Argumentasi Ketidakwajiban Jilbab: Bolehkah Dicari ‘Illat-Nya atau Dipahami Sesuai Terjemahan-Nya

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Mimin Nur IndahSari, S.Si (Aktifis Dakwah Sidoarjo/ Alumni Mahasantri Ma’had Sunan Ampel Al-‘Aly/ Alumni Kimia UIN MALIKI Malang/ Ibu Rumah Tangga/ Member Komunitas Muslimah Suka Nulis, Sedati Sidoarjo)

Akhir-akhir ini dunia maya dihebohkan dengan statement Ibu Nyai Sinta Nuriyah (Istri Gus Dur) yang mengatakan bahwa, “perempuan muslim tak wajib menggunakan jilbab” yang dilansir dari Okezone.com (16/01/2020). Berbagai ulama seperti Gus baha (kyai NU sekaligus ahli tafsir Al-Qur’an) secara tegas mengatakan bahwa, “jilbab hukumnya wajib” yang dilansir dari PortalIslam.id (17/01/2020). Bahkan beberapa tahun yang lalu @Gus_Sholah (Adik kandung Gus Dur) dalam akun twitter pribadinya menyampaikan bahwa “Mereka (yang merasa berkeberatan dengan penggunaan jilbab untuk polwan atau prajurit milter perempuan), tidak paham bahwa jilbab itu bukan simbol tapi kewajiban” yang dilansir dari onpiyungan.blogspot.com (13/12/2014). Belum cukup menuai kontroversi, dunia maya pun dihebohkan kembali dengan aksi dari komunitas hijrah Indonesia yang menggelar kampanye “no hijab day” yang mengawali sebelum diperingatinya hari hijab sedunia “World hijab day”. Berbagai muslimah mulai menunjukkan sikapnya dari yang pro atau kontra bahkan yang kebingungan apakah berjilbab itu wajib bagi muslimah atau tidak.

Berikut kami akan mencoba sedikit mengulas argumentasi dua orang yang menyampaikan bahwa jilbab tidak wajib dengan menggunakan argumentasi ‘illat jilbab dan pemahaman orang awam sesuai dengan bahasa terjemahan (Bahasa Indonesia).

Pertama, Argumentasi Mbak Elyulie Khamidah (Mahasiswi Islamic studies) yang dilansir dari Geotimes.co.id (24/01/2020) menyampaikan bahwa, “karena  tidak adanya illat hukum yang mengharuskan jilbab begitu krusial wajib digunakan agar tidak dilecehkan, maka ketetapan hukum yang dimaksud menjadi batal dan tidak wajib berjilbab secara Syariah agama”. Sedangkan menurut KH Hafidz Abdurrahman [Khadim Ma’had Syaraful Haramain sekaligus penulis buku Ushul fiqih membangun paradigm berfikir tasyri’i] menekankan bahwa, “hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan ibadat, akhlak, makanan, dan pakaian tidak boleh dicari-cari ‘illatnya”. Bahkan bliau menegaskan akan terjadi suatu kesalahan fatal apabila ada upaya untuk mencari ‘illat dalam perkara ibadah, akhlak, makanan dan pakaian. Yaitu ketika ‘illatnya hilang maka hukumnya pun akan hilang sebab ‘illat itu senantiasa mengikuti ma’lul (hukum yang disertai ‘illatnya) ada atau tidaknya.

Coba kita berfikir secara logis apa bahayanya ketika dalam perkara pakaian, makanan, ibadah dicari ‘illatnya: Pertama, dalam perkara pakaian jika ‘illat diwajibkannya jilbab adalah agar tidak diganggu (tidak dilecehkan) maka ketika kondisi aman meski muslimah tersebut tidak memakai jilbab maka apakah jilbab itu menjadi tidak wajib? Kedua, dalam perkara makanan jika ‘illat diharamkannya babi adalah adanya cacing pita ketika cacing pita telah dihilangkan maka apakah babi kemudian menjadi halal? Ketiga, dalam perkara ibadah jika ‘illat diwajibkannya sholat adalah mencegah dari perbuatan keji dan munkar ketika seseorang yang meninggalkan sholat pun ternyata tidak melakukan perbuatan keji dan munkar maka apakah hukum sholat menjadi tidak wajib?

Kedua, Argumentasi Gus nadjib yang dilansir dari akun pribadinya @GusNadjib (januari 2020) menyampaikan bahwa “tidak ada kata wajib dalam ayat itu (Al-Ahzab:59). Tafsir dari kata HENDAKLAH dalam ayat itu maknanya adalah anjuran, bukan wajib”. Argumentasi Gus Nadjib ini tentu menuai kecaman bahkan ada Netizen yang bernama Nugie Al-bukhari yang menyampaikan bahwa “terus kalau dari ayat ini ( HENDAKLAH mereka mendirikan sholat ,QS.Ibrahim:31) anda akan bilang kalau sholat juga tidak wajib?” Yang dilansir dari akun twitter pribadinya @nugieahza81 (01/02/2020).

Lebih lanjut Kyai Prof.DR.H. Ahmad Zahro, MA Al-Chafidz (Guru Besar UIN Surabaya, Rektor UNIPDU yang sekaligus Imam Besar Masjid Al-Akbar Surabaya) menekankan bahwa, “ini Ayat (Al-Ahzab:59) berdimensi perintah qul (katakanlah)!!! Kalau yang mengatakan nabi yang memerintahkan Allah SWT al-aslu fil amri lil wujub pada dasarnya kalimat perintah itu imdikatornya arahnya WAJIB, jadi ayat inilah yang digunakan oleh para ulama untuk mewajibkan wanita berhijab” yang dilansir dari AZAHRO OFFICIAL Youtube.com (19/01/2020).

Lalu bagaimana seharusnya seorang muslim berargumentasi yang sesuai dengan koridor syari’at islam? Jangan sampai kita berargumentasi hanya untuk kepuasan intelektual semata. Kita pun memahami bahwa Allah menciptakan kita tentu lengkap beserta aturannya termasuk bagaimana harusnya seorang muslim itu berfikir? al-Quran dan as-Sunnah adalah dua sumber intelektual yang sangat kaya hingga imam al-Ghazali mengumpamakan keduanya ibarat pohon yang terus berbuah.

Pemetiknya adalah mujtahid dan alat pemetik buah tersebut adalah ushul fiqih. Teringat dibenak kami penjelasan dari ustd Muhammad bajuri (Ponpes Kyai Sekar Al-Amri Probolinggo) saat beliau mengajar fiqih bulughul maram bahwa, “ushul fiqih adalah kaidah berfikir tasyri’i bagi seorang muslim dalam menggali hukum yang menjadi solusi bagi seluruh permasalahan kehidupan”. Inilah kewajiban kita (kaum muslimin) untuk terus mempelajari islam secara kaffah (keseluruhan). Hal ini tentu menjadi pelecut bagi setiap muslim untuk menaikkan level berfikirnya dan menaikkan level keilmuannya baik ilmu bahasa arab nahwu sorof, ilmu tafsir, ilmu fiqih, ushul fiqih, ilmu balaghoh, asbabun nuzul, asbabul wudud dan lain sebagainya.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *