Bahan Bakar Naik, Beban Hidup Makin Mencekik

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Hamnah B. Lin

 

Pandemi belumlah berakhir sepenuhnya, kondisi rakyat masih porak poranda. Bagai pecahan kaca tajam yang membahayakan, kondisi rakyat tidak karuan, hancur berkeping-keping tiada harapan. Namun secerca harapan telah datang dengan datangnya ramadan dan lebaran tahun 2022 ini. Berkah ramadan menggerakkan sedikit roda perekonomoian rakyat. Nafaspun bisa sedikit lega setelah 3 tahun seperti tak ada harapan.

Kebahagiaan ini nyatanya tidaklah berlangsung lama, hanya sekejap mata memandang. Penguasa telah memupus kebahahagiaan ini dengan ditetapkannya beberapa kebijakan terkait kenaikan beberapa bahan bakar yang tentu membawa dampak yang amat berat bagi keseharian mereka.

Menteri ESDM Arifin Tasrif memberi sinyal tarif listrik bakal naik pada 2022. Menurutnya, penetapan penyesuaian tarif 2022 akan memberikan penghematan kompensasi sebesar Rp7—16 triliun. Tidak hanya itu, ia juga memberi sinyal kenaikan harga Pertalite dan solar. (Rapat Kerja dengan komisi VII DPR, Rabu, 13/4/2022).

Wacana tarif listrik naik sebenarnya sudah bergulir sejak 2017. Baru pada 2022, kebijakan tersebut sepertinya tidak bisa ditunda lagi sebagai imbas kenaikan harga minyak dunia. Jika tidak dinaikkan, Pemerintah terus menanggung kompensasi listrik dengan nilai hingga Rp25 triliun per tahun.

Ekonom Indef Abra Talattov mengakui upaya menaikkan tarif listrik dan harga Pertalite mungkin bisa mengurangi beban APBN. Namun, di sisi lain, tentu menambah beban masyarakat.

Jika beban masyarakat makin berat, justru akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, kenaikan tarif listrik berkontribusi besar dalam mengurangi daya beli masyarakat. Jika daya beli masyarakat rendah, biaya untuk mendongkrak perekonomian akan jauh lebih besar dibanding proyeksi penghematan APBN yang Pemerintah klaim. (CNN Indonesia, 14/4/2022).

Tidak adakah solusi lain yang lebih tepat, karena sungguh rakyat sedang tercekik. Dimana rasa yang seharusnya dimiliki oleh penguasa, rasa empati dan rasa peka terhadap seluruh kondisi rakyatnya. Apakah kebutuhan dan kepentingan rakyat sudah bukan lagi urusan penguasa? Apakah rakyat memang sengaja dibiarkan terlunta-lunta? Mengapa begitu tega menambah beban rakyat dengan menjejali mereka kenaikan berbagai komoditas yang sangat mereka butuhkan?

Menurut Bhima Yudhistira selaku Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) mengatakan jika hanya untuk menghemat Rp7—16 triliun dana kompensasi APBN, tidak perlu ada kenaikan tarif listrik khususnya untuk golongan rumah tangga.

Menurut Bhima, dana dari penerimaan batu bara dan sawit saja sudah cukup untuk menambal kekurangan itu. Belum lagi, dana penghematan dari penundaan proyek strategis nasional idealnya bisa menahan kenaikan tarif listrik sepanjang tahun (CNN Indonesia, 14/4/2022).

Inilah yang terjadi, disebabkan oleh energi yang dikelola dengan rumusan kapitalisme, meraih keuntungan sebesar-besarnya. Padahal posisi penguasa adalah pelayan dan penjaga rakyatnya, bukan penjual atau bahkan makelar. Juga untuk mendapatkannya tidaklah murah apalagi gratis. Naik dan turunnya tarif listrik ditentukan situasi global.

Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM 3/2020, tarif listrik harus disesuaikan setiap tiga bulan sekali dengan mempertimbangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar, harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP), inflasi dan harga patokan batu bara.

Padahal pasokan batu bara Indonesia melimpah, tapi kenapa untuk mencukupi kebutuhan didalam negeri tidak bisa. Semua ini terjadi karena SDA indonesia tidaklah dikuasai dan dikelola oleh pemerintah. Namun lebih banyak dipegang oleh pihak swasta, yang mengakibatkan harga dipermainkan. Tak pelak, sistem kapitalis yang diterapkan penguasa saat ini hanya membuat rakyat sengsara. Kepentingan rakyat tak lagi menjadi prioritas, namun kepentingan para konglomerat, para pemodal yang dinomersatukan.

Maka sungguh patut kita berpaling kepada Islam, dien yang sempurna meliputi aturan ibadah antara diri dan Sang Khalik, mengatur hubungan manusia dengan manusia, maka pengelolaan SDA tercakup dalam syariat hablu minannas.
Dalam tinjauan syariat Islam, BBM adalah salah satu sumber daya alam milik umum karena jumlahnya yang terhitung masih melimpah dan masyarakat membutuhkannya. Dengan demikian, Islam melarang pengelolaannya diserahkan kepada swasta/asing. Nabi saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Harta milik umum jenis ini tidak terbatas pada tiga jenis barang di atas saja (air, api, dan padang rumput), melainkan mencakup harta yang bersifat kepemilikan umum, yakni harta yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak. Industri gas alam dan batu bara sendiri tercakup kepemilikan umum karena status keduanya, yakni barang berharga dan termasuk dalam “api”.

Dan seluruh jenis bahan tambang yang melimpah lainnya adalah milik umum. Terlarang untuk diprivatisasi, karena dia akan dipegang oleh negara dan dipergunakan kembali untuk seluruh kepentingan rakyat. Dengan demikian, apa pun yang memenuhi sifat sebagai fasilitas umum dan masyarakat membutuhkan dan memanfaatkannya secara bersama, pengelolaannya tidak boleh dikuasai individu, swasta, ataupun asing. Negaralah pihak yang bertanggung jawab atas pengelolaan harta milik umum tersebut

Dengan pengelolaan yang demikian tepat karena bersumber dari Allah SWT, maka kesejahteraan rakyat akan terpenuhi. Rakyat bisa menikmati hasil alam ini dengan murah bahkan gratis. Maka tak ada alasan lain selain menundukkan hati untuk mengikuti syariat Allah SWT sebagai bukti takwa dan akan berbuah bahagia.
Wallahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *