Oleh : Being Ulinnuha ( Mahasiswa di Surabaya )
Sesuatu yang patut disyukuri, bilamana kita diberi kesempatan untuk mencari ilmu. Allah menganugerahkan akal pada setiap manusia untuk memikirkan segala sesuatu, dan kemudian semakin beriman terhadap keesaan-Nya.
Pada Akal Allah letakkan titipan ilmu, dimana manusia punya amanah untuk menjaganya. Pada ilmu ini juga ada sebuah keistimewaan agung di sisi Allah yaitu Allah mengangkat derajat pada dirinya beberapa derajat dari orang sewajarnya.
Ilmu bagai cahaya, dimana cahaya selalu menampakkan pijar kilaunya, walau berada dalam gelap. Atas izin Allah, hati manusia yang gelap, juga pasti akan tertunjuki dengan cahaya ilmu,
Sebagai seorang yang dianugerahi ilmu tentu harus senantiasa menjaga akhlak dalam dirinya. Kadangkala syeitan menghasut dari arah yang tak disangka, menghembuskan angin kesombongan, agar merasa cukup akan ilmu yang kini dimiliki.
Kesombongan tersebut dapat berupa meremehkan ajakan kebenaran. Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda:
” Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Adapun kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. ” (HR. Muslim, no.91).
Banyaknya ilmu sejatinya berkonsekuensi pada banyaknya pengamalan. Dikarenakan beban taklif / tanggung jawab seseorang terhadap ilmu apabila sudah mengetahuinya adalah melakukannya. Sebagai contoh, bilamana pengetahuan tentang kebenaran itu datang maka tak ada pengingkaran, tanpa peduli siapa yang mengatakan. Entah lebih rendah usianya, lebih rendah kedudukannya, pangkatnya, lebih miskin dan tidak lebih daripada posisi kita saat ini.
Tabiat hati manusia condong pada arah kebaikan. Buktinya, manusia senantiasa ingin hidupnya baik, bahagia tanpa ada kesukaran dan kesulitan. Jika ada jalan yang baik pasti akan ia ambil. Hanya karena kepentingan tertentulah yang membuat manusia melakukan kemungkaran dan mengingkari kebaikan sekalipun itu hal yang benar.
Sejak Islam belum ada, orang-orang demikian yang cerdas akan ilmunya namun tak membawanya pada cahaya kebenaran telah tampak. Sebut saja Fir’aun, seorang yang punya kepentingan dengan kekuasaannya, gila pada tahta dunia, dengan angkuh berani mengaku sebagai Tuhan dan enggan menerima ajakan Nabi Musa untuk beriman kepada Allah SWT.
Saat Islam masih asing dan dalam proses dakwah Rasulullah, orang-orang demikian masih ada. Mereka yang secara logika mengetahui bahwa berhala-berhala Arab hanyalah mahluk yang dibuat dengan kedua tangannya, rusak bila terjatuh, habis jika dimakan, tetap menganggapnya sebagai Tuhan dan malah memepersekusi nabi Muhammad SAW karena kedudukannya bukanlah ketua kabilah yang sebanding. Akhirnya mereka enggan mengakui kebenaran dan berbalik dari keimanan.
Kini, kita berlindung dari sifat demikian. Akan tetapi tak dipungkiri warisan kisah yang harusnya jadi ibrah itu, teraplikasikan kembali di zaman saat Rasulullah telah tiada.
Ada sebuah perkataan dari Khalifah Ali Bin Abi Thalib : ” Akal cerdas tanpa akhlak mulia, bagai seorang pemberani tanpa senjata. ”
Setiap dari kita yang memiliki ilmu harus dibarengi dengan akhlak yang mulia. Akhlak berasal dari bahasa Arab yakni al-khulqu yang berarti tingkah laku, perangai, atau tabiat. Sementara itu menurut Imam Al Ghazali, Akhlak yang baik merupakan tingkah laku yang melekat pada diri seseorang yang dapat memicu perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu.
Singkatnya, ilmu yang dibarengi akhlak baik, yakni menerima setiap kebenaran yang datang akan membuat pemiliknya juga mulia. Semoga setiap dari kita yang dianugerahi titipan ilmu, dapat dengan mudah menerima setiap kebenaran yang datang pada kita.
Allahu a’lam bisshowab.