Baby Blues Syndrom Semakin Tinggi, Ada Apa?
Vikhabie Yolanda Muslim
Kontributor Suara Inqilabi
Indonesia, negeri yang gemah ripah loh jinawi, menjadi negara tertinggi ketiga di Asia dengan kasus gangguan kesehatan mental, khususnya yang menimpa para ibu. Kasus gangguan kesehatan mental tinggi ditemukan pada populasi ibu hamil, menyusui, dan ibu dengan anak usia dini. Data terbaru di Lampung, 25% wanita mengalami gangguan depresi setelah melahirkan. Hal ini terungkap dalam data laporan Indonesia National Adlescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2023. Kemudian, hasil penelitian Andrianti pada tahun 2020 mengungkap bahwa, 32% ibu hamil mengalami depresi dan 27% depresi pasca melahirkan. Selain itu, penelitian skala nasional menunjukkan 50-70 persen ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues syndrome (republika.co.id 28/05/2023).
Psikolog Maria Ekowati dalam jumpa pers “WIK Dorong Kesehatan Mental Masuk dalam UU Kesehatan” di Jakarta Selatan pada 26 Mei 2023, mengatakan bahwa kondisi baby blues biasanya terjadi karena kondisi hormonal, meskipun wanita sudah lama mempersiapkan diri sebagai calon ibu. Ia pun mengatakan bahwa kondisi baby blues parah juga bisa dialami wanita yang hamil karena ‘kecelakaan’ hingga berada dalam rumah tangga yang tak harmonis, atau mengalami KDRT (Kekerasan Dalam Rumah tangga) (health.detik.com 26/05/2023).
Tingginya kasus baby blues syndrome ini kemudian menjadi gambaran bahwa kesehatan mental para ibu saat ini sedang tidak baik-baik saja. Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut, baik internal maupun eksternal. Faktor internal diantaranya ialah kesiapan seseorang untuk menjadi ibu baik mental maupun fisik. Sementara itu, kondisi mental dipengaruhi oleh ilmu yang dimiliki terkait cara pandangnya terhadap hidup berumah tangga, mendidik dan merawat anak, serta segala hal terkait lainnya.
Adapun faktor eksternal ialah terkait dengan kondisi di luar dirinya termasuk dukungan suami, keluarga besar, dan juga lingkungan sekitarnya. Namun faktanya, kehidupan kita saat ini yang berada di bawah sistem sekularisme-kapitalisme, telah mengurangi bahkan tidak memberikan support system bagi seorang ibu.
Sistem ini telah menihilkan peran agama dalam kehidupan. Lantas yang terjadi ialah kehidupan manusia jauh dari agama dan kering dari rasa keimanan. Pada akhirnya, hidup hanya disandarkan pada nilai-nilai materi semata, dan hanya dilihat dari penampakan fisiknya. Akibatnya ketika menjalankan perannya, calon ibu dan para ibu merasa begitu berat dan terbebani dengan kehadiran anak. Bahkan tidak sedikit yang merasa dengan rutinitas seorang ibu adalah hal yang menjemukan.
Cara pandang yang salah ini menyebabkan banyak dari perempuan saat ini hanya siap menjadi seorang istri, namun tidak untuk menjadi seorang ibu. Terlebih lagi secara sistem, perempuan saat ini tidak disiapkan menjadi sosok seorang ibu. Salah satu buktinya ialah kurikulum pendidikan saat ini yang hanya berfokus pada nilai-nilai materi dan akademik. Sebagian besar hanya berfokus pada hasil dan hard skill, tapi minim orientasi pada hal yang bersifat soft skill.
Padahal pada dasarnya, pendidikan memiliki peran penting dalam mendidik generasi, termasuk menyiapkan generasi menjadi sosok orang tua yang siap. Hal ini tentu sangat berbeda dengan kondisi dan output para ibu yang dilahirkan dari sistem Islam. Wanita di bawah sistem Islam adalah sosok yang begitu memahami peran strategisnya, yakni sebagai al-ummu wa rabbatul bayt. Peran ini akan menuntut seorang ibu sebagai madrasatul ula (pendidik utama dan pertama) putra-putrinya, sekaligus sebagai pengatur dalam mendampingi suami dalam berumah tangga.
Tak hanya peran strategis, mereka juga paham perannya sebagai entitas masyarakat yang memiliki kewajiban untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dalam kehidupan umum. Keberhasilan mereka dalam menjalani kedua peran inilah yang akan menentukan kualitas generasi dari sebuah peradaban. Hal ini telah terbukti selama 1300 tahun lamanya sistem Islam diterapkan yakni Khilafah, fakta menunjukkan begitu banyak sosok teladan yang berhasil menjalankan perannya sebagai seorang ibu. Seperti ibu ibu dari para shahabiyah yang senantiasa menyiapkan anaknya untuk menjadi seorang mujahid. Ibu-ibu yang begitu sabar mendidik anak-anaknya hingga menjadi ulama terkemuka, maupun ibu-ibu yang begitu luar biasa mendidik anaknya menjadi sosok pemimpin terbaik untuk masyarakat.
Tentu, keberhasilan ini tidak hadir dengan sendirinya. Negara juga turut andil menyiapkan generasi mereka melalui sistem pendidikan. Di bawah sistem Islam yakni khilafah, terbukti telah berhasil mencetak generasi yang memiliki kepribadian Islam. Karena tolak ukur kepribadian adalah terwujudnya pola pikir dan pola sikap sesuai dengan syariat. Tak hanya itu, generasi akan dididik menguasai ilmu praktis dan ilmu alat sehingga mampu menyelesaikan masalah kehidupan dengan keilmuan mereka.
Bahkan menurut Syekh Atha’ Khalil Ar-Rustah dalam kitabnya yang berjudul “Dasar-dasar Pendidikan Negara Khilafah”, kurikulum pendidikan negara secara khusus akan menyediakan mata pelajaran tentang kerumah tanggaan. Mata pelajaran ini dikhususkan bagi para perempuan agar siap menjadi seorang ibu.
Begitu pula masyarakat dalam sistem khilafah Islam adalah masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap sesama, sehingga terbentuklah support system untuk para ibu menjalankan perannya dengan optimal. Demikian juga ada pelajaran bagi para laki-laki agar menjadi suami yang peduli dan mendukung istri sesuai dengan tuntunan syariat.
Seperti inilah lingkungan yang dibutuhkan bagi para calon ibu dan para ibu agar berhasil menjalankan peran besarnya. Namun, lingkungan yang demikian hanya bisa terwujud jika Islam diterapkan secara menyeluruh (Kaffah) di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Maka, hanya dengan sistem Islam lah yang akan mampu menanamkan dalam diri generasi perempuan tentang suatu kesadaran yang sangat besar. Yakni tentang peran penting seorang perempuan sebagai pengatur rumah tangga dan pendidik anak-anak, sehingga dapat menunaikannya dengan penuh kesungguhan akan tugas mulianya di muka bumi.
Wallahu’alam bishshawwab