Arus Moderasi Kian Merambah Kalam Illahi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Watini Alfadiyah, S.Pd. (Praktisi Pendidikan)

Berdalih moderasi, kini semakin berani meninjau ulang ayat-ayat Illahi.

Dilansir dalam muktamar Tafsir Nasional 2020 yang diselenggarakan Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Universitas Nurul Jadid (Unuja) Probolinggo menghasilkan beberapa rekomendasi. Di antaranya, ratusan peserta muktamar tersebut sepakat untuk mempromosikan moderasi Islam atau Islam moderat.

Salah satu pembicara muktamar tersebut, Prof Abdul Mustaqim, mengatakan, untuk menghasilkan tafsir Alquran dan hadits yang mengedepankan moderasi diperlukan adanya sinergitas antar berbagai pihak. “Menurut hemat saya perlu membangun sinergitas program atau kegiatan yang bisa mempertemukan para akademisi, termasuk tentunya dosen para mubaligh, dai, termasuk kalangan pesantren untuk merumuskan konsep dakwah yang mengacu pada nilai-nilai moderasi,” ujar Prof. Mustaqim saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (12/1).

Guru Besar Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjelaskan, moderasi merupakan karakter dasar Islam, yakni berada di tengah-tengah. Menurut dia, Pancasila itu sejatinya juga bagian dari bentuk moderasi, sehingga sudah tepat Indonesia memilih Pancasila dalam konteks relasi antara agama dan negara.

“Jadi Indonesia ini bukan negara Islam tapi juga bukan negara sekuler. Cuma agama memberi peran, nilai di dalam tata kelola kenegaraan. Pancasila tidak harus dipertentangkan dengan Alquran dan hadits. Karena intinya itu sudah sejalan dengan prinsip dasar Alquran dan Hadits,” jelasnya.

Saat menjadi pembicara dalam muktamar tersebut, Prof Mustaqim juga menawarkan sebuah metodologi untuk memahami dan menafsirkan Alquran dan hadits secara moderat, yaitu Tafsir Maqashidi.

Menurut dia, tafsir Maqashidi ini sebagai basis dari moderasi Islam. Karena, di satu sisi tafsir Maqshidi tetap menghargai teks, tetapi di sisi lain juga akan menangkap makna di balik teks tersebut.

“Kemudian melakukan kontekstualisasi, sehingga kita bisa meraih dimensi moderasi di dalam menerapkan nilai-nilai Alquran dan hadits dalam konteks keindonesiaan yang sangat multi agama, multi etnis, dan sebagainya,” kata Katua Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (IAT) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.(JAKARTA, Ahad/12/01/2020/REPUBLIKA.CO.ID).

Setelah memoderisasi ajaran Islam pada materi jihad dan khilafah dengan menempatkan materi tersebut hanya sebagai mata pelajaran sejarah kebudayaan Islam bukan merupakan bagian dari fiqh Islam yang merupakan kewajiban yang diperintahkan menurut syari’at Islam, kini merambah pada tafsir. Tafsir yang dimaksud adalah tafsir maqashidi yaitu sebuah pendekatan tafsir yang menengahi dua ketegangan epistemologi tafsir antara yang tekstualis dengan yang liberalis.

Mempelajari tafsir secara epistemologi yakni mempelajari tentang hakekat dari pengetahuan, justifikasi, dan rasionalitas keyakinan. Sementara sosok individu yang beriman akan adanya Allah Swt. selalu merasakan bahwasannya dirinya hanyalah makhluk yang penuh keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan. Dengan keimanannya tersebut akan menjadikan dia tunduk dan patuh terhadap syari’at Nya. Sebagaimana firman Allah Swt. : “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad Saw) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”(TQS. An-Nisa'(4) : 65).

Sebagaimana gambaran para ulama terdahulu yang kini notabenenya disebut ulama tekstualis adalah sebuah istilah yang dinisbatkan pada ulama yang dalam memahami hadits cenderung memfokuskan pada data riwayat dengan menekankan kupasan dari sudut gramatikal bahasa. Jadi pada dasarnya memperhatikan sumber hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah juga penunjang Ijma’ shahabat dan Qiyas.

Sedangkan liberalis adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama. Secara umum liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang penuh kebebasan.

Dalam tatanan kehidupan liberal yang menjunjung tinggi kebebasan kini arus moderasi semakin kuat, hingga ditunjukkan dengan adanya penciptaan tafsir. Tafsir yang dimaksud adalah ‘tafsir moderat’ merupakan buah dari aliran rasional yang mencocok-cocokkan Islam dengan peradaban barat, dan aliran sains yang menundukkan Al-Qur’an dibawah kaidah-kaidah sains dan teori-teorinya.

Adapun bahaya tafsir moderat tersebut terhadap umat yaitu :
Pertama, akan menjauhkan umat dari keterikatan dalam melaksanakan syari’at Islam secara kaffah.
Kedua, akan menyesatkan pemahaman umat dari mafhum yang benar.

Dengan demikian, negara sekuler justru akan mendorong munculnya penafsiran yang sejenis dengan ini, karena adanya kepentingan politik dan ketakutan akan bangkitnya Islam secara kaffah. Wallahu a’lam bi as-showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *