnya mengadopsi politik luar negeri islam. Dakwah dan jihad akan menjadi pendorong luar biasa untuk membebaskan wilayah baik tanah maupun laut dari ketundukan terhadap hukum-hukum kuffar para penjajah yang hanya mengeksploitasi dan memeras negara-negara muslim.

Rasulullah bersabda :
غَزْوَةٌ فِي الْبَحْرِ خَيْرٌ مِنْ عَشْرِ غَزَوَاتٍ فِي الْبَرِّ، وَمَنْ أَجَازَ الْبَحْرَ فَكَأَنَّمَا أَجَازَ الأَوْدِيَةَ كُلَّهَا، وَالْمَائِدُ فِيهِ كَالْمُتَشَحِّطِ فِي دَمِهِ

“Satu kali berperang di lautan itu lebih baik dari sepuluh kali berperang di daratan. Orang yang berlayar di lautan (dalam jihad) adalah seperti orang yang telah mengarungi seluruh lembah (daratan). Dan orang yang mabuk di lautan [dalam jihad] adalah seperti orang yang bersimbah darah [dalam jihad].” (HR Al-Hakim no. 2634 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir.

Wallahu’alam bisshowab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *