Bantuan Dipersulit, Perut Rakyat Makin Melilit

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Kholila Ulin Ni’ma, M.Pd.I

Geram! Itulah yang dirasakan Sehan Landjar. Video kegeramannya viral. Bukan tanpa alasan, Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara ini mengamuk lantaran sulitnya mekanisme BLT (Bantuan Langsung Tunai) dari pemerintah pusat. Menurutnya, warga tak bisa harus menunggu lama untuk mendapatkan bantuan itu.

“… mereka butuh makan hari ini, bukan disuruh menunggu besok, atau sampai administrasi tentang BLT selesai. Kebutuhan untuk isi perut rakyat tidak bisa menunggu onggokan kertas yang diminta oleh para menteri, sebagai syarat untuk mendapatkan uang Rp 600 ribu,” Jelas Sehan saat dikonfirmasi oleh detik.com (26/4/2020).

Lebih geram lagi, sudahlah berbelit, banyak pula bantuan yang tak tepat sasaran. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Jhonny Simanjuntak, misalnya. Dia terdata sebagai salah satu penerima bansos. Dan yang mengecewakan, masyarakat yang berada di rumah hanya mendapat masker dan sembako. Tapi, mereka yang keluyuran malah dapat bantuan lebih. (viva.co.id, 24/4/2020)

Tak heran jika tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah menurun. Berdasarkan hasil riset analisis yang diterbitkan indef ditemui pada 7 April 2020 kebijakan mengenai jaring pengaman sosial mendapatkan 56% sentimen negatif dari 17.781 perbincangan. Pokok utama perbincangan di media sosial adalah, penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) yang tidak tepat sasaran. (katadata.co.id, 26/4/2020)

Seperti inilah buruknya perlakukan rezim kapitalis terhadap rakyat. Bantuan-bantuan untuk rakyat tak lebih dari sekadar pencitraan. Yang mereka pikirkan hanya mencari keuntungan. Tak peduli nyawa dipertaruhkan. Jika kita bandingkan dengan bantuan negara Islam terhadap rakyatnya, tentu sangat berbeda dengan negara kapitalisme sekular.

Dari sisi jumlah dan sumber dana bansos negara kapitalis sudah terkesan pelit. Untuk kalangan borjuis mereka sangat bermurah hati. Tak jarang kucuran dana besar dialirkan ke sektor perbankan, pariwisata, atau pengusaha. Sedangkan untuk rakyat cilik anggaran yang dikeluarkan hanya sedikit. Bahkan yang sedikit itupun disunatkan 35% dari dana desa yang memang dari awal sudah diberikan pada rakyat. Anggaran untuk pendidikan, seperti tunjangan guru dan BOS, juga tak ketinggalan disunat untuk corona. Padahal rakyat kecil, termasuk para guru ini, harusnya mendapat dukungan lebih dari pemerintah. Bukan diminta sumbangan untuk suatu yang sudah menjadi kewajiban negara.

Berbeda dengan sistem keuangan Islam. Islam mempunyai skala prioritas dalam membelanjakan harta. Umar bin Khattab, khalifah kedua dalam sejarah politik Islam, pernah ditanya seseorang mengapa tidak membuat kiswah (kain tutup pembungkus) kabah yang mulia itu. Beliau menjawab: “Urusan perut rakyat saya adalah lebih penting dibandingkan urusan pembungkus kabah.”

Memang sepertinya hanya urusan perut, namun urusan perut rakyat ini adalah kebutuhan primer. Harus didahulukan. Sebab, kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Umar bin Abdul Aziz, sang Khalifah yang melegenda kesederhanaan pernah berkata kepada para pejabatnya: “Taburkanlah biji-bijian di atas bukit, jangan sampai ada burung yang kekurangan makanan. Apa kata Allah nanti jika ada burung-burung kelaparan di negeri Islam.” Dalam kepemimpinannya, tak boleh ada burung yang kelaparan, apalagi rakyat yang bernama manusia.

Jadi, pemimpin cerdas mulia itu harus memprioritaskan kebutuhan primer rakyatnya ketimbang kebutuhan sekunder, apalagi tersier. Maka hal yang sangat bertentangan dengan Islam jika saat ini pemerintah justru mendahulukan pembiayaan untuk membangun ibukota baru, bandara, dan berbagai infrastruktur lainnya. Sedangkan perut rakyat dianggap nomor berikutnya.

Belum lagi dari sisi mekanisme penyaluran bansos dalam sistem kapitalis sekular yang dinilai berbelit, terkesan dipersulit. Padahal perut rakyat sudah melilit. Penerima BLT musti menyiapkan tetek bengek seperti buka rekening bank dan harus lengkap administrasi. Sementara perut tak bisa diajak kompromi.

Sangat berbeda dengan layanan publik dalam Islam yang bersifat mudah, cepat, tidak berbelit-belit. Dan tentunya dilakukan setiap hari oleh pejabat yang meri’ayah dengan amanah. Apalagi di tengah wabah. Pelayanan akan semakin dimaksimalkan.

Hal ini karena para pemangku kekuasaan senantiasa ingat sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

“Barangsiapa yang memberi kemudharatan kepada seorang muslim, maka Allah akan memberi kemudharatan kepadanya, barangsiapa yang merepotkan (menyusahkan) seorang muslim maka Allah akan menyusahkan dia.”
(HR Abu Dawud dan At Tirmidzi).

Bahkan Nabi pernah berdoa yang artinya:

“Ya Allah, barangsiapa yang mengurusi urusan umatku kemudian dia merepotkan umatku maka susahkanlah dia.” (HR Muslim)

Terkait data, dalam sistem kapitalis juga tak kalah semrawutnya. Data yang ada banyak yang belum diperbaharui, terkesan sporadis, dan cenderung diskriminatif. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur, Achmad Amir, menceritakan bantuan antara pemerintah provinsi dan tingkat desa tumpang tindih. (viva.co.id, 24/4/2020)

Fakta di lapangan, aparat yang jujur dan tulus ingin mengurus rakyat justru kesulitan dalam mendistribusikan hak rakyat. Sebab, pemerintah lepas tanggung jawab, akhirnya rakyat (termasuk aparat daerah) yang kurang iman mencari kesempatan untuk memanipulasi data agar dapat keuntungan di tengah pandemi. Dalam satu kasus, Ketua RT sudah bersusah payah mendata warganya yang layak mendapat bantuan. Namun, data tersebut ternyata tidak digunakan.

Ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Berabad-abad sebelumnya, Daulah Khilafah sudah melakukan pendataan secara cermat dan efisien.

Umar bin Khattab sudah memerintahkan pencatatan warga negara Khilafah secara lengkap, bahkan meliputi data kapan masyarakat masuk Islam, sudah berapa kali ikut berjihad dan sebagainya. Berapa dan siapa saja yang fakir, miskin, punya banyak hutang, dll. Data ini sudah lengkap sejak awal sebab penting untuk mengkalkulasi penerima zakat fitrah dan zakat mal. Walhasil, pungutan dan pembagian zakat di masa khilafah sesudahnya sudah berjalan tepat sasaran (efektif).

Di masa terjadi wabah, data segera diperbarui. Berapa dan siapa saja yang kehilangan pekerjaan, yang awalnya berkecukupan lalu menjadi kekurangan karena terdampak bencana, dan sebagainya.

Bahkan sistem administrasi dalam Islam juga mencakup data nasab. Jadi semua orang jelas dia anak siapa, suami/istri siapa, atau punya kerabat siapa saja, wali penggantinya siapa. Sebab, dalam Islam sebenarnya tugas wali seseorang tidak hanya bertanggungjawab menikahkan saja, namun juga menanggung kehidupan orang yang di bawah kewaliannya. Jadi bila ada orang yang terlantar, negara bisa membantu mencarikan siapa yang bertanggung jawab, sebelum negara sendiri yang turun tangan. Administrasi ini juga diperlukan ketika seseorang wafat, dan harta atau utang-utangnya dibagikan ke ahli warisnya.

Pertanggungjawaban kepemimpinan di hadapan Allah akan menanamkan kewaspadaan lebih dibandingkan dengan pertanggungjawaban di hadapan manusia. Dengan demikian tidak ada lobi, suap dan kongkalikong yang bisa menambahkurangi data dan fakta.

Masyaa Allah. Begitu nyata perbedaan bantuan sosial sistem kapitalis sekular dibandingkan bantuan sistem kekhilafahan Islam untuk rakyatnya. Maka aneh jika ada yang menyamakan khalifah dengan rezim negara kapitalis saat ini dari sisi kemuliaan dan perhatiannya terhadap rakyat.

Allahu a’lam bish shawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *