Apakah Doa Bersama Solusi Paripurna?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Yeyet Mulyati (Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah)

 

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengimbau warga desa untuk membatasi mobilitas di luar rumah. Imbauan itu disampaikan melalui cuitannya di akun Twitter @halimiskandarnu.

Sebelumnya, Halim Iskandar mengimbau seluruh kepala desa, pendamping desa dan seluruh warga desa untuk melakukan doa bersama sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Harapannya agar pandemi dan lonjakan kasus Covid-19 segera berakhir.

“Doa bersama dilakukan bersama keluarga di rumah masing-masing,” kata Halim Iskandar.

Doa bersama keluarga ini diharapkan digelar secara rutin di desa-desa, yang dimulai serentak pada Minggu (4/7/2021) pukul 18.00 waktu setempat di kediaman masing-masing.

Imbauan agar masyarakat memperbanyak doa disaat seperti ini adalah sesuatu yang sangat baik, apalagi imbauan tersebut disampaikan oleh pemerintah (Mendes PDTT). Hal itu membuktikan adanya kepedulian dari pemerintah kepada rakyatnya.

Hanya saja yang jadi pertanyaan, apakah cukup hanya dengan berdoa lantas permasalahan selesai?

Sejatinya kedudukan doa dalam Islam sangatlah agung, keutamaannya sangat besar dan kemuliaannya sangat tinggi. Karena doa merupakan ibadah yang paling agung dan ketaatan yang paling tinggi. Oleh karena itu, banyak ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan kedudukannya yang agung dan tinggi, serta keutamaan yang besar bagi orang yang selalu mengerjakannya.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Rabbmu berfirman:
“Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku (berdo’a kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” [Al-Mu’min/Ghafir/40: 60]

Salah satu syarat agar doa kita dikabulkan adalah berdoa kepada Allah Ta’ala dengan sepenuh hati. Tidak berdoa dengan hati yang lalai dan berpaling, sehingga hanya menggerakkan lisannya saja, sedangkan hatinya lalai dan berpaling dari Allah Swt.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ، وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ

“Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan bahwa doa tersebut akan dikabulkan. Dan ketahuilah, sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah mengabulkan doa dari hati yang lalai dan berpaling.” [HR. Tirmidzi no. 3488 dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/493]

Pengertian dari hati yang lalai adalah hati yang lebih mengutamakan hal-hal lain ketimbang mengingat Allah Swt. dalam kehidupan sehari-hari. Sering mengabaikan perintah-Nya dan tidak menjaga larangan-Nya. Ketika harus memilih antara yang halal dengan yang haram, sebagian kita malah mencampur-adukkan keduanya hanya demi memperoleh kenikmatan dunia.

Di samping itu, banyak di antara kita hanya khusyuk dan yakin berharap kepada Allah Swt. di kala sedang menderita kesempitan. Pada waktu bencana melanda seperti saat ini ketika wabah virus Covid semakin mengganas, banyak manusia yang tiba-tiba memanggil-manggil nama Allah Swt. Termasuk di antaranya orang-orang yang sebelumnya telah melupakan Allah Swt.

Jadi wajar saja seandainya doa-doa yang kita panjatkan tidak terkabul, karena kita ingat Allah Swt. disaat kita mendapatkan musibah saja, tapi ketika kita ada dalam kehidupan yang aman kita berpaling dari Allah Swt. Kondisi seperti ini terjadi karena hasil dari paham pemisahan agama dari kehidupan (baca : sekularisme) yang dianut oleh masyarakat.

Dan merupakan penghalang terbesar terkabulnya doa adalah memakan harta atau barang haram. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :

ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟

“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang lelaki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya menjadi kusut dan berdebu. Orang itu mengangkat kedua tangannya ke langit dan berdoa, ‘Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.’ Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan mengabulkan do’anya?” [HR. Muslim no. 1015]

Dalam sistem pemerintahan kapitalis saat ini, kita nyaris tidak bisa membedakan antara barang yang halal dan haram, karena prinsip dasar dari ideologi ini adalah asas manfaat. Selama perkara tersebut dapat mendatangkan manfaat pasti akan dilakukan dan diambil tanpa memikirkan apakah perkara tersebut halal atau haram.

Maka seandainya doa kita dalam menghilangkan wabah ini ingin terkabul, sejatinya ada dua kondisi yang harus terwujud. Pertama adalah mewujudkan pemerintahan yang menjalankan syariat Islam dan yang kedua adalah mewujudkan kondisi masyarakat yang selalu terikat dengan hukum syara sehingga terwujud masyarakat yang islami yang membumikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin.

Adapun harapan tersebut hanya akan terwujud dalam bingkai negara Islam yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah.

Wallahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *