Anak Pelaku Kejahatan Seksual, Negara Darurat Cacat Moral

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Anak Pelaku Kejahatan Seksual, Negara Darurat Cacat Moral

Oleh Nisa Agustina

(Muslimah Pegiat Literasi)

 

Degradasi moral yang menimpa negeri ini sudah sampai pada tahap akut. Bagaimana tidak, publik kembali dikejutkan dengan pemberitaan yang mengiris hati. Lagi dan lagi kekerasan seksual terhadap anak terjadi. Yang membuat miris, pelaku pelecehan seksual tersebut sama-sama masih anak di bawah umur.

Dilansir dari situs detik.com (21/1/2023), seorang siswi TK di Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto diduga diperkosa 3 bocah laki-laki SD yang baru berusia 7 tahun. Anak perempuan berusia 6 tahun itu mengalami trauma karena sudah beberapa kali mengalami kejadian serupa.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyesalkan terjadinya kasus kekerasan seksual tersebut. Terkait penanganan hukumnya, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar, mendorong aparat penegak hukum untuk memperhatikan Undang-Undang No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengingat pelaku masih berusia di bawah 12 tahun (liputan6.com, 20/01/2023).

Pelecehan seksual yang dilakukan anak terhadap anak merupakan aib besar dan malapetaka dahsyat yang menunjukan bahwa negara ini darurat cacat moral. Kasus ini merupakan tamparan keras bagi semua pihak, baik keluarga, masyarakat, institusi pendidikan, dan tentu saja negara.

Banyak faktor yang menyebabkan kasus ini bisa terjadi. Semuanya sisemik dan saling terkait. Perilaku rusak pada anak tentu ada kaitannya dengan pengasuhan orang tua. Pengasuhan yang tepat tentu membutuhkan ilmu pengasuhan. Faktanya, saat ini negara belum memberikan bekal yang cukup untuk calon orang tua, baik dalam kurikulum pendidikan maupun bimbingan calon pengantin menjelang pernikahan. Bimbingan pernikahan seringnya hanya sekadar formalitas, bahkan banyak yang hanya “membeli” sertifikat.

Kurikulum pendidikan hari ini pun tidak memberikan bekal yang cukup untuk persiapan menjadi orang tua. Pendidikan saat ini justru berorientasi menjadikan peserta didik sebagai tenaga kerja. Apalagi, dengan derasnya kampanye kesetaraan gender, calon ibu justru didorong untuk menjadi pekerja daripada disiapkan menjadi ibu. Selain itu, kurikulum pendidikan saat ini jauh dari pemahaman terhadap agama, terlebih dengan masifnya moderasi beragama.

Akibatnya, nilai-nilai global yang identik dengan nilai Barat yang didasarkan kepada hak asasi manusia dan liberalisme makin tertanam dalam benak peserta didik. Jadilah kesenangan dunia yang dicari makin menjauhkan gambaran pentingnya peran orang tua dalam keluarga. Nyaris tidak terwujud kesiapan menjadi orang tua dengan segala peran dan tanggung jawabnya dalam sebuah keluarga.

Pendidikan yang ada saat ini jauh dari fungsi dan tujuan pendidikan itu sendiri. Salah satunya yaitu mewujudkan individu yang bertaqwa, melahirkan generasi cerdas dan dapat menjadi panutan bagi sekitarnya. Fungsi tersebut terkikis oleh sistem sekulerisme. Sekulerisme berhasil menjadikan pendidikan hanya sebatas alat untuk mencari pekerjaan, atau hanya sebatas mendapat gelar pendidikan.

Selain itu, penerapan ekonomi kapitalisme membuat kehidupan makin sulit dan sempit. ketika tuntutan hidup memaksa ibu ikut bekerja, maka anak makin terabaikan. Sehingga peran ibu sebagai pendidik pertama dan utama tidak dapat berjalan optimal, bahkan pada sebagian kasus nyaris tidak berjalan.

Jadilah media terutama gadget dan internet menjadi guru yang dapat dijangkau setiap saat. Tanpa pendampingan orang tua, anak-anak yang masih bau kencur menjadi korban serangan pengaruh buruk dunia digital. Seperti yang kita tahu, pesatnya transformasi digital saat ini nyatanya tidak diimbangi dengan peningkatan literasi digital termasuk pada anak.

Ketika digitalisasi lebih diarahkan untuk meraup keuntungan yang lebih besar dan demi pertumbuhan ekonomi. Berbagai konten pun bebas berkeliaran mengabaikan tayangan ramah anak. Konten-konten pornografi pun mudah diakses oleh siapa saja termasuk anak-anak. Akibatnya, anak dapat mengakses tayangan yang tidak layak dikonsumsi anak-anak, dan mendorong anak menirunya, bahkan ketika anak belum memahami apa yang dilihatnya.

Dari semua paparan di atas, tampak nyata bahwa penyebab utama dari semua masalah ini adalah kesalahan negara dalam mengurus rakyatnya yang dilandaskan kepada sekuler kapitalisme yang menjauhkan agama dari kehidupan.

Semua aspek kehidupan baik pendidikan, ekonomi, media, maupun yang lainnya memberikan dampak buruk terhadap kehidupan rakyat, termasuk pemikiran dan perilaku. Tata kehidupan menjadi rusak dan merendahkan martabat kemanusiaan. Siswa sekolah dasar melakukan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur adalah bukti nyata rusaknya tata kehidupan saat ini.

Betapa menyedihkan, negara ini memiliki masyarakat yang mayoritas muslim tapi aturan agama dipinggirkan. Andaikan kita memahami, betapa Islam adalah sistem kehidupan yang paripurna. Islam menetapkan bahwa terjaganya kehormatan perempuan dan anak bukan hanya tanggung jawab keluarga tapi juga masyarakat terutama negara.

Maka untuk mewujudkannya harus ditopang oleh tiga pilar yaitu, pertama ketakwaan individu sebagai bekal seseorang untuk selalu terikat aturan Islam. Aturan inilah yang akan membentengi diri dari kemaksiatan. Pilar kedua adalah adanya kontrol dari masyarakat. Fungsinya untuk memperkuat ketakwaan yang sudah diupayakan oleh individu. Selalu ber-amar makruf nahi munkar agar aktivitas yang berkaitan dengan kejahatan ini bisa diminimalisir bahkan dihilangkan.

Pilar ketiga termasuk yang paling penting adalah adanya peran negara. Negara akan memberlakukan aturan berdasarkan Al Qur’an dan as-sunnah, bukan demokrasi liberal. Mewajibkan menutup aurat, membatasi pergaulan pria wanita sesuai koridor Islam. Negara pun tidak akan membiarkan bisnis haram pemicu kekerasan seksual. Media akan dibersihkan dari konten yang merusak.

Ketika aturan Allah dijadikan sebagai asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka akidah Islam akan menjadi benteng setiap individu untuk selalu terikat pada aturan Allah. Akidah Islam juga akan menjadi panduan bagi penguasa dalam membuat kebijakan dan aturan.

Kesadaran adanya pertanggungjawaban di akhirat menjadikan penguasa memenuhi kebutuhan rakyat dengan baik agar terwujud kesejahteraan dan berjalannya peran setiap manusia sesuai dengan kodratnya. Penguasa juga akan menjaga pemikiran umat agar bersih, mulia, dan dipenuhi dengan semangat melakukan kebaikan dan menjauhkan diri dari kemungkaran dan kemaksiatan.

Penjagaan itu dilakukan dalam semua aspek tanpa mengabaikan perkembangan teknologi. Bahkan, teknologi justru akan dikembangkan agar hidup manusia menjadi lebih mudah dan makin meningkatkan peran manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.

Kebaikan sebuah bangsa terletak pada aturan dan pemimpin yang bertanggungjawab. Rasulullah saw. bersabda yang artinya:

“Imam adalah pengurus, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Untuk itu, sangat jelas bahwa Islamlah yang dapat menjamin keamanan anak dan perempuan. Penerapan aturan Islam secara kaffah (menyeluruh), baik oleh individu, masyarakat maupun negara, akan memberikan rasa aman bagi anak dan perempuan.

 

Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *