Oleh : Ratna Kurniawati (Aktivis Remaja)
Momentum yang paling sering di ingat pada bulan Rajab adalah peristiwa Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW. Setiap peristiwa yang terjadi dalam sejarah Islam pastilah sarat makna mendalam. Sebagaimana peristiwa besar Isra’ Mi’raj. Ia memiliki nilai yang sangat tinggi bagi mereka yang memandangnya dari kacamata iman. Di dalam peristiwa tersebut banyak hikmah dan pelajaran, Isra’ Mi’raj mengajarkan akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT betapa dengan mudahnya Allah SWT memperjalankan hamba-Nya pada jarak yang begitu jauh tetapi ditempuh dalam waktu yang amat singkat. Dalam semalam, Jibril mengajaknya ber-isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Di masjid mulia ini, salah satu momen yang monumental bagi Rasulullah SAW adalah ketika beliau di izinkan oleh Allah SWT untuk mengimami para Nabi dan Rasul yang diutus sebelumnya dalam satu sholat berjamaah. Lalu atas izin Allah, dengan Buraq, Jibril as membawanya ke Sidratul Muntaha. Menyaksikan bagaimana balasan bagi mereka yang taat dan bagi pendosa. Bertemu dengan Allah SWT untuk menerima sebuah ketetapan besar, kewajiban shalat lima waktu. Disini Allah SWT menunjukkan berbagai tanda-tanda kebesaran-Nya selama perjalanan baginda Nabi SAW hingga pulang kembali ke Makkah.
Mukjizat Rasulullah SAW
Peristiwa ini, menjadi ujian besar bagi keimanan kaum Muslimin kala itu. Di masa kehidupan masih primitif, safar hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki, ataupun mengendarai hewan tunggangan. Terlebih mukjizat berupa Alquran belumlah turun sempurna sehingga kebaikan-kebaikan Islam belum mewujud sempurna karena syariat Islam yang ditetapkan masih sebagian kecil saja. Bahkan syariat shalat fardhu lima waktu belumlah diturunkan.
Rasulullah SAW Muhammad SAW pada pagi harinya menceritakan pengalaman spiritualnya. Pengalaman yang begitu mengesankan setelah bertubi-tubi ujian berupa kematian kedua orang terkasih dan pendukung terkuat dakwahnya. Menjadi penghibur pasca penolakan dan penghinaan menyakitkan pembesar Thaif.
Kaum kafir Qurais yang hatinya minus iman tidak mempercayai perjalanan spiritual Sang Rasul, bahkan mencibirnya dan menganggap Rasul orang gila. Mereka menyangka bahwa nasib dakwah Muhammad Saw akan tamat dengan peristiwa tak masuk akal ini.
Namun hal ini berbeda halnya dengan reaksi Abu Bakar terhadap yang dikabarkan Muhammad Saw. “Jika demikian, maka benarlah ia!” Kalimat ini keluar dari lisan Abu Bakar yang kokoh aqidahnya. Ia mengucapkannya tanpa menunjukkan keheranan sedikitpun terhadap kabar ini. Abu Bakar kemudian bergegas pergi ke Ka’bah untuk menjumpai Rasulullah Saw. Di sana dilihatnya kelompok manusia mencibir di sekeliling Rasulullah Saw dengan suara ribut yang tiada menentu. Dilihatnya Rasulullah sedang duduk sambil tunduk dengan khusyuknya menghadap Ka’bah. Ia tidak merasa terganggu dengan berisiknya orang-orang bodoh tersebut.
Setibanya di sana, Abu Bakar pun menjatuhkan diri kepadanya sambil memeluknya, seraya berucap,
“Demi bapak dan ibuku yang jadi tebusanmu hai Rasulullah! Demi Allah, sesungguhnya engkau benar……Demi Allah sesungguhnya engkau benar….”
Inilah teladan keimanan yang begitu menakjubkan.
