Angka Kematian Meninggi : Bentuk Lalai Negara Menjaga Nyawa

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummik Rayyan (Member Pena Muslimah Cilacap)

 

JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi mengatakan, kematian tenaga medis dan kesehatan di Indonesia tercatat paling tinggi di Asia. Selain itu, Indonesia juga masuk ke dalam lima besar kematian tenaga medis dan kesehatan di seluruh dunia.

“Maret hingga akhir Desember 2020 terdapat total 504 petugas medis dan kesehatan yang wafat akibat terinfeksi Covid-19,” ujar Adib dikutip dari siaran pers PB IDI, Sabtu (2/1/2021).

“Jumlah itu terdiri dari 237 dokter dan 15 dokter gigi, 171 perawat, 64 bidan, 7 apoteker, 10 tenaga laboratorium medis,” tuturnya.

Adib merinci, para dokter yang wafat tersebut terdiri dari 131 dokter umum, 101 dokter spesialis dan serta 5 residen yang seluruhnya berasal dari 25 IDI Wilayah (provinsi) dan 102 IDI Cabang (Kota/Kabupaten). Adapun, keseluruhan data tersebut dirangkum dari data Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Perastuan Ahli Teknologi Laboratorium Medik Indonesia (PATELKI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Angka ini naik lima kali lipat dari awal pandemi. “Kenaikan ini merupakan salah satu dampak dari akumulasi peningkatan aktivitas dan mobilitas yang terjadi seperti berlibur, Pilkada dan aktifitas berkumpul bersama teman dan keluarga yang tidak serumah,” ucap Adib.

Dalam webinar kamis 3 Desember 2020, Firdza mengatakan, data tersebut menunjukkan bahwa penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia belum maksimal atau sangat buruk. Bahkan, positivity rate atau tingkat penularan di Indonesia konsisten 14-15 persen selama beberapa bulan. “Padahal standar WHO itu maksimal 5 persen,” katanya.

Menurut Firdza, kondisi itu terjadi karena pemerintah tidak pernah bsia mencapai standar 3T, yaitu testing, tracing, treatment. Kapasitas testing di Indonesia, kata dia, belum pernah stabil dan masih di bawah standar WHO.

Jika penduduk Indonesia sebesar 267 juta jiwa, maka jumlah penduduk minimal yang harus dites sebanyak 38.500 orang. “Sampai 9 bulan gagal nembus angka itu secara konsisten. Idealnya minimal 80 ribu lah,” katanya.

Firdza juga menyoroti tracing atau pelacakan yang buruk. Ia menyebut rasio pelacakan kontak positif Covid-19 di Indonesia hanya 1 berbanding 3 orang. Padahal, idelanya 1 orang positif Covid-19, maka yang dilacak harusnya 30 orang.

Pelacakan yang buruk, menurut dia, menjadi penyebab angka harian Covid-19 sempat mencapai 6 ribu kasus. “Jadi, ibaratnya karena strateginya tidak maksimal, efeknya yang kasihan para pejuang kita di rumah sakit ini,” ujar dia.

 

Firdza juga menilai, tidak ada penanganan serius dari pihak yang berwenang untuk mengintervensi tingkat kematian para tenaga kesehatan. Misalnya, harusnya ada perwakilan dinas kesehatan yang mengawasi agar tingkat kematian nakes di RS bisa turun.

Yang lebih mengkahwatirkan, Firdza mengungkapkan setelah para nakes meninggal, tidak ada pemberian gelar pahlawan yang benar, tanda jasa, atau fasilitas pada keluarga yang ditinggalkan layaknya penghargaan yang diterima tentara saat perang.

Begitu murahnya ‘nyawa’ seorang manusia dimata negeri ini. Pengorbanan berbalut perjuangan dari rakyatnya tak ubahnya hanya sebagai tugas-tugas yang diemban kan kepada mereka tanpa adanya pertanggungjawaban yang sesuai dan pantas terhadap keselamatan dan perlindungan nyawa. Penanganan yang sembrono dan tak sabaran hanya akan menambah siklus kematian yang berkepanjangan. Inilah kegagalan yang nampak dari sistem kapitalisme di negeri ini dan di berbagai negara lain dalam memelihara agama, nyawa dan harta manusia.

Memang, bencana berupa wabah ini merupakan bagian dari qadha’ (ketetapan Allah SWT) yang tak bisa ditolak. Namun, sistem dan metode apa yang digunakan untuk mengatasi dan mengendalikan wabah adalah pilihan; ada dalam wilayah ikhtiari manusia. Karena itu solusinya tidak lain dengan syariat Islam. Dengan prosedur sesuai petunjuk syariat inilah, nyawa dan kesehatan rakyat tetap bisa dijaga.

Dalam Islam, nyawa seseorang apalagi nyawa banyak orang benar-benar dimuliakan dan dijunjung tinggi. Menghilangkan satu nyawa manusia disamakan dengan membunuh seluruh manusia (lihat QS al-Maidah [5]: 32). Nabi saw. juga bersabda:

“Sungguh lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim.” (HR an-Nasai, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).

Perlindungan dan pemeliharaan syariah Islam atas nyawa manusia diwujudkan melalui berbagai hukum. Di antaranya melalui pengharaman segala hal yang membahayakan dan mengancam jiwa manusia. Nabi saw. bersabda:

“Tidak boleh (haram) membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR Ibn Majah dan Ahmad).

“Siapa saja yang menyadari bahwa setiap bencana (musibah) pasti akan berakhir, ia akan benar-benar sabar saat bencana itu turun.” (Imam al-Mawardi, Adab ad-Dunya’ wa ad-Din, 1/370).

Pelayanan Kesehatan dalam Sejarah Khilafah Islam terbagi dalam tiga aspek, yaitu:

Pertama, pembudayaan hidup sehat.

Rasulullah saw banyak memberikan contoh kebiasaan sehari-hari untuk mencegah penyakit. Misalnya : menekankan kebersihan, makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang, lebih banyak makan buah (saat itu buah paling tersedia di Madinah adalah rutab atau kurma segar), mengisi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga udara, kebiasaan puasa Senin-Kamis, mengkonsumsi madu, susu kambing atau habatussaudah, dan sebagainya.

Sehebat apapun penemuan dalam teknologi kesehatan, hanya akan efektif menyehatkan masyarakat bila mereka sadar hidup sehat, kemudian menggerakkan penguasa membangun infrastruktur pencegah penyakit dan juga fasilitas bagi yang terlanjur sakit.  Para tenaga kesehatannya juga orang-orang yang profesional dan memiliki integritas. Bukan orang-orang dengan pendidikan asal-asalan serta bermental pedagang.

Menarik untuk mencatat bahwa di dalam Daulah Islam, pada tahun 800-an Masehi, madrasah sebagai sekolah rakyat praktis sudah terdapat di mana-mana.  Tak heran bahwa kemudian tingkat pemahaman masyarakat tentang kesehatan pada waktu itu sudah sangat baik.

Kedua, kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan.

Kaum Muslim secara sadar melakukan penelitian-penelitian ilmiah di bidang kedokteran secara orisinal dan memberikan kontribusi yang luar biasa di bidang kedokteran. Bahkan mereka memiliki genre yang khas, melampaui genre yang ada saat itu, seperti kedokteran Yunani, India, Persia, dan karya-karya tokoh kedokteran kuno (Hippocrates, Celcus atau Galen).

Tidak dapat dipungkiri, Rasulullah saw. adalah inspirator utama kedokteran Islam.  Meski beliau bukan dokter, kata-katanya yang terekam dalam banyak hadis sangat inspiratif, semisal, “Tidak ada penyakit yang Allah ciptakan, kecuali Dia juga menciptakan cara penyembuhannya.” (HR al-Bukhari)

Muslim ilmuwan pertama yang terkenal berjasa luar biasa adalah Jabir al-Hayan atau Geber (721-815 M).  Beliau menemukan teknologi destilasi, pemurnian alkohol untuk disinfektan, serta mendirikan apotek yang pertama di dunia yakni di Baghdad.

Banu Musa (800-873 M) menemukan masker gas untuk dipakai para pekerja pertambangan dan industri sehingga tingkat kesehatan para pekerja dapat diperbaiki.

Muhammad ibn Zakariya ar-Razi (865-925 M) memulai eksperimen terkontrol dan observasi klinis, serta menolak beberapa metode Galen dan Aristoteles yang pendapat-pendapatnya hanya berlandaskan filsafat, tidak dibangun dari eksperimennya yang dapat diverifikasi. Ar-Razi juga meletakkan dasar-dasar mengenali penyakit dari analisis urin.  Bersama-sama Tsabit bin Qurra dan Ibn al Jazzar dia juga menemukan cara awal penanganan disfungsi ereksi.

Pada abad-9, Ishaq bin Ali Rahawi menulis kitab Adab ath-Thabib, yang untuk pertama kalinya ditujukan untuk kode etik kedokteran.  Ada 20 bab di dalam buku itu. Di antaranya merekomendasikan agar ada peer-review atas setiap pendapat baru di dunia kedokteran. Kalau ada pasien yang meninggal, maka catatan medis sang dokter akan diperiksa oleh suatu dewan dokter untuk menguji apakah yang dia lakukan sudah sesuai standar layanan medik.

Masih di abad-9, Al-Kindi menunjukkan aplikasi matematika untuk kuantifikasi di bidang kedokteran, misalnya untuk mengukur derajat penyakit, mengukur kekuatan obat hingga dapat menaksir saat kritis pasien.

Sekitar tahun 1000 M, Ammar ibn Ali al-Mawsili menemukan jarum hypodermik, yang dengannya dia dapat melakukan operasi bedah katarak pada mata!  Pada kurun waktu yang sama, Abu al-Qasim az-Zahrawi menemukan plaster adhesive untuk mengobati luka dengan cepat.  Penemuan ini sangat membantu pasukan Islam di medan jihad.

Abu al-Qasim az-Zahrawi dianggap Bapak ilmu bedah modern, karena dalam kitab Tashrif (suatu ensiklopedi 30 jilid) yang dipublikasikan pada tahun 1000 M, sudah menemukan berbagai hal yang dibutuhkan dalam bedah, termasuk plester dan 200 alat bedah.  Sebagian besar alat ini belum pernah digunakan orang sebelumnya, termasuk beberapa alat bedah yang khas digunakan untuk wanita.  Persoalan bedah juga terkait anasthesi (pembiusan).  Beberapa zat bius seperti campuran opium sudah digunakan dengan tepat oleh Abu al-Qasim, Ibnu Zuhur maupun Ibnu Sina.

Pada 1037 Ibnu Sina menemukan thermometer meski standarisasinya baru dilakukan oleh Celcius dan Fahrenheit berabad-abad kemudian.  Ibnu Sina juga sangat dikenal karena bukunya Qanun fi ath-Thib, sebuah ensiklopedia pengobatan (pharmacopoeia) yang nyaris menjadi standar kedokteran dunia hingga Abad 18.

Ibnu an-Nafis adalah Bapak Fisiologi peredaran darah yang merupakan perintis bedah manusia. Pada tahun 1242 ia sudah dapat menerangkan secara benar sirkulasi peredaran darah jantung-paru-paru.  Di Barat baru tahun 1628 William Harvey menemukan hal yang sama.

Pada abad 15, kitab Tashrih al-Badan karya Mansur bin Ilyas menggambarkan secara lengkap struktur tubuh manusia, termasuk sistem syaraf.

Semua prestasi ini terjadi tidak lain karena adanya negara yakni ‘Khilafah’ yang mendukung aktivitas riset kedokteran untuk kesehatan umat. Umat yang sehat adalah umat yang kuat, produktif dan memperkuat negara. Kesehatan dilakukan secara preventif (pencegahan), bukan cuma kuratif (pengobatan). Anggaran negara yang diberikan untuk riset kedokteran adalah investasi, bukan anggaran sia-sia.

Menarik untuk mengetahui, bahwa cikal-bakal vaksinasi sebagai cara preventif itu juga dari dokter-dokter Muslim zaman Khilafah Turki Utsmani, bahkan mungkin sudah dirintis sejak zaman Abbasiyah. Ini diceritakan pada buku, 1001 Inventions Muslim Heritage in Our World,  Lady Mary Wortley Montagu (1689-1762), istri Duta Besar Inggris untuk Turki saat itu, membawa ilmu vaksinasi ke Inggris untuk memerangi cacar ganas (smallpox).  Namun, Inggris perlu menunggu hampir setengah abad, sampai tahun 1796 Edward Jenner mencoba teknik itu dan menyatakan berhasil.  Cacar ganas yang pernah membunuh puluhan juta manusia hingga awal abad-20 akhirnya benar-benar berhasil dimusnahkan di seluruh dunia dengan vaksinasi yang massif.  Kasus cacar ganas terakhir tercatat tahun 1978.  Akhirnya, Jenner-lah yang disebut dalam sejarah sebagai penemu vaksinasi, terutama vaksin cacar.

Dengan ilmu dan teknologi yang semakin maju itu, otomatis kompetensi tenaga kesehatan juga wajib meningkat. Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya.  Dokter Khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya.  Mereka harus diperankan sebagai konsultan kesehatan, dan bukan orang yang sok mampu mengatasi segala penyakit.

Ketiga, penyediaan infrastruktur dan fasilitas kesehatan.

Pada kurun abad 9-10 M, Qusta ibn Luqa, ar-Razi, Ibn al-Jazzar dan al-Masihi membangun sistem pengelolaan sampah perkotaan, yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, yang di perkotaan padat penduduk akan berakibat kota yang kumuh.  Kebersihan kota menjadi salah satu modal sehat selain kesadaran sehat karena pendidikan.

Ini adalah sisi hulu untuk mencegah penyakit sehingga beban sisi hilir dalam pengobatan jauh lebih ringan.  Meski demikian, negara membangun rumah sakit di hampir semua kota di Daulah Khilafah.  Ini adalah rumah-rumah sakit dalam pengertian modern.  Rumah sakit ini dibuat untuk mempercepat penyembuhan pasien di bawah pengawasan staf yang terlatih serta untuk mencegah penularan kepada masyarakat.

Pada zaman Pertengahan, hampir semua kota besar Khilafah memiliki rumah sakit.  Di Cairo, rumah sakit Qalaqun dapat menampung hingga 8000 pasien.  Rumah sakit ini juga sudah digunakan untuk pendidikan universitas serta untuk riset.   Rumah Sakit ini juga tidak hanya untuk yang sakit fisik, namun juga sakit jiwa.  Di Eropa, rumah sakit semacam ini baru didirikan oleh veteran Perang Salib yang menyaksikan kehebatan sistem kesehatan di Timur Tengah. Sebelumnya pasien jiwa hanya diisolir dan paling jauh dicoba diterapi dengan ruqyah.

Semua rumah sakit di Dunia Islam dilengkapi dengan tes-tes kompetensi bagi setiap dokter dan perawatnya, aturan kemurnian obat, kebersihan dan kesegaran udara, sampai pemisahan pasien penyakit-penyakit tertentu.

Rumah-rumah sakit ini bahkan menjadi favorit para pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, karena seluruh rumah sakit di Daulah Khilafah bebas biaya.  Namun, pada hari keempat, bila terbukti mereka tidak sakit, mereka akan disuruh pergi, karena kewajiban menjamu musafir hanya tiga hari.

Banyak individu yang ingin berkontribusi dalam amal ini. Negara memfasilitasi dengan membentuk lembaga wakaf (charitable trust) yang menjadikan makin banyak madrasah dan fasilitas kesehatan bebas biaya. Model ini pada saat itu adalah yang pertama di dunia.

Begitu pentingnya dukungan negara dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk didalamnya kemajuan teknologi kesehatan. Sudah nampak jelas kegemilangan yang dicapai dimasa kejayaan Islam, semua terakomodir dengan baik dalam segala aspek. Hanya dengan sistem Islam Kaffah lah semua kan terwujud.

 

Wallahu a’lam bish-showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *