Angan-angan Pengentasan Kemiskinan di Negeri Zamrud Khatulistiwa

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Anggun Petmatasari

Bank Dunia baru saja mengeluarkan laporan dengan tajuk Aspiring Indonesia, Expanding The Middle Income Class. Dalam laporan tersebut tercatat ada 115 juta penduduk yang masuk dalam kategori ‘Aspiring Middle Class’. Kategori ini bisa diasumsikan sebagai kelas menengah ‘tanggung’ atau di ujung jurang.

“Ada 115 juta orang Indonesia yang tidak lagi miskin, tapi mereka rentan. Mereka belum menjadi bagian dari kelas menengah dan kategori ini rentan kembali menjadi miskin.

Berdasarkan data tersebut, Bank Dunia memiliki tiga rekomendasi yakni meningkatkan kualitas pendidikan menengah, memberikan jaminan dan cakupan kesehatan menyeluruh kepada masyarakat serta memperbaiki kebijakan dan administrasi pajak. (Cnnindonesia.com)

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eni Sri Hartati juga memberi masukan bahwa kunci memberantas kemiskinan adalah lapangan kerja.

Ironis! Indonesia dengan sumber daya alam karunia Allah swt. yang melimpah ruah, tapi rakyatnya masih miskin. Negeri dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan yang mahsyur dengan julukan negeri agraris masih disibukan dengan masalah kemiskinan.

Solusi yang disampaikan Bank Dunia tampaknya juga bukan jalan keluar yang bisa membantu masyarakat Indonesia keluar dari lingkaran setan kemiskinan.

Faktanya, berbagai program pemerintah mulai dari Bantuan Sosial (Bansos), Beras sejahtera (Rastra), Program Keluarga Harapan, Dana Desa, dan Bantuan Non Tunai berupa Kartu Indonesia Pintar ternyata tidak juga membuat rakyat sejahtera.

Program peningkatan pendidikan menengah juga sudah masif digelar. Terbukti dengan menjamurnya sekolah vokasi yang menjanjikan jaminan untuk menyalurkan anak didik ke perusahaan setelah lulus sekolah. Namun, adanya kerjasama pihak sekolah dengan berbagai perusahaan juga tidak membuat angka pengangguran menyusut tiap tahunnya.

Adanya kebijakan pajak justru membuat masyarakat bertambah susah. Rakyat dituntut untuk disiplin dan taat pajak, namun pengelolaannya tidak maksimal dan tepat sasaran.

Oleh karena itu, solusi yang dipaparkan penguasa ibarat dongeng yang disampaikan berulang-ulang oleh penguasa sebagai pemberi citra baik di mata rakyatnya.

Pengentasan kemiskinan merupakan cita-cita bangsa Indonesia. Sayangnya, pemberantasan kemiskinan secara total merupakan angan-angan semu dalam sistem demokrasi kapitalis.

Upaya penurunan angka kemiskinan lebih banyak mengotak-atik angka melalui pembuatan standarisasi/ukuran atau sekedar program-program sosial, bukan menghilangkan kondisi miskin rakyat secara nyata. Yaitu, memastikan semua kebutuhan rakyatnya terpenuhi. Parahnya, antara data statistik yang dipublis pemerintah sangat berbeda jauh dengan fakta yang ada di lapangan.

Kemiskinan massal adalah kondisi laten akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme. Sistem inilah yang menyebabkan kekayaan umat tidak bisa dinikmati secara merata dan hanya berputar di segelintir orang. Adanya privatisasi sumber daya vital bagi umat membuat umat sengsara.

Dampak buruk sistem ini diakui juga oleh para ahli ekonomi dan pemerhati masyarakat. Menurut Ekonom senior yang juga mantan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli mengatakan Hitungan angka kemiskinan terendah BPS adalah Rp 13.400 setiap orang membelanjakan uangnya per hari. Menurutnya standar ini sangat rendah, jauh dari standar kemiskinan internasional $2 USD. (Kiblat.net)

Sistem ekonomi kapitalisme menilai kesejahteraan suatu negara secara random dan dihitung dari penjumlahan keseluruhan pendapatan masyarakat di suatu tempat, bukan per individu. Jadi, angka yang diumumkan pemerintah tidak menggambarkan kenyataan sesungguhnya masyarakat. Jelas, standar pemerintah dalam menentukan angka kemiskinan tidak logis.

Pengalaman dari tahun ke tahun, yang bisa dilakukan hanya menurunkan angka kemiskinan secara data di atas kertas, bukan menghilangkan kemiskinan dari hidup rakyatnya.

Kondisi ini sangat berbeda jika negara dipimpin dengan sistem islam yang memiliki jurus jitu untuk menghapus kemiskinan secara sempurna dan sistemik.

Sistem Islam sangat memperhatikan kebutuhan rakyatnya mulai dari sandang, pangan dan papan. Jadi, pendapatan yang dihasilkan masyarakat bukan semata-mata hanya untuk makan sehari-hari saja tapi juga untuk memenuhi kebutuhan kesehatan, pendidikan, dll.

Setiap laki-laki produktif terutama para kepala keluarga akan didorong untuk bekerja. Di Madinah, sebagai seorang khalifah, Rasulullah saw. menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Bahkan, para ahlus-shuffah, yaitu para sahabat yang tergolong dhuafa diizinkan tinggal di Masjid Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara.

Sejarah peradaban Islam mengajarkan kita betapa umat manusia akan mulia di bawah kepemimpinan kekhikafahan. Pada masa kekhalifahan Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab, setiap bayi yang lahir diberikan insentif untuk menjaga dan melindungi anak-anak. Beliau juga membangun “rumah tepung” (dar ad-daqiq) bagi para musafir yang kehabisan bekal.

Rasul bersabda: ”Seorang Imam (kepala negara) adalah pemimpin manusia dan dia akan bertanggung jawab terhadap rakyatnya.“ (HR. Bukhari dan Muslim).

Di zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ada kebijakan pemberian insentif untuk membiayai pernikahan para pemuda yang kekurangan uang.

Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah dibangun rumah sakit-rumah sakit yang lengkap dan canggih pada masanya yang melayani rakyat dengan cuma-cuma alias gratis.

Dalam Islam, negara wajib menyediakan pendidikan yang baik dan berkualitas secara gratis untuk seluruh rakyatnya. Sarana dan prasarana pendidikan seperti gedung-gedung sekolah dan kampus, buku-buku pelajaran, laboratorium untuk keperluan pendidikan dan riset, serta tunjangan penghidupan yang layak baik bagi para pengajar maupun kepada para pelajar disediakan oleh negara.

Pada masa Daulah Abbasiyah, tunjangan kepada guru begitu tinggi seperti yang diterima oleh Zujaj pada masa Abbasiyah. Setiap bulan beliau mendapat gaji 200 dinar. Sementara Ibnu Duraid digaji 50 dinar perbulan oleh al-Muqtadir.

Negara Islam sangat mengawasi kestabilan harga-harga di pasaran. Monopoli perdagangan tidak akan terjadi karena kebijakan negara yang ketat. Mekanisme pasar yang baik juga merupakan faktor yang sangat dijaga dalam sistem Islam. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti intervensi harga oleh perorangan atau kelompok, penimbunan barang, kanzul mal, riba, dan penipuan.

Islam mewajibkan negara bertanggungjawab penuh terhadap kebijakan yang diambil daulah kekhilafahan yang merupakan serangkaian hukum yang mampu menjaga stabilitas ekonomi dan merealisasikan kesejahteraan secara merata. Tentunya, dengan sendirinya kemiskinan akan hilang berganti kebahagian bagi umat. Wallahu alam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *