Ambiguitas Sexual Consent, Legalisasi Seks Bebas di Kampus

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ummu Ayyash (Praktisi Pendidikan)

 

Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi memunculkan kritikan dari berbagai pihak. Yang menjadi sorotan adalah diksi “tanpa persetujuan korban (sexual consent)” sebagaimana yang tertuang dalam pasal 5 ayat 2. Diksi “tanpa persetujuan korban” seolah-olah membolehkan hubungan seksual di lingkungan kampus jika keduanya suka sama suka, tidak ada pemaksaan, telah berusia dewasa, dan ada persetujuan.

Penolakan terhadap Permendikbudristek PPKS ini disuarakan oleh 13 Ormas Islam yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI). MOI menganggap bahwa Permendikbudristek PPKS secara tidak langsung telah melegalkan perzinahan dan merusak nilai moral mahasiswa.

Senada dengan MOI, pakar pendidikan Islam, Dr. Adian Husaini menilai adanya beleid ini justru melegalkan seks bebas di lingkungan kampus. “Berarti kalau mahasiswa suka sama suka, kampus gak peduli. Kalau setuju membuka pakaian, hubungan seksual kalau saling setuju itu ini gak masuk kekerasan seksual,” ujar Adian. Hal yang sama juga disampaikan oleh pengamat Pendidikan Islam UIN Jakarta Jejen Musfah. Jejen menilai maraknya penolakan karena adanya ambiguitas frasa dalam Permendikbudristek tersebut.

Kemendikbudristek mengatakan memiliki niat baik sebagaimana yang tercantum dalam consider Permendikbudristek tersebut yaitu bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual. Maraknya kekerasan seksual, lemahnya perlindungan korban dan lambannya penanganan kasus menjadi alasan kuat lahirnya Permendikbudristek ini. Tetapi niat baik tersebut tercederai dengan ambiguitas frasa “tanpa persetujuan korban” yang ada dalam pasal 5 ayat 2.

Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, Prof Dr Purwo Santoso mengungkapkan logika yang dibangun dalam aturan tersebut adalah kerangka berpikir liberal karena yang menjadi acuan perasaan dipaksa atau tidak dipaksa.

Oleh karena itu logika berpikir liberal inilah yang merupakan kesalahan mendasar lahirnya Permendikbudristek PPKS ini. Persoalan kekerasan seksual di kampus tidak akan selesai bahkan berpotensi semakin banyak jika logika berpikir menggunakan hal ini. Mengutip ucapan Prof Purwo, justru yang terjadi kampus akan sibuk menangani kasus kekerasan seksual sehingga tidak mengurus pembelajaran. “Rektor disuruh menjadi asisten polisi,” kata Prof Purwo.

Paham sekuler dan liberal yang lahir dari rahim kapitalisme memberikan kebebasan bagi para penikmat seks untuk melampiaskan hawa nafsunya asal tidak ada unsur paksaan. Wajar jika marak penyimpangan maupun kekerasan seksual. MOI memperingatkan Permendikbudristek PPKS ini tidak hanya berpotensi melegalkan dan menfasilitasi perbuatan zina, tapi juga perilaku menyimpang lesbian, gender, biseks dan transgender (LGBT).

Hal ini sangat berbeda dengan Islam. Di dalam Islam, segala bentuk kekerasan seksual baik perzinahan, lgbt, prostitusi, palacuran, pencabulan, perkosaan baik dilakukan secara sukarela maupun dipaksa adalah termasuk perbuatan jarimah (tindak pidana) yang akan dikenai sanksi bagi pelakunya.

Islam juga memiliki berbagai mekanisme yang akan mencegah kekerasan seksual terjadi. Pertama, Islam mewajibkan negara berperan besar dalam memupuk ketakwaan individu rakyat agar memiliki benteng terhadap perilaku seksual yang menyimpang. Masyarakat tidak dibiarkan menjadikan kebebasan sebagai standar perbuatan.

Kedua, melalui pola asuh dalam keluarga maupun kurikulum pendidikan yang akan memberikan pembinaan bagaimana Islam mengatur pergaulan antara laki-laki dan perempuan.

Ketiga, Islam mencegah tumbuh dan berkembangnya kekerasan seksual dengan aturan larangan berduaan dengan non mahrom (kholwat), larangan berzina, kewajiban menutup aurat, perintah gadhul bashor (menundukkan pandangan) dan lain-lain. Islam menjadikan penyaluran seksual hanya boleh bagi suami istri dalam ikatan pernikahan.

Keempat, Islam mewajibkan negara menghilangkan rangsangan seksual di ruang publik termasuk pornografi dan pornoaksi. Tayangan dan konten porno akan dilarang.

Kelima, Islam menetapkan sanksi yang tegas dan keras terhadap pelaku kekerasan seksual contoh cambuk dan rajam bagi pezina. Fungsi sanksi ini akan menjadi jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah bagi pelaku kejahatan yang lain).

Inilah bentuk penjagaan Islam yang sempurna terhadap generasi agar terhindar dari pergaulan bebas maupun kekerasan seksual yang bisa terjadi dimanapun dan kapanpun. Hanya saja semua aturan Islam ini butuh pelaksana dan yang bisa melaksanakan secara sempurna dan total hanyalah khilafah Islam. Mari berjuang bersama untuk mewujudkannya.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *