Bagaimanakah Negara Maju yang Sebenarnya?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Aishaa Rahma

Indonesia secara resmi sudah dihapus dari daftar yang masuk ke dalam negara berkembang. Kini, Indonesia dinilai sebagai negara maju versi US Trade Representative (USTR). Namun, bukannya keuntungan yang didapat dari pengakuan ini, namun justru sebaliknya. Dampaknya segala bentuk kemudahan seperti potongan bunga, atau subsidi dari perdagangan antarnegara dapat dikurangi karena Indonesia sudah dianggap lebih mampu oleh AS.

Dalam pernyataan yang disampaikan USTR pada Senin (10/2/2020), ada berbagai faktor yang menjadi pertimbangan mengapa negara-negara itu dihapuskan dari daftar, di antaranya yaitu ambang batas yang ditetapkan Bank Dunia untuk memisahkan negara-negara ‘berpenghasilan tinggi’ dari negara-negara dengan Pendapatan Nasional Bruto (GNI) per kapita yang lebih rendah. cnbcindonesia.com.

Sejumlah ekonom menilai, pencabutan Indonesia dari daftar negara berkembang dan naik sebagai negara maju oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat atau United States Trade Representative (USTR) tak akan memberikan dampak positif apapun bagi NKRI. Seperti yang diungkapkan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah Redjalam. Ketimbang membanggakan status baru tersebut, ia mengimbau pemerintah agar melihatnya sebagai pemicu untuk memperbaiki perekonomian nasional.

Hal senada juga dilontarkan Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira. Dia mengatakan, label sebagai negara maju justru memberikan lebih banyak dampak negatif ketimbang positif.
Bhima pun menyoroti potensi pencabutan GSP oleh Amerika Serikat yang justru bakal melemahkan pasar ekspor bagi produk-produk asal Indonesia.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono, mengatakan bahwa keluarnya Indonesia dari daftar negara berkembang akan sangat mempengaruhi fasilitasi perdagangan.Pencabutan status Indonesia sebagai negara berkembang akan berakibat pada semakin melebarnya defisit neraca perdagangan.

Sebab, saat status negara berkembang dicabut, Indonesia akan kehilangan fasilitas khusus yang diberikan oleh Amerika Serikat (AS). Salah satunya adalah fasilitas bea masuk impor atau skema generalized system of preferences (GSP) yang ditetapkan AS. Setelah GSP tidak berlaku lagi, Indonesia diharuskan untuk membayar bea masuk dengan tarif normal atau Most Favoured Nation (MFN). Itu lah yang nantinya dapat membuat Indonesia kehilangan daya saingnya di pasar AS. Liputan6.com (26/2)

Dampak Buruk Pelabelan Negara Maju

Amerika Serikat (AS) mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang. Masuknya Indonesia dalam daftar negara maju versi AS memang terdengar seperti pujian. Namun, benarkah Negara Paman Sam ‘semanis’ itu?

Indonesia tak sendiri. Beberapa negara lain seperti Tiongkok, India, Afrika Selatan, hingga Brasil mengalami nasib serupa. Tiongkok bahkan meradang dan menyebut AS bersikap ‘proteksionis’ dalam perdagangan dunia.

Penyebutan Indonesia dan beberapa negara lain sebagai negara maju memang dilematis. Predikat negara maju seharusnya disematkan pada negara-negara yang masyarakatnya menikmati standar hidup tinggi dengan penggunaan teknologi yang merata.

Apakah Indonesia telah memenuhi kriteria itu? Yang pasti, baik Indonesia, Tiongkok, Brasil, India hingga Afrika Selatan masih ada dalam daftar negara berkembang versi Dana Moneter Internasional (IMF).

Masalahnya, masuk dalam daftar negara maju akan membuat Indonesia terancam kehilangan beberapa fasilitas dalam perdagangan dengan AS. Misalnya, insentif tarif preferensial umum atau Generalized System of Preferences (GSP). GSP merupakan program unilateral pemerintah AS berupa pembebasan tarif bea masuk kepada negara-negara berkembang.

Tanpa fasilitas GSP, Indonesia harus membayar bea masuk dengan tarif normal atau Most Favoured Nation (MFN). Hal itu dikhawatirkan dapat membuat produk Indonesia kehilangan daya saingnya di pasar AS.

AS di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump memang menekankan upaya untuk menyehatkan neraca dagangnya. Sedangkan, Indonesia merupakan salah satu dari 15 negara yang menyumbang defisit terbesar dalam neraca dagang AS.

Klasifikasi negara berkembang itu bertujuan untuk membantu negara-negara miskin dalam mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan mengintegrasikan diri ke dalam sistem perdagangan global.

Namun, ada risiko lain yang mengancam. Indonesia bisa lebih mudah diperkarakan atas tuduhan memberikan subsidi terhadap komoditas ekspornya. Kebijakan tersebut berdampak pada US countervailing duty investigations atau CVD.

Sebab, batasan minimum atau de minimis toleransi untuk memberikan subsidi perdagangan ke Indonesia lebih rendah dari sebelumnya.

Batas minimum nilai barang impor AS dari negara maju yang dibebaskan dari penyelidikan bea masuk anti subsidi berubah sebesar 1%, lebih kecil dari batas de minimis negera berkembang sebesar 2%.

Saat ini, Indonesia sedang menghadapi tujuh kasus tuduhan antisubsidi, yakni dari Amerika Serikat, Uni Eropa, dan India. “Estimasi nilai ekspor yang hilang minimal sebesar US$ 1,25 miliar per tahun apabila tujuh kasus ini dikenakan bea masuk anti subsidi,” kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana beberapa waktu lalu.

Menurut Indrasari, ketujuh kasus tuduhan antisubsidi tersebut, yakni dua kasus dari Amerika Serikat untuk produk biodiesel dan penggunaan turbin angin.

Selanjutnya, dua kasus dari Uni Eropa untuk produk biodiesel dan hot rolled stainless steel sheet and oils. Sedangkan tiga kasus dari India untuk produk cast copper wire rods, flat stainless steel dan fiberboard.

Sebagai gambaran, tuduhan atas produk biodiesel oleh AS dan Uni Eropa termasuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dinikmati oleh petani sawit. Dengan status sebagai negara maju, ada kemungkinan negara adidaya itu akan memperkarakan lebih banyak komoditas ekspor Indonesia, termasuk produk perikanan.

Apalagi, Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur pemberian subsidi perikanan. Perpres tersebut menjadi jawaban tehadap butir 14 sustainable development goals (SDGs) yang berisi larangan subsidi perikanan oleh organisasi perdagangan dunia (WTO).

Kepala Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengingatkan pemerintah agar lebih waspada jika ada negara atau otoritas lain mengikuti langkah pemerintah AS. Sebab, dibanding AS, saat ini produk Indonesia lebih banyak fasilitas GSP dari Uni Eropa.

Sebagai perbandingan, hanya 9% dari total ekspor Indonesia ke AS yang mendapatkan fasilitas GSP. Sedangkan Uni Eropa memberikan potongan bea masuk untuk sekitar 40% dari produk ekspor Indonesia.

Pencabutan fasilitas ini oleh Uni Eropa akan menjadi pukulan bagi neraca dagang Indonesia. “Jadi ini harus diwaspadai,” katanya. Katadata.com (26/2) lantas bagaimanakah negara maju yang sebenarnya?

Negara Maju Dalam Islam

Negara maju, sebagaimana di lansir oleh wikipedia, adalah sebutan untuk negara yang menikmati standar hidup yang relatif tinggi melalui teknologi tinggi dan ekonomi yang merata.

negara dikatakan maju adalah karena dua hal. Yakni kemajuan di bidang teknologi dan ekonomi. Lebih khusus lagi, dalam sistem saat ini, standar kemakmuran suatu negara diukur berdasarkan tingkat GDP (Gross Domestic Product) atau Pendapatan Nasional negara.

Padahal sejatinya hal tersebut bukan satu-satunya tolak ukur. Ada yang jauh lebih menentukan, yakni ideologi yang diemban negara tersebut.

Label negara maju merupakan sebuah prestise tersendiri bagi sebuah negara. Karena maju bermakna unggul, berada di garis depan. Namun apalah artinya jika negara tersebut unggul hanya di bidang ekonomi dan teknologi, namun di banyak sisi mempertontonkan kebobrokan yang nyata.

Fakta menunjukkan bahwa AS, salah satu negara maju bahkan menjadi kiblat peradaban, nyatanya menyimpan potret buram yang tak bisa dielakkan. Pergaulan bebas, pembunuhan, kekerasan terhadap perempuan, merebaknya kaum melambai, transgender, semuanya membudaya di sana, demikian pula dengan negara maju lainnya, senantiasa dibarengi dengan tingkat kejahatan yang tinggi.

Miris. Betapa pelabelan sebuah negara maju semestinya tak cukup dengan kemajuan fisik belaka. Namun perlu diimbangi dengan kualitas manusianya. Adapun manusia-manusia berkualitas dan tata kehidupan yang beradab hanya akan terlahir dari sebuah negara yang menjadikan Islam sebagai ideologinya.

Wajar, jika negara-negara yang katanya maju tersebut, menampakkan corak kehidupan yang tak beradab. Sebab, kapitalisme-sekular lah yang menjadi ideologinya. Standar kebahagiaan adalah materi. Agama dipinggirkan. Cukup menjadi ranah privat pemeluknya.

Di ruang publik seolah agama tak lagi ada harganya. Bahkan tak juga dianggap tabu, ketika agama dianggap tiada. Sebab keberadaan agama dianggap hanya penghambat kemajuan. Sekulerisme mengakar. Liberalisme menjadi urat nadi kehidupan.

Padahal sejatinya, negara maju harusnya adalah sebentuk definisi untuk sebuah negara yang menjadikan Islam sebagai ideologinya. Sehingga seluruh aturan kehidupan hanya disandarkan pada Islam saja sebagai agama yang rahmatan lil’alamiin. Universal untuk semua umat.

Terbukti, negara yang menjadikan Islam sebagai ideologinya mampu menjadi mercusuar peradaban selama lebih dari 1400 tahun. Dia lah Daulah Khilafah Islamiyah. Institusi penerap syariat yang unggul di segala bidang kehidupan. Bukan cuma berhasil membangun infrastruktur dan memajukan perekonomian. Namun mampu mencetak manusia-manusia beradab taat syariat, serta melahirkan para generasi unggul peradaban. Wallahu a’lam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *