Anti Kritik! Rezim Jokowi Tak Dewasa Berdemokrasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Mu’adz Al Hafidz (Analis Politik Sekolah Peradaban)

Pemerintahan rezim Jokowi sepertinya mengalami fobia pada kata-kata yang mengarah pada impeachment, pemaksulan, atau pemberhentian. Hal ini sangat jelas terlihat dari tindakan yang hipersensitif, kepada mereka, baik individu maupun lembaga yang dinilai membahayakan status quo rezim hari ini. Penangkapan, pembubaran sampai tuduhan makar dilakukan untuk menghilangkan segala kemungkinan yang dinilai beresiko terhadap keberlangsungan kekuasaan mereka di negeri ini.

Dunia akademik dan nalar rasional kaum akademisi beberapa hari ini dirundung duka, seakan tidak percaya, sebagaimana kita ketahui bersama rezim orde baru yang dinilai otoriter telah tumbang 22 tahun yang lalu dengan pengorbanan yang luar biasa dari seluruh elemen bangsa, terutama mahasiswa yang berada di garda terdepan, Reformasi. Namun, hari ini kebebasan bersuara masih saja dibelenggu, suara-suara kritikan yang sejatinya ditujukan untuk memperbaiki kondisi negeri, dianggap rezim sebagai ancaman, bahkan dituduh melakukan upaya makar.

Belum lama ini telah beredar poster kegiatan seminar online, yang rencananya diadakan pada Jum’at, 29 Mei 2020 oleh Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang mengangkat tema, “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”. Kegiatan seminar ini terpaksa dibatalkan oleh penyelenggara, sebab mendapat teror, bahkan sampai ancaman pembunuhan oleh pihak yang tak dikenal.

Dr. Zainal Arifin Mochtar selaku dosen FH UGM, memberikan penjelasan dalam wawancara langsung dengan Refly Harun dalam kanal Youtube Refly Harun. Beliau menyampaikan bahwa kegiatan seminar itu dibatalkan atas kesepakatan pihak panitia dan pembicara, karena kondisi yang dinilai sudah tidak kondusif.

“ada teror, lalu kemudian pembicara maupun penyelenggara anak-anak mahasiswa ini, itu kemudian bertemu, lalu menyepakati bahwa keadaan tidak kondusif, karena memang ada ancaman pembunuhan dan sebagainya, lalu mereka menyatakan tidak dilaksanakan.” Papar Zainal Arifin dalam video tersebut. (YouTube.com/30/5)

Masyarakat patut curiga, bahwa upaya teror sampai ancaman pembunuhan itu dilakukan oleh mereka yang mendukung penuh pemerintahan rezim Jokowi atau fans fanatik Pak Presiden, dan seharusnya hal ini tak boleh didiamkan begitu saja. Tindakan ini telah mencederai hak konstitusi rakyat Indonesia yang telah dijamin oleh UU.

Tidak cukup sampai disitu, sehari sebelum pembatalan kegiatan seminar tersebut, Ruslan Buton yang sempat viral, akibat video yang berisi pernyataan meminta Presiden Jokowi mundur, ditangkap oleh tim gabungan Satgassus Merah Putih bersama Polda Sulawesi Tenggara dan Polres Buton pada Kamis (28/5/2020) pukul 10.30 waktu setempat.

“Ruslan dijerat pasal berlapis. Selain pasal tentang keonaran, dia dijerat UU ITE, yakni Pasal 14 Ayat (1) dan (2) dan/atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, tentang Peraturan Hukum Pidana yang dilapis dengan Pasal 28 Ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana enam tahun dan atau Pasal 207 KUHP.” (Okezone.com/31/5)

Banyak pihak yang menyayangkan sikap represif yang ditunjukkan oleh rezim Jokowi. Sikap anti kritik ditunjukkan dengan menabrak hak konstitusi warga negara. Seperti kita ketahui bahwa kebebasan berpendapat dijamin dalam UUD Pasal 28 tentang kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan.

Juga terkait tatacara dan syarat pemberhentian presiden dan atau wakil presiden semuanya telah diatur dalam UU.

Refly Harun, pakar hukum tatanegara menjelaskan dalam kanal youtube beliau, bahwa terdapat pasal dalam UUD yang menjelaskan terkait pemberhentian presiden. Beliau kemudian membacakan Pasal 7A UUD 1945 yang berbunyi:

“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Tuturnya. (YouTube.com/31/5)

Bahkan di akun twitter @ReflyHZ, beliau mengatakan, “meminta presiden mundur itu nggk apa2 dlm demokrasi. Yg nggk boleh itu, maksa presiden mundur.” Cuit Refly Harun,

Peristiwa-peristiwa ini juga mengingatkan kita, bagaimana paniknya rezim menghadapi tagar #2019GantiPresiden, hingga acara diberbagai daerah dibatalkan bahkan dilarang. Hingga muncul statement dari rezim waktu itu, bahwa hastag tersebut adalah upaya makar yang inkonstitusional.

Masih sangat jelas juga diingatan kita, yakni adanya pengembosan terhadap aksi damai 212, yang juga dituduh adanya upaya makar, hingga upaya pembatalan aksi tersebut terus dilakukan, seperti pelarangan masyarakat untuk mengahadiri kegiatan tersebut, berupa penghadangan, dan lain sebagainya.

Sangat nampak bahwa rezim Jokowi begitu khawatir akan kehilangan kekuasaan, hingga setiap kritikan, nasehat bahkan aspirasi rakyat yang menuntut perbaikan dianggap ancaman yang harus segera dihilangkan. Bahkan sikap anti kritik ini dianggap telah mencederai Demokrasi itu sendiri, yang mana nilai kebebasan menjadi sesuatu yang diagung-agungkan dalam Demokrasi.

Sikap rezim seperti ini memang dianggap sangat berlebihan oleh para pakar hukum tatanegara, sebab untuk memakzulkan presiden, itu tidak mudah. Apalagi jika kita melihat situasi perpolitikan yang ada, dimana seluruh lembaga tinggi negara seakan menunjukkan sikap seiya sekata. Jadi bisa dikatakan impeachment itu mustahil dilakukan dalam kondisi politik hari ini.

Terakhir, impeachment atau pemberhentian mungkin mustahil dilakukan. Namun, sikap tidak adil dan berbagai bentuk kedzoliman yang dirasakan rakyat akan terus terakumulasi, dan sampai pada titik tertentu akan terlampiaskan dengan jalan yang mungkin tidak bisa kita prediksikan. Jika hal itu telah terjadi rezim mungkin tak dapat lagi berbuat apa-apa.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *