Atas Nama Kebebasan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Mia Fitriah Elkarimah

Aksi Presiden Prancis Emmanuel Macron soal Islam dan membiarkan penerbitan ulang karikatur Nabi Muhammad S.A.W oleh majalah Charlie Hebdo dikecam dunia. Macron beralasan itu adalah bagian dari kebebasan dalam berekspresi.

Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas mengatakan kebebasan berekspresi sejatinya ada batasnya. Berbicara dan berekspresi janganlah kebablasan, sehingga atas nama kebebasan, simbol keagamaan tertentu boleh dilecehkan.

Selain itu, Macron juga menyebut Islam sebagai teroris, setelah adanya pemenggalan seorang guru sejarah di Paris oleh imigran asal Chechnya. Eksekusi mati ini terjadi karena sang guru mempertontonkan karikatur Nabi Muhammad di depan anak muridnya. Pemuda muslim imigran Chechnya tersinggung dan akhirnya memenggal gurunya lalu ditembak mati oleh aparat karena alasan melawan ketika diamankan.

Atas kejadian itu, sebanyak 10 orang ditangkap, termasuk orangtua murid yang mengaku tersinggung dengan pengajaran si guru.

Anehnya, bukannya mau meneduhkan situasi, Pemerintah Perancis malah memajang karikatur Nabi Muhammad dalam ukuran besar di dua gedung balai kota Montpellier dan Toulouse dan pernyataan Presiden Perancis yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia( kumparan.com 23/10/20). Tak ayal hal ini menimbulkan kemarahan di dunia Islam.

Aksi provokasi pemerintah tersebut yang mengatasnamakan kebebasan berpendapat itu sama saja radikalnya. Berbagai reaksi muncul mulai dari kepala negara hingga masyarakat yang menyerukan kecaman di media sosial.

Salah satu Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah menjadi salah satu kritikus paling keras terhadap pemerintah Perancis. Alih-alih ada i’tikad baik dari pemerintah Prancis, malah menurut situs Samarinda, IDN Times Majalah mingguan 29 Oktober 2020, majalah Charlie Hebdo membuat karikatur Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan menjadikannya sampul depan dengan mengejek. Penggambarannya yang mengenakan kaos oblong dan celana dalam sedang memegang kaleng bir, sedangkan satu tangannya menyingkap bagian belakang seorang perempuan hingga bokongnya nampak. Dalam edisi yang terbit Rabu (28/10/2020).

Harian Singapura, The Straits Times hari ini melaporkan pemerintah Turki jelas geram ketika pemimpinnya digambarkan seolah-olah berbuat tidak senonoh seperti itu. Kepala bidang media Presiden Turki, Fahrettin Altun, mengecam sampul depan Majalah Charlie Hebdo. Ia juga menyebut redaksi di majalah tersebut berani mengeluarkan karikatur semacam itu lantaran dibiarkan oleh Presiden Emmanuel Macron. Entah sudah berapa kali aksi media cetak ini melakukan hal ini.

Kejahatan individu janganlah dikecam atas nama seluruhnya, Macron mestinya bisa belajar dari sosok Vladimir Putin, Presiden Rusia yang bijak dalam melihat Islam. Meski di Rusia terjadi pemberontakan separatis Chechen, tidak berarti Putin menyudutkan Islam.

Bukankah tokoh-tokoh Islam juga sudah mengecam perbuatan pemuda Islam itu dan mengatakan itu termasuk tindakan kriminal.

Syaikhul Azhar mengatakan bahwa tindakan pemuda Chechnya tersebut sebagai tindakan kriminal. Bahkan Syaikh Ali Al qaradaghi, Sekjen Persatuan Ulama Islam Sedunia berpendapat itu diharamkan. Syaikh Muhammad Al Isa malah lebih tegas lagi dengan mengatakan bahwa perbuatan pemuda tersebut merupakan bentuk teror.(mojok.co 28/10/20)

Dr. Aslam Abdullah yang pernah menjabat sebagai Imam, Khateeb, dan Resident Scholar di berbagai institusi di India, Inggris, dan Amerika Serikat mengatakan tindakan tersebut tidak bisa dibenarkan oleh Islam dan merupakan sebuah dosa. (Republika.co.id 24/10/20

Namun selain mengecam aksi pemuda tersebut, para tokoh tadi juga mengecam sumber masalahnya yakni penghinaan agama dan simbol-simbol agama suci; karikatur Nabi, sama saja menghina semua umat Islam, karena yang akan memicu kebencian dan ekstremisme kekerasan, Nabi Muhammad sangat dihormati oleh umat Islam dan segala jenis penggambaran visual tentang dirinya dilarang dalam Islam.

Masyarakat juga jangan menghukum atau main hakim sendiri walaupun berbenturan dengan prinsip keimanan, ini tidak berbeda dengan insiden main hakim sendiri oleh kelompok yang menyerang pedagang sapi Muslim di India yang ditembak dan dilempar ke rel kereta lantaran menjual binatang suci ini. Karena bagi pemeluk agama ini, sapi adalah binatang yang suci (BBC.com/2017). Tidak berbeda dengan Muslim Perancis yang memenggal kepala seorang laki-laki Prancis karena prinsip keimanan.

Seyogyanya sebagai orang nomor satu di Perancis bersikaplah bijak saat menyatakan pendapat yang dapat menyinggung perasaan umat beragama di negerinya sendiri maupun di tingkat internasional. Sebagai kepala negara janganlah perkataanya menjadi polemik yang dapat menimbulkan perpecahan kerukunan umat beragama, apalagi mendukung sebuah media cetak yg berpotensi menciptakan disharmonis umat beragama.

Allahu a’lam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *