Bangunan Rumah Sendiri Kok Kena Pajak?
Oleh: Nadila A., S.P (Aktivis Dakwah Kampus)
Hampir setiap jengkal kehidupan rakyat dikenai pajak. Itulah kata yang tepat untuk kondisi realita dinegeri ini. Begitu miris, diperaturan terbaru yang akan diterapkan mulai Januari 2025, pajak membangun rumah sendiri akan naik menjadi 2,4 persen dari angka sebelumnya 2,2 persen.
Kenaikan itu sejalan dengan rencana kenaikan PPN secara umum dari 11 persen menjadi 12 persen. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
“Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20 persen dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak,” tulis beleid tersebut.
Kegiatan membangun sendiri yang dimaksud di aturan ini turut mencakup perluasan bangunan lama, bukan hanya pendirian bangunan baru. Adapun syarat yang harus dipenuhi jika kegiatan pembangunan itu dikenakan PPN yaitu, “Pertama, konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja; kedua, diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan ketiga, luas bangunan yang dibangun paling sedikit 200 meter persegi. (cnnindonesia, 15/09/24)
Beban Bagi Rakyat
Pajak dan kenaikannya bukanlah beban yang pertama kali terjadi. Sebagaimana yang dikatakan oleh staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo bahwa aturan mengenai pengenaan pajak kepada masyarakat yang bangun rumah sendiri sudah ada sejak 30 tahun yang lalu. Adapun tujuan dari pengenaan pajak ini adalah agar semua proses pembangunan rumah baik yang dibantu oleh kontraktor maupun yang dilakukan sendiri mendapat tanggung jawab yang sama untuk membayar pajak.
“Menciptakan keadilan. Karena kalau membangun rumah dengan kontraktor terutang PPN, maka membangun sendiri pada level pengeluaran yang sama mestinya juga diperlakukan sama,” ujarnya.
Inilah hasil penerapan sistem kapitalisme yang bukannya memudahkan rakyat memiliki rumah, justru malah menjadikan rakyat kesulitan untuk membangun rumah yang diimpi-impikan. Ini sebab pekerjaan yang ada tidak memungkinkan rakyat bisa membangun rumah yang memadai. Bahkan jikapun mampu membangun rumah yang memadai, rakyat akan dikenai pajak yang makin tinggi.
Padahal, Kepala Staf Kepresidenan RI (KSP) Moeldoko mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 9,9 juta masyarakat Indonesia saat ini belum punya rumah. (metrotvnews, 31/05/24)
Jelaslah bahwa tidak ada upaya negara dalam meringankan beban rakyat, terlebih dengan adanya penerapan pajak untuk bangunan rumah sendiri. Begitu miris! Padahal rumah adalah kebutuhan dasar rakyat yang menjadi tanggung jawab negara untuk dipenuhi.
Negara Berlepas Tangan
Bukan hanya PPN. Selama ini rakyat telah dikenai PPh, PPN, PBB, PKB, dan berbagai jenis pajak lainnya. Anehnya, pemerintah masih saja merasa kurang untuk menyedot dana dari masyarakat sehingga terus-terusan melakukan perluasan subjek dan objek pajak dengan alasan mengejar target penerimaan negara.
Sungguh ironi, alih-alih menginginkan bantuan, pemerintah justru berusaha merogoh dana rakyat dari segala sisi. Pemerintah sangat getol mengejar pajak dari masyarakat. Semua ini adalah konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama negara. Bahkan hampir setiap tahunnya target pajak selalu dinaikkan. Ini berarti, rakyat makin diperas untuk membayar pajak.
Sebuah kedzoliman yang nyata, negara telah mengambil uang rakyat secara paksa atas nama pajak. Dilain sisi, kekayaan alam diserahkan dan dikelola secara gratis pada korporasi swasta kapitalis. Bahkan para pengusaha besar itu mendapatkan keringanan pajak. Jelas sebuah ketidakadilan bagi rakyat. Namun, itulah salah satu dampak dari bobroknya penerapan sistem kapitalisme. Ini telah menunjukkan bahwa negara telah lepas tanggung jawab dalam menjamin kebutuhan papan atau perumahan bagi masyarakat.
Islam Mejamin Kesejahteraan Rakyat
Penerapan sistem ekonomi Islam berbeda jauh dengan sistem ekonomi ala kapitalis. Islam menjamin kesejahteraan masyarakat sedangkan pada penerapan sistem kapitalisme saat ini menjadikan rakyat sebagai penghasil cuan (uang). Padahal, Islam sangat membenci para penguasa yang menelantarkan kebutuhan rakyat, apalagi menghalangi hak-hak mereka. Sabda Rasulullah saw.,
مَا مِنْ إِمَامٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ خَلَّتِهِ وَحَاجَتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ
“Tidak seorang pemimpin pun yang menutup pintunya dari orang yang membutuhkan, orang yang kekurangan, dan orang miskin, kecuali Allah akan menutup pintu langit dari kekurangan, kebutuhan, dan kemiskinannya.” (HR At-Tirmidzi)
Maka, Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama dalam pemasukan negara. Pajak atau dharibah adalah pajak yang dipungut hanya kepada warga kaya laki-laki saja. Adapun warga yang tidak memiliki kelebihan harta atau dengan kata lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja sulit/pas-pasan, tidak akan ditarik pajak darinya. Pungutan pajak pun bersifat temporer dan hanya diberlakukan jika baitulmal (kas negara) kosong. Artinya, jika sudah kas baitulmal sudah terpenuhi, maka pungutan pajak akan dihentikan.
Negara dalam Islam juga akan menyediakan pekerjaan yang layak bagi rakyat dengan gaji yang layak. Bahkan, negara akan menjamin kebutuhan papan atau perubahan masyarakat antara lain melalui kemudahan atas akses pekerjaan dan adanya hukum-hukum tentang tanah (larangan penelantaran, ihya al mawat, tahjir dan iqtha’), juga larangan mengambil pajak. Ini karena Islam anti membebani rakyatnya dengan pajak kecuali pada kondisi tertentu dan terbatas pada rakyat yang aghniaaghnia (memiliki kekayaan).
Sudah saatnya kita kembali pada aturan yang mampu mensejahterakan rakyat, yakni aturan terbaik yang mampu menyolusi seluruh problematika ummat. Tentunya tiada lain hanyalah menjadikan hukum syara’ yang datang dari Allah sebagai pedoman didalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Wallahu a’lam bish-shawab