Bansos Covid-19 Dikorupsi, Inikah Buah Tangan Sistem Demokrasi ?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Inas Zhafirah (Mahasiswa Aktivis BMI)

 

Belum lama ini Indonesia kembali diguncangkan oleh bencana buatan karya anak bangsa, lagi-lagi deretan tikus berdasi kembali memenuhi jajaran daftar Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Belum lama hangatnya kasus korupsi terkait ekspor benih lobster atau benur yang dilakukan oleh tersangka eks Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) yaitu Edhy Prabowo. Hal ini lantaran PT Aero Citra Kargo (ACK) memonopoli jasa pengangkutan ekspor benih lobster yang kemudian menyebabkan suap kepada Edhy Prabowo.

Seperti diketahui KPK telah menangkap tangan eks Menteri KKP Edhy Prabowo dalam dugaan suap eksportasi benur. KPK menetapkan 7 orang tersangka dalam kasus tersebut. Mereka adalah Edhy Prabowo, Staf Khusus Menteri KKP Syafri, Andreu Pribadi Misanta, Pengurus PT ACK Siswadi, Staf Istri Menteri KKP Ainul Faqih, dan Amiril Mukminin sebagai penerima suap. Sementara itu sebagai pemberi suap, KPK menetapkan Suharjito yang merupakan Direktur PT DPP sebagai tersangka (bisnis.com, 4/12/2020).

Tiada habisnya tagline korupsi di tanah air ini. Ibarat gayung bersambut, perilaku eks-Menteri KKP dilanjutkan dengan ditetapkannya Menteri Sosial yaitu Juliari P Batubara sebagai tersangka atas dugaan menerima suap terkait pengadaan bantuan sosial penanganan COVID-19 di Kementerian Sosial usai OTT pejabat Kemensos oleh KPK pada Minggu, 6/12/2020.

Juliari Batubara merupakan Menteri Sosial Kabinet Presiden Joko Widodo 2019-2024 dari kader PDIP. Juliari Batubara tersandung kasus pendistribusian bansos Covid-19 tahap pertama. Ia diduga menerima fee Rp 12 miliar melalui dua Pejabat Pembuat Komitmen di Kemensos. Matheus Joko Santoso memberikan sekitar Rp 8,2 miliar secara tunai kepada Juliari melalui Adi Wahyono. Kemudian penyaluran bansos tahap kedua terkumpul uang fee sekitar Rp 8,8 miliar dari Oktober-Desember 2020. Total Juliari menerima sekitar Rp 17 miliar yang kemudian digunakan untuk kebutuhan pribadinya (grafis.tempo.co, 8/12/2020).

Misbakhul menuturkan, bansos sembako juga memiliki kelemahan karena proses pengadannya yang secara langsung membuat vendor yang ditunjuk sering tak kompeten dan mengandalkan suap. Di sisi lain, pejabat pembuat komitmen tak berintegirtas karena meminta atau mau diberi fee proyek oleh vendor yang ditunjuk. Misbakhul mengatakan, kasus dugaan korupsi yang menjerat Juliari pun dapat terjadi karena proses pengadaan yang menggunakan penunjukan langsung. Akibatnya, pihak vendor dan Juliari dapat menegosiasikan fee yang akan disetor. Dalam kasus Juliari, vendor diduga menyetor Rp 10.000 per paket sembako senilai Rp 300.000 per paket (kompas.com, 9/12/2020).

Adapun Juliari ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap bansos penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan bahwa pihak KPK sudah melakukan berbagai langkah pencegahan terhadap potensi penyimpangan anggaran penanganan pandemi Covid-19, salah satunya melalui penerbitan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 terkait dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi. Nawawi menilai, semua kementerian/lembaga serta pemda seharusnya mematuhi surat edaran tersebut agar tidak terjadi penyimpangan anggaran penanganan pandemi Covid-19 (kompas.com, 7/12/2020) .

Peraturan Dibuat untuk Dilanggar

Begitulah hukum yang acap kali berjalan dalam lingkaran sistem demokrasi saat ini. Tak perlu jauh-jauh, semisalnya saja perihal peringatan “Jangan Buang Sampah Disini!” justru disanalah kubangan sampah menggunung. Begitupun dengan banyaknya peraturan dimulai dari peraturan perundang-undangan, peraturan daerah, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan-peraturan lainnya yang digandengi juga dengan banyaknya jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri maupun oleh masyarakat. Dari pelanggar kelas teri sampai pada pelanggar kelas kakap. Seperti contoh korupsi yang sedang kita bahas. Lantas kita mungkin bertanya-tanya, perlukah sejatinya manusia diberikan peraturan hidup jika ternyata hanya untuk dilanggar?

Tentu pertanyaan di atas hanya muncul tatkala hukum yang diterapkan terlahir dari pemikiran yang terbatas oleh manusia itu sendiri. Kita lihat dari deretan fakta yang ada, kebijakan-kebijakan yang lahir dalam semua aspek lini kehidupan hampir semuanya hanya berpihak pada segelintir golongan saja-oligarki-dengan asas kebermanfaatan untuk kepentingan golongan/pribadi. Berdasarkan data dari Global Wealth Report 2018 yang dikeluarkan oleh Credit Suisse, ketimpangan berdasarkan kekayaan, satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6,% kekayaan nasional. Bukan itu saja, kebijakan lahir justru diselewengkan oleh para pejabat tinggi negara. Seperti perilaku tak berprikemanusiaan oleh Mensos Juliari yang memakan dana bansos Covid-19 yang ditaksir 17 miliar digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.

Begitulah hakikat hukum yang berjalan di atas kewenangan manusia dengan keterbatasan akalnya dalam mengatur kehidupan manusia. Sistem demokrasi dengan asas sekulerisasinya menggiring negara pengadopsinya menjadi negara korporatokrasi.

Apakah Hukuman Mati Layak untuk Para Koruptor ?

Pada beberapa hari lalu, tanggal 9 Desember 2020 diperingati sebagai Hari Korupsi Sedunia.  Indonesia meraih “prestasi” sebagai Juara 3 Negara terkorup se-Asia (merdeka.com, 30/11/2020).

Sungguh “prestasi” yang mencoreng wajah sendiri. Adapun dalam lembaga pemantau indeks korupsi global, Transparency International, merilis laporan bertajuk “Global Corruption Barometer-Asia” dan Indonesia masuk menjadi negara nomor tiga paling korup di Asia. Posisi pertama ditempati India diikuti Kamboja di peringkat kedua.

Tidak lama berselang mencuatnya berita dugaan kasus korupsi Mensos Juliari sebelum disahkan menjadi tersangka, dalam kutipan artikel tirto.id (7/12/2020) Firli Bahuri selaku ketua KPK mengatakan “Keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi, maka yang korupsi dalam suasana bencana, tidak ada pilihan lain dalam menegakkan hukum yaitu tuntutannya pidana mati,” kata Firli dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI.

Sebenarnya apa yang dikatakan Firli tercantum dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 ayat 1 menyebut: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.”

Sedangkan pasal 2 ayat 2 tertulis : “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” Dalam penjelasan mengenai pasal 2 ayat (2), yang dimaksud “keadaan tertentu” adalah apabila tindak pidana dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku; pada waktu terjadi bencana alam nasional; sebagai pengulangan tindak pidana korupsi; atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter (tirto.id, 7/12/2020).

Ucapan ketua KPK tersebut alih-alih menjadi hutang yang ditagih oleh masyarakat. Walaupun sempat menuai pro kontra, tetapi pernyataan tersebut akhirnya hanyalah deklarasi semata yang tidak memberi efek jera kepada para tikus berdasi dalam menjarah uang rakyat.

Islam Solusi Hakiki Memberantas Korupsi

Jika dalam pergulatan hukum dalam sistem demokrasi tak pernah usai meredam permasalahan korupsi ini disertai lagi dengan permasalahan cabang dalam sektor lainnya, lantas bagaimanakah Islam memandang problematika ini?

Hal yang mesti diketahui oleh masyarakat dunia terlebihnya kaum muslimin sendiri ialah bahwa Islam bukanlah sekadar agama ritual yang hanya mengatur urusan kehidupan pribadi, tetapi jauh tinggi daripada itu. Islam adalah sepaket peraturan yang terpancar dai akidah Islam itu sendiri yang mampu mengatur urusan kehidupan manusia dari bangun tidur hingga bangun negara. Tujuannya ialah untuk memberantas kezaliman yang ada di muka bumi ini tentu sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Swt dengan ber-amar makruf nahi munkar. Dengan begitu, keberkahan akan melimpah pada negeri tersebut dan Allah akan menagih apa yang telah umat Islam perbuat dalam peranannya di muka bumi ini sebagai hujah di akhirat kelak. Dalam perspektif Islam, negara khilafah dengan seorang pemimpin khalifah akan melakukan kiat-kiat yang menjadi pencegahan agar tidak terjadi tindakan keji korupsi.

Pertama, pendidikan keimanan dan ketakwaan bagi setiap individu muslim. Khilafah akan mendidik rakyatnya agar memiliki rasa takut kepada Allah yang akan memunculkan sikap muraqabah (selalu merasa diawasi Allah). Saling mengingatkan dan menasihati akan tercipta yang ditopang dalam segala sector lini kehidupan baik pendidikan, politik, ekonomi, dan kehidupan sosial masyarakat. Semua akan melakukan pengawasan terhadap segala bentuk penyimpangan dan kemaksiatan yang berpotensi muncul. Begitupun sikap serakah akan bisa diredam oleh negara.

Kedua, pemberian gaji yang layak. Para pejabat akan diberi gaji yang mencukupi, tunjangan serta fasilitas yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Dengan begitu, pemberian gaji yang cukup bisa memininalisir angka kecurangan dan penyalahgunaan jabatan para petinggi negara.

Ketiga, larangan menerima suap dan hadiah. Para pejabat dilarang menerima hadiah selain dari gaji yang mereka terima. Rasulullah bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Imam Ahmad).

Keempat, penghitungan kekayaan. Hal ini pernah berlaku di masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. Beliau kerap menghitung kekayaan pejabat di awal dan di akhir masa jabatan. Jika ditemukan gelembung harta yang tidak wajar, maka yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang diterimanya didapatkan dengan cara halal. Cara ini efektif untuk mencegah korupsi.

Itulah upaya dalam pencegahan korupsi dan apabila para pejabat negara masih melakukan korupsi, maka penindakan hukum Islam akan diberlakukan. Berupa hukuman setimpal yang akan memberi efek jera bagi pelakunya sekaligus menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat. Dalam Islam, koruptor diberikan hukuman ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan atas dasar kebijaksanaan hakim (qadhi) sesuai dengan penggalian hukum Islam. Bisa berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), hukuman cambuk, penyitaan harta, pengasingan, hukuman kurungan, bahkan bisa sampai dijatuhi hukuman mati.

“Janganlah kalian mendapatkan harta (yang bersumber dari) sekitar kalian dengan cara yang batil, dan (contoh lainnya) kalian perkarakan harta (yang batil itu) kepada para hakim sehingga kalian dapat menikmati sebagian harta orang lain dengan cara yang kotor, sementara kalian mengetahui (hal itu).” (TQS. Albaqarah 188)

Begitulah Islam dalam menerapkan hukum yang tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas, melainkan keadilan akan dirasakan oleh semua kalangan masyarakat dari kalangan rakyat biasa hingga pejabat negara. Bukan seperti ketidakadilan hukum dari buah tangan sistem demokrasi yang sarat akan kepentingan individualis.

Wallahu ‘alam bi shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *