Oleh: Nurul Azmi (Mahasiswi)
Afganistan, negeri berpenduduk 30 juta jiwa, berbatasan dengan Iran di sebelah barat, Pakistan di selatan dan timur; Turkmenistan, Uzbekistan, dan Tajikistan di utara; dan Cina di timur. Setelah jatuhnya Taliban ketika invasi AS ke Afganistan dan Loya Jirga pada 2003, Pemerintahan AS menamakan Afganistan sebagai Negara Islam Transisi Afganistan. Kepergian AS dari Afganistan adalah sebuah kekalahan—jika ditinjau dari tujuan awal perang tersebut. Presiden AS George W. Bush pada 2001 mengatakan tujuan AS adalah “untuk membubarkan basis operasi terorisme di Afganistan dan untuk mengalahkan rezim Taliban”.
Yang terjadi, sebelum angkat kaki, AS justru bernegosiasi panjang dengan Taliban yang kekuatannya makin kuat. Siapa pun yang mengamati Afganistan akan bisa melihat bahwa AS mulai serius merencanakan penarikannya dari Afganistan sejak 2010, sehingga dari situlah Amerika mulai bernegosiasi dengan para pemimpin senior Taliban. Negosiasi ini dipuncaki dengan Perjanjian Doha pada 29/2/2020. Poin pentingnya adalah bahwa AS dan sekutu NATO-nya akan menarik pasukan dari Afganistan jika Taliban memenuhi komitmennya berdasarkan perjanjian tersebut. terlihat dari sini, AS tak melepas sepenuhnya Afganistan.
Di bawah konstitusi baru, negara tersebut resmi bernama Republik Islam Afganistan. Menjadi negara boneka AS dan penguasa yang didudukkan AS di sana pun merupakan penguasa bonekanya. Kini, kondisi Afganistan berpotensi mengalami krisis sejak AS mengakhiri misi militer setelah 20 tahun pasukannya menduduki negeri tersebut.
Lewat pernyataan resmi Presiden Joe Biden (8/7/2021), AS tidak punya kepentingan lagi di Afganistan sebab tujuan mereka sudah tercapai. Pertama, melenyapkan pemimpin Al-Qaeda yaitu Osama bin Laden; dan kedua, menggerus kapasitas Al-Qaeda sehingga tak lagi mampu melancarkan serangan ke daratan Paman Sam. Namun, benarkah karena kedua tujuan itu telah tercapai lalu AS hengkang dari Afganistan? Sepertinya tidak sesederhana yang disampaikan Joe Biden lewat media, alasan hengkangnya AS dari Afganistan. Sebab, menurut pengamat politik internasional, Budi Mulyana, S.I.P., M.Si., selama 20 tahun AS menduduki Afganistan, tidak sedikit biaya yang digelontorkan. Menurutnya, mundurnya AS dari Afganistan ialah langkah untuk mendapatkan kemenangan lain. (Diskusi Geopolitik “Memahami Kemenangan Taliban di Afganistan dan Politik Islam secara Global”, 17/8/2021, YouTube).
Tentu APBN AS terbebani karena harus membiayai misi militer selama berada di sana. Berdasarkan kajian Universitas Brown pada 2019 terhadap pengeluaran AS di Afganistan dan Pakistan, ia telah membelanjakan sekitar US$978 miliar (perkiraan ini mencakup uang yang dialokasikan untuk tahun fiskal 2020). Biaya yang dipakai untuk operasi melawan pemberontak serta berbagai keperluan pasukan. Pertanyaannya kini, mengapa AS dan juga negara-negara lainnya begitu terpikat pada Afganistan, padahal Afganistan adalah salah satu negara termiskin di dunia?
Sama halnya dengan Indonesia, negara yang melimpah SDA tak serta-merta menjadikan rakyatnya sejahtera. Begitu pun apa yang terjadi di Afganistan, berdasarkan laporan dari US Congressional Research Service yang diterbitkan pada Juni 2021, 90% orang Afganistan hidup di bawah tingkat kemiskinan. Bank Dunia juga menyebutkan bahwa ekonomi Afganistan masih rapuh dan sangat bergantung pada berbagai bantuan asing. Afganistan dikenal sebagai negara yang terkurung daratan (landlock). Wilayahnya didominasi pegunungan dan gersang. Namun, di balik itu semua, Afganistan juga menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Pada 2010, Ahli geologi AS memperkirakan bahwa Afganistan memiliki kekayaan mineral hampir satu triliun dolar AS atau setara Rp14.000 triliun (kurs Rp14.000). Kekayaan tambang tersebut antara lain bijih besi, tembaga, lithium, kobalt, dan logam langka dengan kandungan yang cukup banyak. Sementara itu, harga dari banyak komoditas mineral tersebut telah meroket, dipicu oleh transisi global dari energi fosil ke energi hijau. Banyak kebutuhan logam mineral seperti tembaga dan lithium untuk bahan baku memproduksi berbagai produk teknologi nonfosil, seperti panel surya dan kendaraan listrik yang permintaannya terus naik.
Munculnya kekuatan global khiilafah
Barat sangat ketakutan terhadap militansi Taliban, hingga Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Mass menegaskan bahwa sekutu AS akan berhenti menyediakan bantuan ke Afganistan jika Taliban mengambil alih kekuasaan di negara tersebut dengan menerapkan Khilafah. Karena menurutnya, Afganistan tidak akan bisa bertahan tanpa bantuan internasional. “Kami tidak akan memberikan sepeser pun lagi ke Afganistan kalau Taliban mengambil alih semuanya, memberlakukan hukum syariat dan mengubah negara ini menjadi Khilafah,” katanya. (jppn.com, 13/8/2021)
Apalagi jika kita lihat dalam perjanjian antara Taliban dan AS, poin pentingnya adalah AS akan sepenuhnya menarik pasukan jika Taliban berkomitmen terhadap perjanjian tersebut. Salah satu perjanjiannya adalah terkait dengan kontra terorisme, bahwa Taliban menjamin Afganistan tidak menjadi pusat kelompok teroris yang mengancam kepentingan AS dan sekutunya. Bukan hanya penjajahan yang dilakukan barat untuk membendung kebangkitan Islam. Barat pun menggunakan Taliban untuk memonsterisasi Islam. Terutama isu hak-hak perempuan yang terenggut, seperti hak terlibat dalam aktivitas publik dan kebebasan dalam bertingkah laku.
Direktur Institut Muslimah Negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara menyatakan, Taliban saat ini sedang berada di persimpangan, sehingga kesalahan apa pun yang dilakukan oleh Taliban itu pasti akan menjadi makanan buat mesin-mesin propaganda Barat. Artinya, kepentingan barat dalam menjajah Afganistan, selain karena melimpahnya SDA, juga karena potensi kebangkitan Khilafah pun ada di sana.
Jika publik mengikuti dengan jeli pemberitaan serta berbagai analisis dari berbagai pengamat politik internasional, akan didapati bahwa Taliban saat ini bukanlah Taliban yang berjuang menerapkan Islam secara kafah, melainkan Taliban yang siap diajak kompromi dan berunding lewat perjanjian. Terbukti dengan adanya Perjanjian Doha yang telah disepakati antara AS dan Taliban.
Taliban sendiri akhirnya terperangkap dengan perundingan bersama AS, hingga mudah bagi AS untuk memainkan aktornya (Taliban) sebagai alat kepentingan mereka. Hal ini merupakan operasi politik yang biasa digunakan AS. Seharusnya, Taliban mencampakkan seluruh perundingan dengan AS dan memperjuangkan serta menerapkan sistem Islam secara kaffah. Bukan sebatas klaim dan teori jika dikatakan akan berdiri sebagai rezim Islam tetapi masih menjalankan nilai-nilai Barat. Tentu tak ada bedanya dengan sistem politik yang dijalankan sebelumnya.
Taliban juga tidak seharusnya jatuh ke dalam politik pragmatis, melainkan memerangi penindas dengan konsisten dan sabar, hingga tujuan utama dapat dicapai yaitu menerapkan Islam secara total di seluruh dunia—bukan hanya skala regional. Kecil kemungkinan bahkan kecil harapan umat Islam atas Taliban untuk mengubah pemerintah ke arah Islam. Taliban tidak dapat dijadikan role model untuk gerakan Islam dalam memperjuangkan Islam kafah. Sebab, Taliban masih mudah terjebak ke dalam berbagai negosiasi serta kesepakatan bersama dengan AS sang tuan imperialis.
Butuh solusi Permanen
Negara asal Al-Biruni ini hanya akan berdiri di atas kaki sendiri manakala kukuh memegang Islam sebagai mabda, sebuah ideologi yang tak mengenal kata kompromi dengan para musuh-musuhnya. Siapa musuhnya? Mereka adalah negara-negara kufur yang jelas permusuhannya terhadap Islam. Artinya, Afganistan harus berani mengambil sikap, tegas terhadap lawan, juga menjadikan Islam sebagai landasan aturan dalam setiap keputusan. Telah terbukti selama 13 abad, ketika Afganistan berada pada naungan Islam, tidak terjadi permasalahan, baik politik, keamanan, maupun kelaparan. Lebih dari itu, Afganistan mampu melahirkan ilmuwan seperti Al-Biruni, pejuang tangguh seperti bangsa Khurasan, serta sastrawan hebat seperti Ferdowsi.
Begitu pun pengelolaan sumber daya alam. Islam akan mengatur bagaimana pemanfaatannya. Sebagaimana hadis Rasulullah saw., “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud). Dari pesan Rasul tersebut, negara akan mengeluarkan aturan mengenai pemanfaatan SDA. Mulai dari penambangannya yang menjadi tanggung jawab negara, pengolahannya dilakukan negara, hingga hasilnya akan diberikan pada rakyat.
Negara juga akan melarang asing untuk menguasai dan tidak memprivatisasi SDA. Seluruh hasil SDA akan diberikan ke rakyat. Jika hal ini terjadi di afghanistan, bencana kelaparan, kemiskinan, dan kekeringan tidak akan terjadi karena negara akan punya biaya untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Dari sini, kita dapat memahami bahwa Afghanistan tidak akan pernah mandiri dan tegas kecuali berada di bawah naungan Islam. Sebagaimana masa Khulafaurasyidin dan khulafa setelahnya. Hanya di bawah naungan Khilafah, Afganistan tidak akan tunduk pada asing. Begitu pun terhadap SDA-nya, hanya aturan Islam yang mampu mengelola untuk diberikan kepada rakyat.
Wallahua’lam bishhawab