Arah Kebijakan Pendidikan di Tengah Pandemi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Fathya Habibah

Pandemi Covid 19 belum juga usai, berbagai aspek kehidupan pun semakin terasa menyulitkan. Salah satunya mengenai bidang pendidikan, jika sebelum pandemi pendidikan sudah tidak beres, pun kini dengan adanya pandemi, pendidikan semakin semrawut keadaannya.

Padahal, aspek pendidikan adalah hal yang paling urgen di dalam kehidupan bernegara. Dengan berbagai bentuk sarana dan prasarana pendukung, seharusnya pendidikan menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi masyarakat, bukan malah menjadi momok sehingga para calon murid dan orang tua enggan untuk mengikuti aktivitas belajar dan mengajar ini.

Dan, itulah yang terjadi saat ini. Kemendikbud yang dipimpin langsung oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim nyatanya tak mampu mengeluarkan aturan baru yang benar-benar solutif di masyarakat. Kemendikbud seperti tak bisa melihat kondisi masyarakat secara keseluruhan, melainkan hanya mampu meluncurkan aturan mentah semata-mata agar publik menyangka telah melaksanakan tugasnya dengan baik.

Dimasa pandemi kali ini, kita memang tidak seharusnya bertatap muka dengan banyak orang atau berkerumun. Begitupun dalam hal pendidikan, harus dilaksanakan secara online (daring). Ini telah berjalan beberapa bulan sejak Covid 19 semakin meluas di Indonesia khususnya. Para siswa dan guru melakukan kegiatan belajar mengajar bukan lagi bertatap muka, melainkan via gadget atau alat komunikasi lainnya.

Tentu, hal ini juga mengundang pro dan kontra dari masyarakat. Ada yang menyayangkan sikap Kemendikbud yang tak teliti dengan problem yang dialami beberapa murid atau orangtua. Dimana, kita tahu bahwa berkomunikasi online haruslah memiliki gadget dan kuota atau pulsa sebagai sarana dan prasarana nya.

Namun, dikondisi pandemi saat ini rasanya untuk kebutuhan hidup saja sulit, apalagi untuk membeli gadget atau kuota yang harganya tidak semua orang mampu menjangkaunya semakin berdampak buruk untuk masyarakat.

Belum lagi, penguasaan materi yang kurang maksimal sebab tak ada pengajaran dan penjelasan lebih lanjut juga membuat para siswa stress menghadapi soal-soal yang menumpuk, alih-alih mampu mengerjakannya.

Hal inipun lantas memicu aksi protes dari beberapa siswa dan mahasiswa yang merasa kesulitan dalam hal membeli kuota atau yang wilayah tempat tinggal nya sulit jaringan internet. Mereka melayangkan porsi keluhan kepada Kemendikbud agar kiranya memberikan solusi yang benar-benar solutif untuk seluruh siswa dan mahasiswa di penjuru Nusantara.

Menghadapi masalah baru seperti tadi, Nadiem Makarim pun kembali mengeluarkan beberapa kebijakan baru bagi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini. Diantaranya adalah mengizinkan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebagai dana untuk membeli kuota para murid dan guru disetiap sekolah. Dilansir dari KOMPAS.com, Nadiem Makarim mengatakan “Kami sedang merancang apa yang bisa kami lakukan untuk mengatasi masalah kurikulum dan pengadaan kuota, kami mendengar keluhan ini dan meresponnya,” lanjut Nadiem saat meninjau SMK Ma’arif NU Ciomas, Bogor, Jawa Barat, (Kamis (30/7/2020). Sumber: KOMPAS.com (Minggu 2 agustus 2020).

Namun, lagi-lagi ini bukan solusi yang tepat mengingat banyak daerah pelosok yang kesulitan jaringan internet. Belum lagi, siswa yang tak memiliki gadget tentu keringanan kuota ini tak ada guna baginya.

Kebijakan selanjutnya yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Kemendikbud adalah sekolah-sekolah yang berada di zona hijau dan kuning akan segera dibuka, dan artinya kegiatan belajar-mengajar tidak lagi dilakukan secara daring, melainkan luring atau tatap muka langsung. Hal ini sebenarnya beresiko besar bagi keselamatan siswa terutama yang masih sekolah dasar. Dikutip dari perkataan Ketua Komnas KPAI, Arist Merdeka Sirait dalam acara kabar siang ( Agustus 2020), “Siapa yang menjamin ini? Sekali lagi pertimbangannya adalah dunia anak adalah dunia bermain,” ujar Sirait, dalam acara Kabar Siang, Sabtu (8/8/2020).

“Nanti bisa mereka tidak tahu apa yang akan terjadi karena ada temannya yang maskernya lebih baik, pinjam-pinjaman, itu dunia anak,” jelasnya.

“Siapa yang menjamin itu? Guru, enggak mungkin, terbatas,” tegas Sirait. Sumber: Tribunnews.com sabtu 8 Agustus 2020

Meskipun akan ada banyak syarat yang diberlakukan untuk menyambut kegiatan belajar mengajar secara langsung ini, seperti jumlah siswa yang akan dibagi menjadi dua kelompok atau lebih (shifting), melaksanakan protokol kesehatan sebelum memulai KBM. Tapi, tetap saja kebijakan ini memiliki resiko yang besar walaupun bagi daerah berzona kuning.

Begitulah jika kita masih mengharapkan solusi dari sistem kapitalisme. Alih-alih meringankan, malah semakin menyulitkan. Bahkan kini, pendidikan sudah menjadi sektor yang di komersialisasi, sebagaimana ketetapan WTO yang menyatakan bahwa pendidikan menjadi salah-satu industri sektor tersier karena kegiatan pokoknya mentranformasi orang yang tidak berpengetahuan dan tidak berketerampilan menjadi orang yang berpengetahuan dan terampil.

Dan dampak dari ratifikasi ketetapan WTO tersebut justru membuat pemerintah lepas tangan. Alhasil, ketika proses transfer pengetahuan terkendala, pemerintah tidak mampu menjamin pendidikan dapat terlaksana dengan baik. Selain itu, ketidakmampuan pemerintah untuk memisahkan orang yang sehat dan sakit menjadi faktor utama meluasnya Covid 19 yang berakibat pada terkendala nya aktivitas umum, salah satunya dalam pendidikan tadi.

Seharusnya, dari awal pemerintah menelusuri sumber penyakit dan berupaya membatasi virus agar tidak meluas. Sudah menjadi tanggungjawab pemerintah di masa pandemi seperti sekarang ini untuk menjamin kebutuhan masyarakat diwilayah yang terkena dampak, baik dalam ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Memberikan fasilitas dan pelayanan terbaik bagi masyarakat yang atau daerah yang terjangkit virus atau penyakit. Agar wilayah yang tak terkena dampak tetap bisa beraktivitas dan berproduksi sebagaimana biasanya.

Namun, semua jaminan ini tak akan bisa terwujud selama kebutuhan masyarakat diselenggarakan oleh rezim kapitalis. Rezim tak akan pernah mau merugi hanya demi menyejahterakan rakyatnya.

Ketika Khilafah mengatur aspek kehidupan

Berbeda ketika sistem Islam, yakni Khilafah yang memimpin dunia. Segala problem aspek kehidupan, memiliki solusi yang benar-benar solutif berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah di dalam Islam. Pun ketika pandemi seperti saat ini, negara menjamin kebutuhan masyarakat secara keseluruhan sehingga tak ada lagi keluhan dari masyarakat itu sendiri.

Sebab, syari’at telah mendudukkan posisi pemimpin (Khalifah) sebagai Ra’in atau pengurus kebutuhan rakyatnya. Artinya posisi pemimpin dalam khilafah sebagai penjamin agar hajat kehidupan rakyat terlaksana secara sempurna. Dan amanah ini akan mereka pertanggungjawabkan baik didunia maupun diakhirat.

Mereka akan mengurus kebutuhan ummat sebagaimana hukum syari’at telah menetapkan. Dalam Islam, negara wajib memenuhi tiga kebutuhan dasar publik, yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan secara langsung.

Artinya, jaminan pembiayaan kebutuhan masyarakat ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab negara yang akan dinikmati oleh seluruh warga khilafah, baik miskin maupun kaya, muslim ataupun kafir secara gratis. Jaminan tersebut baik menyangkut gaji guru, dosen karyawan atau jasa-jasa yang terlibat, beasiswa mahasiswa setiap bulan dan menyangkut fasilitas sarana dan prasarana penunjang terlaksananya pendidikan dengan baik.

Tidak hanya itu, fasilitas pendidikan tak hanya dibangun di kota-kota, melainkan di pelosok daerah gedung gedung beserta fasilitas pendukung akan dibangun. Itulah mengapa, didalam khilafah tak ada kesenjangan pendidikan baik antara kota ataupun desa.

Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan oleh khilafah memperoleh pembiayaan penuh dari negara atau Baitul mal. Ada dua sumber pemasukan bagi Baitul mal, yakni pos fa’i dan kharaj yang merupakan pos kepemilikan negara seperti ghanimah, jizyah, khumus, dan daribah (pajak). Dan yang kedua berasal dari pos kepemilikan umum seperti pertambangan minyak dan gas, hutan, laut dan hima.

Jika kedua sumber pendanaan tidak juga mencukupi dan khawatir akan menimbulkan efek negatif, maka negara akan berhutang. Dan hutang ini akan dibayar melalui daribah atau pajak. (Sumber: Muslimah Media Center, 13 Agustus 2020)

Begitulah potret kesejahteraan hidup dibawah kepempimpinan Islam, yakni khilafah. Tidak akan kita temukan lagi kesenjangan sosial dan ketidakadilan ketika berada didalam negara khilafah. Sebab, aturan yang dijalankan pun bukan aturan abal-abal buatan manusia, melainkan aturan dari Allah yang terwujud langsung dalam Al Qur’an dan As Sunnah.

Ya Allah, percepatkan datangnya pertolongan-Mu. Sungguh, kami benar- benar rindu untuk hidup di bawah naungan Khilafah yang dipimpin oleh Khalifah yang benar-benar tunduk pada syari’at Mu ya Rabb. Wallahualam bish-showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *