Akankah Tahu Tek Tinggal Cerita?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih (Muslimah Penulis Sidoarjo)

Di Sidoarjo ada makanan khasnya yang bernama tahu Tek, bisa pakai telor bisa tidak. Makanan ini beredar di setiap perumahan setiap saat. Dijajakan dengan siaran khas, yaitu penggorengan yang dipukul. Disantap hangat-hangat, terasa makin sedap rasa petis udang atau kupangnya.

Tahu Tek itu makanan rakyat, murah meriah dan bergizi tinggi. Namun apa jadinya jika akhir-akhir ini bahan baku makanan ini tersasar radikal, eh…polemik racun dioksida. Akibat pengusaha tahu di Tropodo Sidoarjo yang menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakarnya. Bisa jadi pedagang yang keliling di perumahan itu tidak ambil tahu dan telor dari Tropodo. Dari Porong misalnya, tapi ini kan masalah kelayakan makanan, mengapa sampai terjadi polemik? dimana akar persoalannya?

Mengikuti perkembangan beritanya, Pemda Sidoarjo sudah melakukan himbauan kepada beberapa pabrik kayu untuk sudi menyumbangkan kayu limbahnya kepada industri tahu sebagai pengganti bahan bakar plastik. Tapi belum membuahkan hasil. Sebab pengusaha tahu merasa kesulitan mengusahakan ketel dan kompor yang sudah terlanjur dikhususkan bukan untuk kayu bakar. Melainkan khusus untuk bahan plastik, yang ternyata pula menghasilkan panas lebih cepat dan stabil daripada kayu. Murah lagi harganya.

Apakah pengusaha tahu banyak maunya? tidak juga, sebab secara alamiah pengusaha akan berusaha menekan biaya produksi serendah mungkin agar usahanya menghasilkan keuntungan. Maka kreatifitas mutlak diperlukan. Masalahnya hari ini, kreatifitas mereka berbenturan deng enggannya Pemda memberikan solusi yang tuntas. Hanya meminta mengganti bahan bakar, tanpa modal, tanpa ilmu, tanpa kebijakan murah bahan baku, tanpa pelatihan mumpuni agar tahu berkualitas namun harga terjangkau, tanpa pembebanan pengusaha tahu terhadap kesejahteraan karyawannya dan sebagainya.

Intinya, tanpa pengurusan hajat hidup yang sesuai dan adil mana mungkin pengusaha tahu atau semua pengusaha berikut rakyatnya bisa sejahtera.

Kemudian beberapa LSM mengadakan penelitian pada ayam dan telor di daerah Tropodo tersebut dan positip mendapatkan hasil keduanya terpapar racun dioksin. Jelas hasil penelitian ini membawa pada sentimen masyarakat yang berakibat menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap telor, ayam dan tahu. Terutama di Sidoarjo. Hari gini sentimen masyarakat begitu cepat mencairkan segala sesuatu bagai pemanasan global di Kutub Utara. Di dukung dengan pendapat warga nitizen di dunia Maya.

Menanggapi situasi itu Bupati Sidoarjo, Syaiful Ilah, bahkan hingga mengadakan kampanye makan telur, dengan membagikan telur ke seluruh SD dan PAUD di Sidoarjo untuk meredam laju ketidakpercayaan tadi.

Opini terus bergulir, entah serius entah candaan. Namun pengusaha telor, ayam dan tahu, berikut pedagang tahu Tek makin deg-degan, mau kemana arah bola panas ini diarahkan? sementara menafkahi keluarga hari ini begitu sulitnya, padahal dalam agama mereka diajarkan Allah telah menyediakan rejeki dimanapun mereka berada.

Gubernur Jatim, Khofifah pun ” turun gunung”, meminta bagi masyarakat yang memelihara ayam kampung dengan cara dilepas atau diumbar untuk segera beralih pemeliharaan unggas dengan skala bisnis dan dikandangkan. Beliau meminta pemkab Sidoarjo berkoordinasi dengan camat, lurah dan kades setempat untuk merealisasikan kebijakan ini ( liputan6.com, 18/11/2019).

Dengan menerapkan good farming practices dan menggunakan pakan yang memiliki Nomor Pendaftaran Pakan ( NPP) dengan pendampingan dinas peternakan provinsi Jatim, bupati Malang serta dekan fakultas peternakan Universitas Brawijaya diharapkan mampu menghentikan laju bola panas polemik ini.

Akar persoalannya adalah kebijakan yang setengah-setengah. Apakah dengan peralihan pelihara atau beternak ayam dengan cara dikandang sudah bisa menyelesaikan persoalan? apakah dengan makanan ternak bersertifikasi polusi hilang? belum! sebab ini menyangkut pemerataan kesejahteraan. Yang pemerintah telah gagal memenuhinya. Beternak ayam bagi sebagian masyarakat Indonesia adalah alamiah. Di wilayah pedesaan malah ayam diumbar atau dilepas tanpa dikandang. Dan tidak ada persoalan.

Semestinya himbauan untuk memelihara ayam secara hiegines bukan hanya untuk peternak tapi juga secara integral kepada sisi rakyat yang lain. Seperti terjaminnya keamanan, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Sebab keuntungan bagi pengusaha adalah harus, namun bermualamah yang sehat dan benar tanpa merusak ekosistem dan lingkungan adalah wajib.

Kapitalisme yang menjerat hampir semua lini telah menghilangkan simpati penguasa kepada rakyat. Lebih parahnya abai terhadap pemenuhan pemeliharaan urusan rakyat dengan aturan yang sahih. Padahal kekuasaan adalah amanah. Sangatlah besar dosa pemimpin jika ia mati dalam keadaan melalaikan amanah yang ada dipundaknya. Sebab kemuslimannya sebenarnya tak sekedar identitas tapi konsekwensi sebuah keimanan. Wallahu a’ lam biashowab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *