Penulis: Siti Fatimah (Pemerhati Sosial dan Generasi)
Di tengah gempuran serangan covid-19 yang semakin membabi buta serta keluhan masyarakat miskin yang tertatih-tatih memenuhi kebutuhan hidupnya akibat pandemi, ternyata ada segelintir orang kaya yang merasa bosan dengan adanya PPKM Darurat. Bosan dengan anjuran untuk tetap dirumah saja, padahal hidup mereka bergelimang harta benda. Kulkas sudahlah penuh dengan makanan dan minuman beraneka macam, memiliki televisi layar datar yang jernih dan besar, gadget keluaran terbaru mungkin sudah ada dalam genggaman, kolam renang dan jakuzi yang siap memanjakan badan serta assistant yang selalu siap melayani bahkan bisa jadi selama 24 jam. Mereka hidup bak ratu dan raja, namun mengapa mereka malah lari kepada narkoba? Seperti itukah cara orang-orang kaya mengatasi rasa kebosanannya?
Adalah seorang artis ternama yang menikah dengan keluarga sultan, NR hidup hampir-hampir sempurna luar biasa. Bersuamikan anak dari seorang politikus sekaligus pengusaha berpengaruh dengan harta yang melimpah ruah. Memiliki anak yang cantik bermasa depan cerah. Ia laksana seorang ratu yang memiliki hidup nyaris sempurna. Namun sayang, dengan anugrah dan nikmati yang tak terhingga itu NR dan sang pangeran AB seakan lupa diri kepada sang pemberi rizky. Perbuatan mereka mengkonsumsi barang haram mengindikasikan suatu prilaku ketidak taatan, baik kepada hukum negara demokrasi kapitalisme maupun melanggar hukum dalam agama Islam.
Dikatakan bahwa pihak kepolisian akan segera memproses kasus hukum yang menjerat keduanya dan menyeret mereka ke meja pengadilan. Namun, benarkah hal itu akan terjadi mengingat rezim ini memiliki record yang buruk dalam hal hukum? Sebut saja vonis 4 tahun yang sudah di jatuhkan kepada ulama besar IB HRS dengan dakwaan yang tak masuk di akal. Tuduhan tidak logis terhadap beliau yang konon katanya melanggar aturan prokes, namun disaat yang bersamaan anak pejabat yang menciptakan kerumunan kampanye pun melenggang tanpa ada dakwaan sama sekali. Belum lagi kasus jaksa pinangki yang mendapat diskon 6 tahun dari hukuman yang seharusnya yaitu 10 tahun kurungan penjara. Sementara bila rakyat yang tersangkut kasus pencurian karena kelaparan ataupun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya langsung dijatuhi hukuman tanpa ampun.
Kapolres Jakarta Pusat Kombes Hengki Haryadi menegaskan, penyidik tetap akan memproses hukum terhadap Nia Ramadhani atas kasus penyalahgunaan narkotika. Meskipun, dalam undang-undang pengguna narkotika diwajibkan menjalani rehabilitasi.
“Dalam Pasal 127 sebagaimana yang hasil penyelidikan kami tentang pengguna narkoba diwajibkan untuk rehabilitasi, itu adalah kewajiban undang-undang. Kemudian dengan rehabilitasi bukan perkara tidak lanjutkan, perkara tetap kami lanjutkan, kami bawa ke sidang nanti akan divonis hakim di mana ancaman maksimal adalah 4 tahun, dan kemudian untuk rehabilitasi bukan dilaksanakan oleh penyidik,” katanya di Mapolres Jakarta Pusat pada hari sabtu. (merdeka.com,10/07/2021)
Meskipun pihak berwajib menyatakan kasus NR dan AB akan tetap berlanjut ke meja hijau namun publik rasanya enggan untuk mempercayai. Pasalnya berkaca dari kasus-kasus yang menimpa para elit politikus dan orang tajir, mereka mampu lolos dari jeratan hukum. Entah itu keringanan berupa potongan masa tahanan yang sangat fantastis, bisa juga dengan memberikan uang damai untuk membungkam tuntutan, bisa jadi dengan memberikan uang jaminan penangguhan penahanan. Bahkan bisa jadi melalui proses hukum yang dibuat berbelit-belit lalu menguap begitu saja tanpa adanya kejelasan.
Begitulah hukum dalam Demokrasi Kapitalisme Sekuler. Karena pemisahan unsur agama dari kehidupan inilah yang membuat para petugas keamanan ataupun petugas peradilan minim keimanan dalam hatinya. Tidak memikirkan halal, haram, amal dan dosa dalam aktivitasnya. Begitupun dengan kehidupan masyarakat sekuler, meskipun hidup berkecukupan dan mapan namun begitu badai ujian datang menerpa mereka cenderung lari kepada sesuatu yang mampu menghilangkan masalah dengan instant. Lari kepada minuman keras dan narkotika. Bunuh diri merupakan opsi terakhir bila merasa sudah tidak ada jalan keluar lagi. Kesemuanya itu didukung oleh sistem rusak demokrasi kapitalisme sekularisme yang memiliki dampak sangat buruk terhadap tatanan kehidupan baik individu, keluarga maupun sosial yang amat sangat destruktif.
Berbeda dengan sistem Islam dalam hal penegakan hukumnya. Islam sangat tegas dan tidak membedakan status sosial dalam peradilan. Siapa yang terbukti bersalah maka akan mendapatkan hukuman dan siapa yang benar akan mendapat keadilannya. Itulah tujuan tertinggi dan mulia yang lahir dari penerapan hukum syariat. Uang tidak akan mampu lagi dijadikan jaminan untuk mengintervensi penegak hukum karena mereka tahu bahwa mereka harus menjalankan perintah syariat yang berasal dari hukum Allah Azza wa jalla. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman;
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَ مٰنٰتِ اِلٰۤى اَهْلِهَا ۙ وَاِ ذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّا سِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِا لْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.”
(QS. An-Nisa’ 4: Ayat 58)
Dari Aisyah RA meriwayatkan bahwa dahulu ada seorang wanita terhormat dari Bani Makhzum yang telah mencuri. Karena perbuatannya itu ia pun harus dihukum sesuai dengan hukum syariat, yaitu hukum potong tangan. Keluarga dan kaum Bani Makhzum merasa sangat keberatan atas hukum potong tangan tersebu. Mereka berusaha melobi pada Usamah bin Zain salah satu sahabat dekat Rosulullah SAW. Mereka membujuk dan memohon Usamah untuk menyampaikan maksud mereka kepada Rosulullah SAW. Usamah pun kemudian menyampaikan maksud dari keluarga wanita yang mencuri tersebut kepada Rosulullah dan seketika itu juga beliau sangat marah lalu bersabda;
“Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!”.
Itulah hakikat keadilan yang sesungguhnya. Membela yang benar dan menghukum yang salah. Benar menurut hukum syara’. Maka dari itu mari terapkan hukum islam dalam tubuh pemerintahan melalui institusi yang bernama Khilafah, niscaya akan tercipta keadilan yang sesungguhnya. Wallahualam bishawab. []