Dari peristiwa ini, beliau kemudian dijuluki Ash-Shiddiq, yang membenarkan. Sebuah julukan mulia karena peristiwa Isra’ Mi’raj menjadikan tak sedikit kaum Muslimin murtad atas hasutan Abu Jahal dan kaum kafir Qurais. Perkara perjalanan mukjizat ini mengguncang kelompok kaum Muslimin yang juga kelompok dakwah Rasulullah.
Beginilah gambaran akan keimanan bagi seorang muslim. Iman atau akidah adalah hasil dari proses berpikir cemerlang, bukan berpikir dangkal. Berpikir dangkal hanya mampu memahami dan meyakini apa yang mampu dijangkau oleh panca inderanya. Sedangkan berpikir cemerlang, ia bisa melihat dan memahami apa yang tak dijangkau indera.
Inilah wujud ketundukan dan keyakinan setiap mukmin. Tak menjadikan fakta yang diinderanya sebagai sumber hukum. Tak mencukupkan diri menilai sesuatu dari kacamata akalnya sendiri.
Keimanan akan memaksa kita menyimpulkan bahwa manusia adalah lemah dan terbatas. Indera kita terbatas, akal kita terbatas. Akal dan hati wajib tunduk yakin bahwa Allah sajalah yang Mahabenar, Maha Mengetahui dan Maha segalanya. Bahwa apapun yang berasal dari Allah adalah baik dan benar. Keimanan juga akan menjadikan kita membenarkan setiap perkataan utusan Allah. Isra’ Mi’raj yang tak mampu dicerna akal dan indera, akan diyakini kebenarannya oleh akal dan hati yang beriman. Kemudian menambah kokoh keimanannya.
Peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan salah satu kemukjizatan yang Allah SWT berikan kepada Rasulullah SAW. Oleh karena itu semestinya tidak ada keragan sedikitpun dalam benak seorang muslim dalam meyakini peristiwa agung ini. Kepemimpinan Rasulullah SAW sebagai imam para nabi bukan sekedar dalam sholat saat Isra’ Mi’raj tetapi berlangsung hingga hari akhir. Karena itulah kelak pada hari akhir, semua manusia akan berkumpul di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW di bawah naungan liwa al-hamd.
Rasulullah SAW bersabda “Akulah pemimpin anak Adam pada hari kiamat dan bukannya sombong. Di tanganku bendera al-Hamd dan bukannya sombong. Tidak ada seorang nabipun, tidak pula Adam, juga yang lainnya ketika itu, kecuali semua dibawah benderaku. “ (HR at Tirmidzi)
Hadits ini menunjukkan keutamaan dan kekhususan Nabi Muhammad SAW atas semua manusia. Dengan demikian setelah Nabi Muhammad SAW di utus membawa Islam semua agama yang di bawa oleh para nabi dan rasul sebelumnya telah gugur masa berlakunya dan terhapus ajarannya. Dan semua umat manusia wajib memeluk Islam dan menjalankan syariat beliau. Sejumlah kemuliaan yang dilimpahkan pada Rasulullah SAW membawa konsekuensi yakni Islam dan umatnya wajib memimpin dunia.
Bagaimana realitas hari ini?
Namun sangat di sayangkan dengan realitas hari ini menunjukkan bahwa umat muslim saat ini di pimpin oleh sistem selain Islam bahkan tidak sedikit umat yang membelakangi dan menyelisihi ajaran nabi mereka sendiri padahal Allah SWT telah menetapkan Islam akan memimpin umat manusia dan mengalahkan semua agama dan sistem lain yang batil.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang wajib dilakukan adalah pertama kaum muslim wajib meneguhkan keimanan mereka bahwa Islam sebagai satu-satunya agama yang agung dan mengalahkan semua agama serta ajaran yang lain. Kedua kaum muslim wajib mengikatkan diri dengan syariat Islam. Sungguh kemunduran umat hari ini di akibatkan mereka melepaskan diri dari simpul Islam. Ketiga, umat Islam wajib berjuang menegakkan kembali kepemimpinan Islam atas dunia ini sebagaimana dulu Rasulullah SAW telah memimpin dunia. Kepemimpinan Rasulullah SAW ini dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelah mereka.
Kepemimpinan ini berdiri di atas landasan tauhid dan keagungan syariat Allah SWT yang mendatangkan rahmat bagi umat manusia. Banyak catatan sejarah yang menunjukkan dunia menaruh harapan pada kepemimpinan Islam.
Sebagai contohnya adalah Khilafah Utsmaniyah yang juga pernah menyelamatkan 150.000 bangsa yahudi dari pembantaian umat kristiani Spanyol dalam peristiwa inkuisisi Juli 1492 saat itu Sultan Bayezid II mengirimkan angkatan laut Ottoman di bawah komando Laksamana Kemal Reis ke Spanyol untuk mengevakuasi mereka bangsa yahudi dengan selamat ke tanah Ottoman yang sekarang lebih dikenal dengan Turki. Ini hanyalah secuil kisah kepemimpinan Islam yang mengayomi dunia muslim maupun non muslim. Bandingkan dengan saat ini umat muslim dibantai di berbagai belahan dunia tanpa ada satupun yang membela.
Rasulullah SAW bersabda ikatan Islam akan terlepas satu demi satu. Setiap kali satu ikatan terlepas, manusia akan bergantung pada ikatan berikutnya. Yang pertama kali akan terlepas adalah pemerintah dan yang terakhir adalah sholat. (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).
Ketika kita beriman terhadap surat Al-Isra’ ayat 1 dan An-Najm ayat 1-8 yang mengisahkan kejadian Isra’ dan Mi’raj, kita harus juga mengimani kebenaran surat An-Nur 55 yang menyebutkan janji Allah akan berkuasanya kembali kaum mukminin kelak. Ketika mereka beriman terhadap ayat-ayat yang memerintahkan kewajiban shalat yang ditetapkan pada peristiwa Mi’raj, mereka juga meyakini perintah kewajiban berhukum dengan hukum Allah sebagaimana termaktub dalam surat Al-Ahzab 36, Al-Maidah 50, dan banyak surat lainnya. Mereka juga meyakini kewajiban potong tangan bagi pencuri dalam Al-Maidah 38 dan hukuman cambuk bagi pezina dalam An-Nur 2 yang turun di Madinah ketika Rasul memimpin Daulah Islam pertama.
Ketika Rasul SAW menjanjikan kembalinya sistem Islam atas izin Allah kelak, hati dan akal yang tunduk beriman akan menyambutnya optimis. Berjuang untuk menyongsongnya, bukan malah menolaknya dengan alasan-alasan aqliy dan inderawi semata.
Sebagaimana Isra’ Mi’raj, janji tegaknya kembali Khilafah tak bisa dinalar dengan indera semata, karena saat ini kaum Muslimin belum menyaksikan berdirinya kembali Khilafah.
Namun perjuangan penegakan Daulah Islam kedua ini bisa dipahami dengan indera dan akal.
Dengan cara menjejaki sejarah perjuangan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya ketika berjuang untuk mendirikan Daulah Islam pertama di Madinah. Pun mampu dinalar dengan membandingkan secara jujur dan obyektif, antara ideologi Islam yang diterapkan dan diemban Khilafah, dengan ideologi kapitalisme yang diterapkan dan diemban oleh sistem pemerintahan demokrasi saat ini.
Akal yang tunduk pada keimanan pasti meyakini bahwa tak ada yang sulit bagi Allah. Karena otoritas kekuasaan langit dan bumi sejatinya milik Allah. Allah akan memberikannya pada siapapun yang dikehendakinya dan akan mencabutnya dari siapa dikehendakiNya. Inilah yang menjadi benang merah antara peristiwa Isra’ Mi’raj dan kabar gembira akan tegak kembali Khilafah.
Sehebat apapun makar kaum kafir, sebesar apapun persatuan dan dana mereka untuk menghancurkan Islam dan mencegah berdirinya Khilafah kedua, akal-akal dan hati-hati orang beriman tak akan gentar untuk tetap loyal kepada Allah dan Islam.
Wallahua’lam bishawab.